Jika
ada pertanyaan, kapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menindak tegas Wakil
Presiden Boediono? Jawabannya adalah kapan-kapan. Kenapa demikian? karena
sampai hari ini KPK belum melakukan tindakan tegas sama sekali.
Apalagi, prestasi KPK
dalam menuntaskan kasus Century masih dangkal. Bahakn, setelah melalui proses
amat panjang, pada 19 November KPK hanya mendapatkan dua alat bukti kuat untuk
meningkatkan proses penyelidikan kasus Bank Century. Padahal, hal itu dimulai
sejak 8 Desember 2009 ke proses penyidikan sekaligus menetapkan dua mantan
pejabat teras Bank Indonesia, BM (mantan deputi bidang 4-pengelolaan moneter
devisa) dan SCF (mantan deputi bidang 5-pengawasan) sebagai tersangka.
Bila menoleh ke
belakang, Bank Century memperoleh kucuran dana pada 2008 meski bank tersebut
sebenarnya masuk kategori bank gagal karena kalah kliring. Bank Century
mendapatkan dana talangan Rp638 miliar dan bailout sebesar Rp6,7 triliun.
Seperti diketahui, dasar pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP)
pada saat itu ialah Peraturan Bank Indonesia/PBI No 10/26/PBI/2008 menjadi PBI
No 10/30/PBI/2008 yang memberikan syarat-syarat pemberian fasilitas FPJP
dipermudah serta disesuaikan dengan kondisi Bank Century pada waktu itu yang
amburadul.
Rasio kecukupan modal
(capital adequacy ratio/CAR) minimal
8% menjadi 0%, dengan CAR Bank Century pada saat itu 2,35%. Seperti yang
disampaikan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, dapat dikatakan pada era
tersangka BM dan SCF ada sejumlah kebijakan yang dapat diduga merupakan pintu
masuk korupsi bailout Bank Century.
Selasa (20/11), di
hadapan tim pengawas Bank Century, Ketua KPK Abraham M Samad memberikan
keterangan, saat pengucuran bailout pada Bank Century, Boediono sebagai
Gubernur Bank Indonesia patut diduga mengetahui persis proses pengucuran dana
yang merugikan keuangan negara tersebut. Namun, masih menurut Abraham, KPK
tidak akan melakukan pemeriksaan (penyelidikan dan penyidikan) kepada presiden
dan wakil presiden karena merupakan warga negara istimewa.
Pernyataan
KPK
Pernyataan Ketua KPK
tersebut telah memantik api silang pendapat publik tentang tidak beraninya KPK
memeriksa Wapres Boediono. Sebagian yang setuju dengan lontaran tersebut
memberikan alasan bahwa memang ada perlakuanperlakuan khusus bagi presiden dan
wakil presiden. Namun, perlakuan-perlakuan khusus tersebut tidak ada kaitannya
dengan perbuatan hukum pidana atau yang dalam proses hukum.
Pendapat yang menolak
ternyata lebih banyak. Hal itu terlihat dengan banyaknya protes dan kecaman
kepada KPK yang tidak berani memeriksa Boediono. Dalih yang menolak secara
normatif berpedoman pada Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga
negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan.
Prinsip yang tertuang
dalam Pasal 27 UUD 45 tersebut merupakan realisasi dari sebuah prinsip equality
before the law, sebuah prinsip yang menekankan aspek persamaan di dalam
hukum pada setiap warga negara. Menarik untuk dikaji mengapa Abraham kemudian
menyatakan KPK tidak pernah ragu melakukan pemeriksaan kepada siapa pun walau
yang bersangkutan menjadi wapres karena memegang prinsip equality before the
law. Semua orang berkedudukan sama di hukum.
Perluasan Wilayah
Adapun persyaratan
normatif pengajuan kepada MK harus memenuhi syarat sebagaimana tertuang dalam
angka (2) Pasal 7 B, yang menyatakan bahwa pengajuan permintaan DPR kepada MK
hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 anggota yang hadir
dalam sidang paripurna yang di hadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah
anggota DPR.
Bola panas Bola panas
yang dilontarkan Ketua KPK tersebut tampaknya dapat dipahami sebagai upaya KPK
untuk menambah wilayah jangkauan yang memungkinkan menyelesaikan kasus bailout
tersebut. Dengan cara hukum pidana dan politik dalam hukum tata negara secara
terpadu tersebut, KPK akan mendapatkan amunisi baru dari lembaga yang sangat
disegani, yakni DPR.
Amunisi yang secara
politik dapat dikeluarkan DPR secara konstitusional dapat dijalankan walaupun
pada tataran implementasi, menggerakkan 2/3 jumlah anggota DPR untuk hadir
dalam sidang paripurna tidaklah mudah, apalagi harus disetujui 2/3 dari jumlah
anggota yang hadir. Hal itu terjadi manakala koalisi yang dibangun Partai
Demokrat, Partai Golongan Karya, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan
Sejahtera, dan Partai Kebangkitan Bangsa bersatu padu. Dalam pemahaman penulis,
mengedepankan pendekatan hukum pidana dalam masalah bailout Bank Century yang
diduga melibatkan Wakil Presiden Boediono sebagai Gubernur BI waktu itu jauh
lebih efektif daripada pendekatan politik yang dilakukan DPR.
Akhirnya, suatu
ungkapan yang menyatakan, kalau seseorang sedang menjabat, apa pun yang akan
dilakukan sangat bisa dilakukan. Artinya mungkin saja Century Gate itu hanya
akan sampai tangga tertentu (tersangka BM dan SCF) dan tidak akan menyentuh
tangga utama sebagai aktor intelektual. Beberapa kasus, misalnya skandal cek
perjalanan dalam pemilihan Dewan Gubernur Senior Bank Indonesia yang hanya
sampai pada Nunun Nurbaeti dan Miranda S Goeltom sebagai terpidana serta kasus
Hambalang yang saat ini baru menetapkan Deddy Kusdinar dan Wafid Muharam
sebagai tersangka, belum hilang dalam ingatan kita.
Semua pembaca
Indonesia dan rakyat Indonesia merindukan ungkapan equality before the law.
Insya Allah KPK tidak takut memeriksa orang per orang. KPK hanya takut kepada
Allah, seperti disampaikan sang ketua lembaga superbodi itu, dalam penegakan
hukum di Indonesia ini dapat direalisasikan.
Tulisan
ini dimuat di Koran Pagi Wawasan, Jumat 30 November 2012
0 komentar:
Post a Comment