Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Tuesday 12 March 2013

Kleptokrasi, Korupsi, dan Minimnya Budaya Jujur



Kleptokrasi merupakan persoalan besar yang membelenggu bangsa ini. Dengan kleptokrasi, terjadi penggerusan makna keuangan negara. Tanpa kleptokrasi, keuangan negara berada dalam derajat yang sangat penting dalam hal membiayai proyek-proyek pembangunan. Sementara, keberadaan proyek-proyek pembangunan memberikan kontribusi bagi upaya pencapaian kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Dengan kleptokrasi, kedudukan keuangan negara tiba-tiba mengalami degradasi makna: sekadar menjadi obyek pencurian yang diprakarsai pejabat-pejabat negara.

Tak dapat dibantah, sejak era Orde Baru kleptokrasi mengemuka sebagai persoalan besar. Kebocoran anggaran negara hingga mencapai 30%, merupakan manifestasi secara sangat gamblang kleptokrasi. Maka, muncul harapan-harapan besar di benak publik: tumbangnya Orde Baru disertai punahnya kletokrasi. Tragisnya, tumbangnya Orde Baru tak otomatis mencerabut watak kleptokrasi. Justru, kleptokrasi mendapatkan dataran pijak baru setelah berlalunya rezim Orde Baru. Lebih dari sepuluh tahun setelah Orde Baru tumbang, Indonesia justru kian diharu-biru kleptokrasi.
Nomenklatur “kleptokrasi” mengacu pada kata “kleptomania”.  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, kleptomania bermakna: “kelainan jiwa berupa keinginan hendak mencuri yg tidak dapat ditahan-tahan sekalipun barang curian itu tidak berharga atau tidak berguna sama sekali”. Mencuri dalam konteks ini telah berkembang sedemikian rupa menjadi tendensi yang mendapatkan penerimaan secara psikologis. Artinya seseorang merasa tak bersalah secara psikologis, tatkala mencuri.
Kleptomania, dengan demikian, menjadi dasar langue munculnya istilah “kleptokrasi”. Dalam makna genariknya, “kleptokrasi” mengandung makna sebagai terbentuknya jejaring kekuasaan yang diorkestrasi para maling. Dalam kedudukannya sebagai “krasi”, tentu saja eksponen kleptokrasi tak mungkin dan tak pernah mau menyebut diri mereka maling. Di sinilah masalahnya. Seseorang tetap mengklaim dirinya warga terhormat, sekali pun secara hakikat klepto (baca: maling). Di sini, kleptokrasi telah menghadirkan suatu format kamuflase, di mana para maling menyelubungi dirinya sebagai kaum terhormat.
Dalam beberapa tahun terakhir, cukup banyak pejabat negara dijebloskan ke penjara. Sebab pokoknya, mereka eksponen kleptokrasi. Sekali pun secara kategoris berlatar belakang profesional dan ilmuwan, mereka merupakan elemen penting kleptokrasi di negeri ini. Tetapi, terus-menerus mereka menegasikan kesadaran sebagai seorang klepto. Dengan demikian, muncul kesenjangan makna. Telaah pada tingkat sosiolinguistik memunculkan kesimpulan, bahwa para pejabat korup merupakan sekumpulan klepto. Tetapi, retorika yang dilontarkan kalangan kerabat sang pejabat, tak sedikit pun memberi celah adanya penerimaan terhadap hakikat klepto.
Pengulangan Sejarah
Situasi Republik Indonesia kini mengalami pengulangan sejarah kembali seperti pada saat dulu jaman penjajahan. Era dulu mungkin lebih identik dengan penjajahan bersenjata,namun kini berubah wujud dan bentuk bahkan penjajahan ini mampu merubah wajahnya dengan wajah yang baru.Namun sesungguhnya esensinya tetap saja sama. Tetap ada eksploitasi manusia, penghisapan kekayaan bumi nusantara, ketimpangan sosial, keserakahan, dan penindasan
Saya selaku penulis tidak ada maksud untuk menyebarkan ratapan dan pesimisme, namun mari renungkan secara seksama dengan akal sehat dan keobyektifitas yang ada dalam diri kita masing-masing, apakah yang sedang mendera bangsa ini. Setelah setengah abad lebih, sejak Ir.Soekarno memproklamirkan kemerdekaan, Rakyat Indonesia belum sepenuhnya menikmati esensi kemerdekaan itu sendiri. Kemiskinan, Kemelaratan, Kebodohan, Kekerasan dan masalah-masalah sosial lainnya, masih begitu lekat dan tampak dalam keseharian kita di depan mata.
Satu persoalan mendasar negeri ini yang hingga kini belum teratasi adalah praktik korupsi. Kejahatan tingkat atas bernama korupsi ini hampir merata menjangkiti seluruh simpul pokok negara dari hulu ke hilir dan berklindan dengan kekuasaan di legislatif, yudikatif maupun eksekutif. Korupsi nyaris paripurna menampilkan identitasnya sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) karena kerap mewujud dalam suatu kemapanan pola dan sukses menjadi totalitas historis atau menjadi bentuk kehidupan.
Praktik Korupsi di Indonesia di yakini kian hari kian meningkat,baik secara kuantitaif maupun kualitatif. Modus operandinya pun makin canggih. Pelakunya juga beragam,latar belakang profesi,usia,dan pendidikan. Korupsi masih merupakan penghambat bagi pertumbuhan ekonomi,penghambat kecerdasan anak bangsa, dan borok bagi nama baik Negara di mata dunia.
Menurut Transparansi Internasional yang membuat peringkat negara-negara  terkorup di dunia, tahun ini Indonesia menempati ranking ke-4. Sungguh suatu prestasi yang tidak buruk dalam hal keburukan, korupsi. Ada yang menyatakan bahwa korupsi sudah merupakan budaya di Indonesia.Korupsi banyak yang menyakini bahwa dalam prakteknya telah di lakukan secara berkelompok dan sangat tersistematis dan rapi hampir di semua instansi.
Berjamaah
Korupsi secara beramai-ramai ini seringkali melibatkan banyak orang dalam sebuah institusi sehingga kalau ada inspeksi atas keganjilan yang ditemukan, sukar sekali membongkarnya karena mereka sebagai atasan dan bawahan saling “melindungi” dan dilanjutkan dengan “kerja sama” dengan auditor. Tidak salah jika ada orang yang menamai Indonesia sebagai negara “Kleptokrasi”.
Saat ini, korupsi politik bisa dilakukan oleh siapa saja dan kelompok politik mana saja mengingat fragmentasi kekuatan politik di era demokrasi elektoral. Sejumlah pintu masuk menganga hingga kerap menarik minat para koruptor. Pertama, sirkulasi jabatan strategis di pemerintahan seperti di sejumlah kementrian yang memungkinkan pengendalian uang rakyat untuk berubah fungsi menjadi basis logistik parpol atau kandidat. Hal ini juga berlaku pada posisi-posisi penting di perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Bank Indonesia dan sejumlah aset negara lainnya yang biasanya teramat rentan untuk dikuasai dan dikendalikan oleh para koruptor.
Kedua, dalam penyusunan, pengalokasian dan pendistribusian anggaran. Kerapkali terjadi politik transaksional, mark up proyek, dan pengaturan ilegal dalam anggaran. Ketiga, korupsi politik juga kerap terjadi dalam proses penyusunan dan pengesahan UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah dan sejumlah kebijakan publik lainnya. Korupsi terjadi karena kepentingan para pihak baik pengusaha swasta, pihak asing maupun institusi pemerintah sendiri dalam lolosnya sebuah regulasi.
Oleh karena itu ungkapan “di jajah bangsa sendiri” bukanlah isapan jempol belaka, semua terasa nyata. Koruptor dan komprador telah berkolaborasi berstrategi dan memainkan pola dengan kejamnya telah memakan secara illegal kekayaan Negara,seharusnya di pergunakan untuk kemaslahatan bersama. Mereka telah mengkhianati cita-cita pendirian republik yang menginginkan keadilan dan kesejahteraan untuk semua warga Negara Indonesia.
Barang Langka
Kejujuran di Indonesia semakin lama menjadi barang langka, karena kondisi kekinian menempatkan masyarakat pun memberikan pemakluman terhadap korupsi. Dalam berbagai kesempatan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan akan menjadi panglima bagi pemberantasan korupsi. Artinya, pada tingkatan wacana dan slogan, pemerintah dapat di katakana bersungguh-sungguh memerangi korupsi. Namun apa guna wacana tanpa tampak hasilnya. Rakyat saat ini menunggu hasil kongkrit, rakyat, perlu wujud nyata,bukan sekedar janji dan harapan.
Kita tentu tidak ingin fase konsolidasi dan pelembagaan demokrasi terus-menerus tersandera oleh tindakan korupsi politik. Jika korupsi politik tak bisa dibatasi dan dikendalikan secara efektif, maka seluruh energi bangsa ini akan terisap dan benar-benar masuk ke dalam fase negara gagal.
Sumber: Wawasan 12/2/2013
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Kleptokrasi, Korupsi, dan Minimnya Budaya Jujur Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda