Berita tentang maraknya kasus penyimpangan anggaran penerimaan dan
belanja daerah (APBD) yang banyak menjerat kepala daerah telah menyentak
kesadaran kita semua dan mengusik rasa keadilan masyarakat. Bagaimana tidak,
hampir semua provinsi di negeri ini tersandera kasus korupsi karena ada saja
kepala daerah yang saat ini berstatus tersangka atau terdakwa. Fakta ini tentu
sangat mengkhawatirkan dalam tata kelola pemerintahan kita. Indonesia
Corruption Watch (ICW) bahkan mencatat bahwa pada 2010 kasus korupsi atas
keuangan daerah menempati urutan pertama dari tren korupsi di Indonesia.
Tak tanggung-tanggung, aktor utamanya adalah para kepala daerah dan
mantan kepala daerah. Sementara tahun sebelumnya, 2009, tren korupsi didominasi
anggota DPRD. Modus korupsi lewat penyalahgunaan anggaran daerah (APBD) yang
menempati posisi teratas tersebut membenarkan pernyataan Menteri Dalam Negeri
Gamawan Fauzi. Dalam rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Daerah beberapa waktu
lalu,Mendagri menuturkan bahwa saat ini ada 155 kepala daerah yang tersangkut
masalah hukum, dan 17 orang di antaranya gubernur.
Menyuburkan Korupsi
Pertanyaannya kemudian: mengapa otonomi daerah justru menyuburkan
korupsi-korupsi di daerah di tengah upaya mewujudkan desentralisasi yang
berkualitas dan tata kelola pemerintahan yang baik? Pertanyaan gugatan ini
layak kita ajukan bersama karena dalam otonomi daerah, anggaran daerah menjadi
pintu yang paling mungkin bagi setiap wilayah untuk mendinamisasi kegiatan
pembangunan daerah melalui alokasi anggaran yang tepat.
Tentu kita sepenuhnya menyadari bahwa desentralisasi memang tidak
lantas seperti “agunan”yang otomatis mampu menggaransi keberhasilan karena di
dalamnya juga mensyaratkan banyak hal agar kesuksesan pembangunan daerah bisa
diraih dalam sistem yang telah didesentralisasi.
Tetapi, maraknya kasus korupsi dan penyalahgunaan APBD yang justru
dilakukan aparatur negara, mulai dari gubernur, bupati, wali kota, hingga
kalangan DPRD, jelas telah merusak dan merobohkan sendi-sendi bangunan
desentralisasi yang susah payah sedang kita bangun. Kasus-kasus korupsi
tersebut tak pelak juga telah menciderai makna desentralisasi di tengah
ekspektasi masyarakat yang begitu besar bahwa otonomi daerah diharapkan mampu
melahirkan pencapaian pelayan publik (public
services) yang baik terhadap masyarakat.
Kesejahteraan Rakyat
Penting untuk dicatat, substansi APBD pada dasarnya merupakan wujud
komitmen politik dari para penyelenggara negara di daerah untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat. Selain itu,APBD juga merupakan bentuk nyata kontrak
sosial antara kekuasaan untuk membuat keputusan politik dan kebijakan politik
dengan rakyat.Maka pencederaan atas komitmen tersebut melalui praktik korupsi
tak urung justru telah mencoreng wajah desentralisasi dan pembusukan atas
jalannya otonomi daerah itu sendiri.
Maka, maraknya kasus-kasus korupsi atas anggaran daerah dengan
demikian secara telanjang menunjukkan bahwa anggaran daerah hanya dijadikan
instrumen untuk menggemukkan para penyelenggaranya dan jauh dari komitmen untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Ia juga potret tata kelola yang buruk
dari penyelenggara pemerintah daerah.
Komitmen atas tata kelola pemerintah daerah yang baik perlu kita
teguhkan karena hingga saat ini parameter paling sederhana untuk mengukur
keberhasilan desentralisasi adalah melihat sejauh mana kualitas pelayanan
sektor publik dari pemerintah lokal mengalami perbaikan. Kinerja dari
keberhasilan pelayanan sektor publik tersebut bisa dilihat dari dua indikator
yakni efisiensi dan efektivitas.
Para penyelenggara pemerintahan seharusnya sadar bahwa anggaran
daerah merupakan satu-satunya alasan yang membenarkan bagi pemerintah untuk
memungut uang dari rakyat, baik dalam bentuk pajak, retribusi, maupun lainnya.
Jika anggaran daerah tersebut tidak dikembalikan kepada rakyat melalui alokasi
yang benar,apalagi justru dikorupsi oleh aparatnya, kewajiban rakyat untuk
membayar “upeti” (baca: pajak/retribusi) menjadi batal.
Tata Kelola
Karena itu, genderang perang terhadap maraknya kasus korupsi yang
lokus penyebarannya di era otonomi daerah kian mengkhawatirkan tampaknya harus
terus kita tabuh. Mengapa? Karena pilihan terhadap otonomi daerah telah kita
pancangkan.Kita masih optimistis bahwa strategi desentralisasi akan membuat
daerah lebih memiliki ruang untuk menciptakan kebijakan yang lebih sesuai
situasi wilayahnya masing-masing.
Di samping itu, ketika dikawal dengan baik otonomi daerah juga lebih
memungkinkan bagi terciptanya persemaian demokrasi di tingkat lokal. Karena
itu,dalam proses desentralisasi (ekonomi), hal penting yang mutlak harus
dikembangkan pemerintah daerah adalah menciptakan tata kelola (governance) dan pengembangan kapasitas (capacity building) untuk menjamin
implementasi setiap kebijakan publik yang diciptakan.
Di sini setidaknya ada lima hal yang harus ada dalam prinsip tata
kelola dan pengembangan kapasitas yaitu kredibilitas, akuntabilitas,
partisipasi, prediktabilitas, dan transparansi. Konsep tata kelola dan
pengembangan kapasitas seperti di atas sesungguhnya diarahkan untuk penguatan
ekonomi daerah. Ada empat sasaran yang ingin dicapai. Pertama,produktivitas di
mana rakyat mampu meningkatkan produktivitasnya dan berpartisipasi dalam proses
pembangunan.
Kedua, pemerataan (equality)
di mana rakyat harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi
dalam pembangunan.Ketiga, kesinambungan (sustainability)
di mana pembangunan buka cuma memenuhi kebutuhan saat ini tetapi juga generasi
mendatang. Keempat, pemberdayaan (empowerment)
di mana pembangunan harus dilakukan oleh rakyat. Dari paparan di atas
setidaknya dapat dipahami bahwa desentralisasi sebagai suatu strategi ekonomi
akan berjalan bila faktor kelembagaannya diurus dengan baik.
Dalam sebuah negara yang sedang melakukan proses reformasi,
desentralisasi ekonomi bisa dianggap sebagai kelembagaan itu sendiri. Artinya,
desentralisasi dimaknai sebagai “rules of
the game” pemerintah lokal untuk menangani perekonomian daerah. Dalam
perspektif ini, berhasil atau tidaknya desentralisasi amat bergantung desain
kelembagaan makro dan mikro yang dibuat.
Misalnya, jika tujuan makro ekonomi dari desentralisasi diarahkan
untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah, pemerintah lokal harus
menyusun kelembagaan ekonomi yang efisien agar investasi terjadi misalnya
dengan menciptakan regulasi perizinan yang sederhana dan murah. Dengan
pemahaman tersebut di atas, keberhasilan pembangunan daerah dalam konteks otonomi
sangat dipengaruhi tiga hal.
Pertama, ketersediaan sistem informasi yang memuat data tentang
kinerja pembangunan daerah. Kedua, kesiapan daerah untuk mendesain sistem
pengawasan yang memungkinkan setiap program pembangunan dijalankan sesuai
perencanaan. Ketiga, menciptakan aturan main (regulasi) yang memberi ruang bagi
seluruh partisipan pembangunan daerah untuk melaksanakan program pembangunan
berdasarkan prinsip kesetaraan dan kesamaan akses.
Penegakan Hukum
Guna mencegah penyalahgunaan wewenang dan mencegah korupsi oleh
penyelenggara pemerintahan daerah, mekanisme kontrol yang ketat serta pemberian
sanksi yang tegas harus menjadi agenda utama agar otonomi daerah tidak menjadi
ruang bagi petualang- petualang politik lokal untuk mengail keuntungan besar di
tengah himpitan masyarakat menghadapi berbagai persoalan hidup yang kian
mencekik.
Partai politik dalam hal ini harus menjadi garda depan dalam
menyiapkan kader-kader yang berkualitas dan bersih. Di sini partai politik
dituntut untuk mampu menciptakan mekanisme rekrutmen politik yang mampu
melahirkan aktor yang memiliki kemampuan memadai untuk mengelola kekuasaan
secara baik dan bertanggung jawab. Meminjam argumentasi yang dikatakan Larry
Diamond (1999), partai politik harus menerapkan nilai-nilai keterampilan
berdemokrasi dalam pengelolaan anggaran negara.
Salah satunya dengan meningkatkan akuntabilitas dan
pertanggungjawaban publik dalam penyelenggaraan negara serta mendorong
terwujudnya checks and balances dalam kekuasaan. Muara dari seluruh proses di
atas adalah terjadinya pencapaian pelayanan publik yang memang menjadi ikon
dari desentralisasi. Jika desentralisasi tidak mengarahkan pada terjadinya
perbaikan pelayanan masyarakat, sesungguhnya desentralisasi tersebut telah
gagal dijalankan.
Karena itu, satu hal perlu kita tegaskan bahwa kita perlu terus
mengawal pelaksanaan otonomi daerah demi tumbuhnya persemaian demokrasi lokal
yang kita cita-citakan. Ke depan, guna membangun demokrasi lokal yang lebih
berkualitas yang harus dilakukan adalah menempatkan masyarakat sebagai arus
utama dalam seluruh pelaksanaan otonomi daerah. Dengan cara inilah wajah
otonomi daerah yang selama ini telah kusam karena berbagai penyimpangan dalam
gerak perjalanannya seperti korupsi, konflik, dan lain-lain bisa dipoles kembali
sehingga tampak lebih bermartabat.
Sumber: Koran Wawasan, 27 Maret 2013
0 komentar:
Post a Comment