Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Wednesday 26 December 2012

Negara Gagal Akibat Korupsi



Tulisan ini dimuat di Koran Pagi Wawasan, Kamis 13/12/2012


Berdasarkan indeks persepsi korupsi, Indonesia masih masuk jajaran negara-negara terkorup. Menurut survei Transparency International, skor IPK Indonesia adalah 3, beranjak 0,2 dari skor tahun lalu. Indonesia menempati peringkat ke-100 dari 183 negara. Skor indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia sama dengan Argentina, Benin, Burkina Faso, Djibouti, Gabon, Madagaskar, Malawi, Meksiko, Sao Tome and Principe, Suriname, dan Tanzania. Skor Indonesia masih di bawah Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand.Padahal, dengan skor 3 dari skala 0-10 (0 berarti sangat korup, 10 berarti sangat bersih), tak ada perubahan signifikan dalam pemberantasan korupsi.
 
Karena itu, agar Indonesia memiliki arah dalam mencapai target pemberantasan korupsi, ada beberapa langkah konkret, antara lain perbaikan serius perizinan usaha. Sumber data IPK itu salah satunya pelaku bisnis sehingga perbaikan di sektor itu sangat krusial. Sayangnya, justru perbaikan di sektor tersebut tak dilakukan. Berdasarkan survei Global Competitiveness Report 2011-2012 yang dilakukan Forum Ekonomi Dunia, peringkat Indonesia malah turun. Hal lain yang bisa dilakukan untuk meningkatkan skor IPK adalah perbaikan menyeluruh pada institusi penegak hukum. Survei internasional seharusnya diukur juga komitmen negara dalam memberantas korupsi, termasuk tidak mau menjadi tempat perlindungan (safe haven) koruptor.
Terkorup?
Mengikuti berita-berita di media massa terkait penanganan korupsi sepanjang tahun 2012, tampaknya kita sulit menyatakan bahwa penanganan korupsi termasuk berhasil, malah justru sebaliknya. Fakta indeks korupsi Indonesia (IPK) 3,2 masih sangat jauh untuk menempatkan Indonesia di posisi sedang atau pada angka 5,0. Apalagi, untuk mencapai bersih korupsi di IPK 10, entah kapan bisa terwujud. Selain itu penurunan urutan sebagai negara terkorup ke-110 pada tahun lalu menjadi ke-118, menunjukkan adanya kemunduran dalam pemberantasan korupsi dan tentu akan berdampingan dengan fakta makin merajalelanya praktik korupsi di Indonesia.
Kemunduran itu tampak dari kendala yang dihadapi penegak hukum, terutama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, karena KPK memang merupakan lembaga yang sangat diharapkan dapat memberantas kasus-kasus korupsi besar, maka rintangan yang dialami KPK menjadi tolok ukur penilaian bagaimana sesungguhnya pemberantasan korupsi di Indonesia. KPK tidak saja menghadapi isu terkait profesionalisme, tetapi juga integritasnya. Ini tampak dari penanganan perkara skandal Bank Century, Hambalang, dan kasus korupsi simulator Korlantas yang terkesan lambat dan bahkan makin menunjukkan adanya kelemahan KPK dalam koordinasi dan langkah strategisnya dengan kepolisian.
Demikian pula dalam hal kasus wisma atlet dan kasus Waode Nurhayati yang tidak tuntas. Dalam hal ini, hanya menyentuh orang-orang tertentu, tetapi tidak segera mengembangkan kasusnya. Untuk menjerat pelaku utama atau pelaku yang lebih besar peranannya, KPK seakan-akan enggan.
Hal itu menimbulkan penilaian bahwa KPK masih tebang pilih, baik terhadap kasus-kasusnya maupun terhadap pelaku yang dijeratnya. Apalagi, sempat muncul pandangan bahwa ada orang-orang tertentu yang dinilai sebagai warga negara istimewa, meski kemudian diralat.
Kesan ini penting diperhatikan karena pada umumnya yang dilihat adalah berdasarkan logika masyarakat yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Sebab, selain membuat rakyat kehilangan harapan, juga bisa berdampak sangat tidak menjerakan. Ini terbukti dengan makin banyaknya orang yang terlibat korupsi, tanpa rasa malu.
Penyuapan di birokrasi seakan diterima sebagai suatu “kewajaran” dalam penyelesaian urusan. Tidak ada upaya untuk mengucilkan orang-orang yang terlibat korupsi. Bahkan banyak di antara mantan koruptor masih bisa menjabat kembali, di samping hal-hal lain yang melemahkan upaya perlawanan terhadap korupsi.
Kendala lain dalam upaya pemberantasan korupsi selama tahun ini juga tampak pada penarikan penyidik KPK oleh kepolisian yang sangat tidak masuk akal. Lebih parah lagi, hal ini terlalu lama dibiarkan berlarut, padahal seharusnya Presiden bisa lebih cepat turun tangan sejak kasus itu mencuat ke permukaan.
Dari sisi profesionalime penegak hukum bukan saja untuk perkara korupsi banyak kejanggalan dalam penyidikan termasuk prosedur, mulai dari masalah administrasi hingga pernyataan yang tidak strategis, seperti akan adanya tersangka baru, rencana penahanan, hingga pencegahan ke luar negeri yang justru tampak sebagai pembocoran strategi. Juga, masalah yang lebih berbahaya, seperti lemahnya dakwaan, putusan yang ringan padahal nyata-nyata semua unsur delik terbukti, atau putusan yang dipaksakan padahal fakta persidangan tidak mendukung terbuktinya perbuatan yang dituduhkan. Hal aneh lainnya adalah terkait kegagalan kejaksaan mengeksekusi koruptor yang telah diputus oleh Mahkamah Agung. Atau, gagalnya kejaksaan menangkap pelaku yang lari ke luar negeri.
Harapan rakyat terhadap pemberantasan korupsi hanya menuntut keseriusan langkah politik Presiden SBY. kali ini tidak cukup hanya dengan pidato tapi perlu aksi nyata, minimal menyelamatkan KPK dengan menerbitkan revisi PP Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sumber Daya Manusia KPK. Presiden harus benar-benar berada di garis terdepan penyelamatan uang negara yang dirampok koruptor. Jangan sampai negara kita tak pernah lepas dari cap negara terkorup. Wallahu a’lam.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Negara Gagal Akibat Korupsi Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda