Tulisan ini dimuat di Koran Pagi Wawasan, Kamis 13/12/2012
Berdasarkan
indeks persepsi korupsi, Indonesia masih masuk jajaran negara-negara terkorup.
Menurut survei Transparency International, skor IPK Indonesia adalah 3,
beranjak 0,2 dari skor tahun lalu. Indonesia menempati peringkat ke-100 dari
183 negara. Skor indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia sama dengan Argentina,
Benin, Burkina Faso, Djibouti, Gabon, Madagaskar, Malawi, Meksiko, Sao Tome and
Principe, Suriname, dan Tanzania. Skor Indonesia masih di bawah Singapura,
Brunei, Malaysia, dan Thailand.Padahal, dengan skor 3 dari skala 0-10 (0
berarti sangat korup, 10 berarti sangat bersih), tak ada perubahan signifikan
dalam pemberantasan korupsi.
Karena
itu, agar Indonesia memiliki arah dalam mencapai target pemberantasan korupsi,
ada beberapa langkah konkret, antara lain perbaikan serius perizinan usaha.
Sumber data IPK itu salah satunya pelaku bisnis sehingga perbaikan di sektor
itu sangat krusial. Sayangnya, justru perbaikan di sektor tersebut tak
dilakukan. Berdasarkan survei Global Competitiveness Report 2011-2012 yang
dilakukan Forum Ekonomi Dunia, peringkat Indonesia malah turun. Hal lain yang
bisa dilakukan untuk meningkatkan skor IPK adalah perbaikan menyeluruh pada
institusi penegak hukum. Survei internasional seharusnya diukur juga komitmen
negara dalam memberantas korupsi, termasuk tidak mau menjadi tempat
perlindungan (safe haven) koruptor.
Terkorup?
Mengikuti
berita-berita di media massa terkait penanganan korupsi sepanjang tahun 2012,
tampaknya kita sulit menyatakan bahwa penanganan korupsi termasuk berhasil,
malah justru sebaliknya. Fakta indeks korupsi Indonesia (IPK) 3,2 masih sangat
jauh untuk menempatkan Indonesia di posisi sedang atau pada angka 5,0. Apalagi,
untuk mencapai bersih korupsi di IPK 10, entah kapan bisa terwujud. Selain itu
penurunan urutan sebagai negara terkorup ke-110 pada tahun lalu menjadi ke-118,
menunjukkan adanya kemunduran dalam pemberantasan korupsi dan tentu akan
berdampingan dengan fakta makin merajalelanya praktik korupsi di Indonesia.
Kemunduran
itu tampak dari kendala yang dihadapi penegak hukum, terutama Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, karena KPK memang merupakan lembaga yang
sangat diharapkan dapat memberantas kasus-kasus korupsi besar, maka rintangan
yang dialami KPK menjadi tolok ukur penilaian bagaimana sesungguhnya
pemberantasan korupsi di Indonesia. KPK tidak saja menghadapi isu terkait
profesionalisme, tetapi juga integritasnya. Ini tampak dari penanganan perkara
skandal Bank Century, Hambalang, dan kasus korupsi simulator Korlantas yang
terkesan lambat dan bahkan makin menunjukkan adanya kelemahan KPK dalam
koordinasi dan langkah strategisnya dengan kepolisian.
Demikian
pula dalam hal kasus wisma atlet dan kasus Waode Nurhayati yang tidak tuntas.
Dalam hal ini, hanya menyentuh orang-orang tertentu, tetapi tidak segera
mengembangkan kasusnya. Untuk menjerat pelaku utama atau pelaku yang lebih
besar peranannya, KPK seakan-akan enggan.
Hal
itu menimbulkan penilaian bahwa KPK masih tebang pilih, baik terhadap
kasus-kasusnya maupun terhadap pelaku yang dijeratnya. Apalagi, sempat muncul
pandangan bahwa ada orang-orang tertentu yang dinilai sebagai warga negara
istimewa, meski kemudian diralat.
Kesan
ini penting diperhatikan karena pada umumnya yang dilihat adalah berdasarkan
logika masyarakat yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Sebab, selain membuat
rakyat kehilangan harapan, juga bisa berdampak sangat tidak menjerakan. Ini
terbukti dengan makin banyaknya orang yang terlibat korupsi, tanpa rasa malu.
Penyuapan
di birokrasi seakan diterima sebagai suatu “kewajaran” dalam penyelesaian
urusan. Tidak ada upaya untuk mengucilkan orang-orang yang terlibat korupsi.
Bahkan banyak di antara mantan koruptor masih bisa menjabat kembali, di samping
hal-hal lain yang melemahkan upaya perlawanan terhadap korupsi.
Kendala
lain dalam upaya pemberantasan korupsi selama tahun ini juga tampak pada
penarikan penyidik KPK oleh kepolisian yang sangat tidak masuk akal. Lebih
parah lagi, hal ini terlalu lama dibiarkan berlarut, padahal seharusnya
Presiden bisa lebih cepat turun tangan sejak kasus itu mencuat ke permukaan.
Dari
sisi profesionalime penegak hukum bukan saja untuk perkara korupsi banyak kejanggalan
dalam penyidikan termasuk prosedur, mulai dari masalah administrasi hingga
pernyataan yang tidak strategis, seperti akan adanya tersangka baru, rencana
penahanan, hingga pencegahan ke luar negeri yang justru tampak sebagai
pembocoran strategi. Juga, masalah yang lebih berbahaya, seperti lemahnya
dakwaan, putusan yang ringan padahal nyata-nyata semua unsur delik terbukti,
atau putusan yang dipaksakan padahal fakta persidangan tidak mendukung
terbuktinya perbuatan yang dituduhkan. Hal aneh lainnya adalah terkait
kegagalan kejaksaan mengeksekusi koruptor yang telah diputus oleh Mahkamah
Agung. Atau, gagalnya kejaksaan menangkap pelaku yang lari ke luar negeri.
Harapan rakyat
terhadap pemberantasan korupsi hanya menuntut keseriusan langkah politik Presiden
SBY. kali ini tidak cukup hanya dengan pidato tapi perlu aksi nyata, minimal
menyelamatkan KPK dengan menerbitkan revisi PP Nomor 63 Tahun 2005 tentang
Sumber Daya Manusia KPK. Presiden harus benar-benar berada di garis terdepan
penyelamatan uang negara yang dirampok koruptor. Jangan sampai negara kita tak
pernah lepas dari cap negara terkorup. Wallahu
a’lam.
0 komentar:
Post a Comment