Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Friday 29 March 2013

Korupsi dan Defisit Desentralisasi



Berita tentang maraknya kasus penyimpangan anggaran penerimaan dan belanja daerah (APBD) yang banyak menjerat kepala daerah telah menyentak kesadaran kita semua dan mengusik rasa keadilan masyarakat. Bagaimana tidak, hampir semua provinsi di negeri ini tersandera kasus korupsi karena ada saja kepala daerah yang saat ini berstatus tersangka atau terdakwa. Fakta ini tentu sangat mengkhawatirkan dalam tata kelola pemerintahan kita. Indonesia Corruption Watch (ICW) bahkan mencatat bahwa pada 2010 kasus korupsi atas keuangan daerah menempati urutan pertama dari tren korupsi di Indonesia.

Tak tanggung-tanggung, aktor utamanya adalah para kepala daerah dan mantan kepala daerah. Sementara tahun sebelumnya, 2009, tren korupsi didominasi anggota DPRD. Modus korupsi lewat penyalahgunaan anggaran daerah (APBD) yang menempati posisi teratas tersebut membenarkan pernyataan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Dalam rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Daerah beberapa waktu lalu,Mendagri menuturkan bahwa saat ini ada 155 kepala daerah yang tersangkut masalah hukum, dan 17 orang di antaranya gubernur.
Menyuburkan Korupsi
Pertanyaannya kemudian: mengapa otonomi daerah justru menyuburkan korupsi-korupsi di daerah di tengah upaya mewujudkan desentralisasi yang berkualitas dan tata kelola pemerintahan yang baik? Pertanyaan gugatan ini layak kita ajukan bersama karena dalam otonomi daerah, anggaran daerah menjadi pintu yang paling mungkin bagi setiap wilayah untuk mendinamisasi kegiatan pembangunan daerah melalui alokasi anggaran yang tepat.
Tentu kita sepenuhnya menyadari bahwa desentralisasi memang tidak lantas seperti “agunan”yang otomatis mampu menggaransi keberhasilan karena di dalamnya juga mensyaratkan banyak hal agar kesuksesan pembangunan daerah bisa diraih dalam sistem yang telah didesentralisasi.
Tetapi, maraknya kasus korupsi dan penyalahgunaan APBD yang justru dilakukan aparatur negara, mulai dari gubernur, bupati, wali kota, hingga kalangan DPRD, jelas telah merusak dan merobohkan sendi-sendi bangunan desentralisasi yang susah payah sedang kita bangun. Kasus-kasus korupsi tersebut tak pelak juga telah menciderai makna desentralisasi di tengah ekspektasi masyarakat yang begitu besar bahwa otonomi daerah diharapkan mampu melahirkan pencapaian pelayan publik (public services) yang baik terhadap masyarakat.
Kesejahteraan Rakyat
Penting untuk dicatat, substansi APBD pada dasarnya merupakan wujud komitmen politik dari para penyelenggara negara di daerah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Selain itu,APBD juga merupakan bentuk nyata kontrak sosial antara kekuasaan untuk membuat keputusan politik dan kebijakan politik dengan rakyat.Maka pencederaan atas komitmen tersebut melalui praktik korupsi tak urung justru telah mencoreng wajah desentralisasi dan pembusukan atas jalannya otonomi daerah itu sendiri.
Maka, maraknya kasus-kasus korupsi atas anggaran daerah dengan demikian secara telanjang menunjukkan bahwa anggaran daerah hanya dijadikan instrumen untuk menggemukkan para penyelenggaranya dan jauh dari komitmen untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Ia juga potret tata kelola yang buruk dari penyelenggara pemerintah daerah.
Komitmen atas tata kelola pemerintah daerah yang baik perlu kita teguhkan karena hingga saat ini parameter paling sederhana untuk mengukur keberhasilan desentralisasi adalah melihat sejauh mana kualitas pelayanan sektor publik dari pemerintah lokal mengalami perbaikan. Kinerja dari keberhasilan pelayanan sektor publik tersebut bisa dilihat dari dua indikator yakni efisiensi dan efektivitas.
Para penyelenggara pemerintahan seharusnya sadar bahwa anggaran daerah merupakan satu-satunya alasan yang membenarkan bagi pemerintah untuk memungut uang dari rakyat, baik dalam bentuk pajak, retribusi, maupun lainnya. Jika anggaran daerah tersebut tidak dikembalikan kepada rakyat melalui alokasi yang benar,apalagi justru dikorupsi oleh aparatnya, kewajiban rakyat untuk membayar “upeti” (baca: pajak/retribusi) menjadi batal.
Tata Kelola
Karena itu, genderang perang terhadap maraknya kasus korupsi yang lokus penyebarannya di era otonomi daerah kian mengkhawatirkan tampaknya harus terus kita tabuh. Mengapa? Karena pilihan terhadap otonomi daerah telah kita pancangkan.Kita masih optimistis bahwa strategi desentralisasi akan membuat daerah lebih memiliki ruang untuk menciptakan kebijakan yang lebih sesuai situasi wilayahnya masing-masing.
Di samping itu, ketika dikawal dengan baik otonomi daerah juga lebih memungkinkan bagi terciptanya persemaian demokrasi di tingkat lokal. Karena itu,dalam proses desentralisasi (ekonomi), hal penting yang mutlak harus dikembangkan pemerintah daerah adalah menciptakan tata kelola (governance) dan pengembangan kapasitas (capacity building) untuk menjamin implementasi setiap kebijakan publik yang diciptakan.
Di sini setidaknya ada lima hal yang harus ada dalam prinsip tata kelola dan pengembangan kapasitas yaitu kredibilitas, akuntabilitas, partisipasi, prediktabilitas, dan transparansi. Konsep tata kelola dan pengembangan kapasitas seperti di atas sesungguhnya diarahkan untuk penguatan ekonomi daerah. Ada empat sasaran yang ingin dicapai. Pertama,produktivitas di mana rakyat mampu meningkatkan produktivitasnya dan berpartisipasi dalam proses pembangunan.
Kedua, pemerataan (equality) di mana rakyat harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pembangunan.Ketiga, kesinambungan (sustainability) di mana pembangunan buka cuma memenuhi kebutuhan saat ini tetapi juga generasi mendatang. Keempat, pemberdayaan (empowerment) di mana pembangunan harus dilakukan oleh rakyat. Dari paparan di atas setidaknya dapat dipahami bahwa desentralisasi sebagai suatu strategi ekonomi akan berjalan bila faktor kelembagaannya diurus dengan baik.
Dalam sebuah negara yang sedang melakukan proses reformasi, desentralisasi ekonomi bisa dianggap sebagai kelembagaan itu sendiri. Artinya, desentralisasi dimaknai sebagai “rules of the game” pemerintah lokal untuk menangani perekonomian daerah. Dalam perspektif ini, berhasil atau tidaknya desentralisasi amat bergantung desain kelembagaan makro dan mikro yang dibuat.
Misalnya, jika tujuan makro ekonomi dari desentralisasi diarahkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah, pemerintah lokal harus menyusun kelembagaan ekonomi yang efisien agar investasi terjadi misalnya dengan menciptakan regulasi perizinan yang sederhana dan murah. Dengan pemahaman tersebut di atas, keberhasilan pembangunan daerah dalam konteks otonomi sangat dipengaruhi tiga hal.
Pertama, ketersediaan sistem informasi yang memuat data tentang kinerja pembangunan daerah. Kedua, kesiapan daerah untuk mendesain sistem pengawasan yang memungkinkan setiap program pembangunan dijalankan sesuai perencanaan. Ketiga, menciptakan aturan main (regulasi) yang memberi ruang bagi seluruh partisipan pembangunan daerah untuk melaksanakan program pembangunan berdasarkan prinsip kesetaraan dan kesamaan akses.
Penegakan Hukum
Guna mencegah penyalahgunaan wewenang dan mencegah korupsi oleh penyelenggara pemerintahan daerah, mekanisme kontrol yang ketat serta pemberian sanksi yang tegas harus menjadi agenda utama agar otonomi daerah tidak menjadi ruang bagi petualang- petualang politik lokal untuk mengail keuntungan besar di tengah himpitan masyarakat menghadapi berbagai persoalan hidup yang kian mencekik.
Partai politik dalam hal ini harus menjadi garda depan dalam menyiapkan kader-kader yang berkualitas dan bersih. Di sini partai politik dituntut untuk mampu menciptakan mekanisme rekrutmen politik yang mampu melahirkan aktor yang memiliki kemampuan memadai untuk mengelola kekuasaan secara baik dan bertanggung jawab. Meminjam argumentasi yang dikatakan Larry Diamond (1999), partai politik harus menerapkan nilai-nilai keterampilan berdemokrasi dalam pengelolaan anggaran negara.
Salah satunya dengan meningkatkan akuntabilitas dan pertanggungjawaban publik dalam penyelenggaraan negara serta mendorong terwujudnya checks and balances dalam kekuasaan. Muara dari seluruh proses di atas adalah terjadinya pencapaian pelayanan publik yang memang menjadi ikon dari desentralisasi. Jika desentralisasi tidak mengarahkan pada terjadinya perbaikan pelayanan masyarakat, sesungguhnya desentralisasi tersebut telah gagal dijalankan.
Karena itu, satu hal perlu kita tegaskan bahwa kita perlu terus mengawal pelaksanaan otonomi daerah demi tumbuhnya persemaian demokrasi lokal yang kita cita-citakan. Ke depan, guna membangun demokrasi lokal yang lebih berkualitas yang harus dilakukan adalah menempatkan masyarakat sebagai arus utama dalam seluruh pelaksanaan otonomi daerah. Dengan cara inilah wajah otonomi daerah yang selama ini telah kusam karena berbagai penyimpangan dalam gerak perjalanannya seperti korupsi, konflik, dan lain-lain bisa dipoles kembali sehingga tampak lebih bermartabat.
Sumber: Koran Wawasan, 27 Maret 2013
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Korupsi dan Defisit Desentralisasi Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda