Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Friday 29 March 2013

Mahalnya Ongkos Politik Pilkada



Ongkos politik dalam setiap pemilihan umum memang sangat mahal. Apalagi, percaturan politik di negeri ini dipanaskan dengan menjelang 2014. Bahkan, tensi politik nasional dipastikan bakal semakin panas seiring dengan gaduhnya kontestasi politik lokal. Setelah Jawa Barat, sejumlah provinsi seperti Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, Maluku, Lampung, Papua dan beberapa daerah lainnya tinggal menunggu giliran untuk menggelar hajatan Pilkada. Tercatat, sepanjang tahun ini ada 152 Pilkada (provinsi, kabupaten/kota), termasuk sebagian yang dimajukan pelaksanaannya, karena masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada 2014 mendatang.

Mahal
Belum bisa ditaksir besarnya ongkos politik  yang akan terakumulasi akibat penumpukan jadwal pilkada itu. Triliunan rupiah sudah pasti akan mengucur dari kas negara/daerah. Dalam perhitungan KPU, biaya pilkada periode 2012-2014 mencapai Rp15 triliun (Kompas, 17/2). Belum lagi ongkos yang dikeluarkan oleh para kandidat untuk memperoleh tiket pencalonan dari parpol, belanja iklan, menyewa konsultan politik, kampanye lapangan atau bahkan politik uang.
Menurut Mendagri, Gamawan Fauzi, untuk pencalonan Gubernur dibutuhkan dana sekitar Rp100 miliar. Padahal, gaji gubernur per tahun hanya Rp8,7 juta (Tempo, 7/12).
Sementara, ada tesis yang mengatakan bahwa faktor utama pendorong seseorang berpartisipasi dalam kehidupan politik adalah kepuasan finansial (Lindenfeld, 1999). Di sinilah barangkali yang menimbulkan paradoks dalam proses rekruitmen pemimpin politik lokal yang berkualitas untuk memimpin daerah. Biaya miliaran rupiah yang telah dikeluarkan para kandidat harus berhadapan dengan tuntutan untuk membangun clean goverment and good governounce.
Wajar jika publik sering bertanya: butuh berapa lama bagi seorang kepada daerah bisa mengembalikan modal pencalonannya itu? Ongkos kekuasaan yang begitu mahal inilah yang dinilai banyak pengamat menjadi pintu untuk melempangkan jalan bagi praktik korupsi. Begitu pula dengan konflik, sengketa dan ketegangan politik lainnya yang tak bisa dinafikan kehadirannya.
Celah Bahaya
Melambungnya ongkos politik menjadi celah bahaya dan titik rawan bagi pilkada. Ini akan dimanfaatkan oleh tangan-tangan tak terlihat untuk bermain di balik layar. Mereka tak lain adalah para pelobi, pengusaha, juragan media massa, maupun korporasi gelap. Meski kelompoknya kecil masyarakat besar, namun meminjam ungkapan Gramsci (1981) mereka adalah pemenang wacana atas kuasa mayoritas. Mereka acapkali mengupayakan agar pilkada beroperasi di bawah sistem politik bayangan yang telah mereka ciptakan.
Mereka membangun jalinan personal dengan para kandidat layaknya sebuah hubungan patron dan klien. Klien biasanya memanfaatkan pilkada sebagai lahan investasi dengan cara memberikan sumbangan modal politik atau dana kampanye demi pemenangan patron. Seperti investasi dalam bisnis yang menyaratkan keuntungan di kemudian hari. Begitu pula ketika patron memenangi pilkada, investasi itu pun berbuah konsesi. Patron harus memberikan akses kepada klien. Misalnya, pemenangan tender proyek, proteksi usaha atau jaminan lesensi yang mempermudah klien mengeruk sumber-sumber kekayaan alam daerah.
Sistem politik bayangan semacam ini berjalan di atas prinsip who get what, baik materi atau immateri yang dapat dipertukarkan dan saling menguntungkan di antara mereka.  Kasus suap oleh pengusaha, Hartati Murdaya kepada Bupati Amran Batalipu saat Pilkada Kabupaten Buol yang sampai kini masih ditangani KPK adalah satu contoh tepat dari banyak kasus serupa lainnya yang belum terungkap.
 Dalam kasus itu diketahui bahwa suap digunakan untuk biaya pemenangan Amran sebagai petahana, termasuk menyewa konsultan politik senilai Rp300 juta. Konsesinya adalah memuluskan izin Hak Guna Usaha perkebunan Sawit di Kabupaten Buol. Investasi bersyarat yang dilakukan oleh pengusaha atau anonim-anonim gelap lainnya kepada calon kepala daerah saat pilkada sama artinya menyemai benih korupsi yang merugikan negara dan rakyat.
Lebih Baik dari Otoritarianisme
Meski ongkos demokrasi sangat mahal, namun menarik pernyataan Joseph Stiglitz (2012) bahwa seburuk-buruk demokrasi masih lebih baik dibanding sistem otoritarianisme. Sama halnya dalam konteks pesta demokrasi di tingkat lokal ini. Masuknya investor gelap jelang pilkada yang menjalin hubungan patron-klien dengan konsesi bisa dipastikan hampir selalu terjadi. Begitu pula dengan modus pemberian sumbangan dana kampanye fiktif atau melebihi ketentuan batas maksimal yang jarang terungkap oleh pengawas pemilu atau penegak hukum.
Praktik-praktik semacam itu bukanlah produk instrinsik demokrasi, melainkan ekses negatif dari perubahan sosio-kultural masyarakat. Di sinilah pentingnya mendudukkan pilkada bukan semata-mata hanya sebagai proses politik, melainkan juga menyertakan dimensi ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya.
 Membuat analisis cost and benefits menjadi kata kunci untuk menemukan model yang sehat dari berbagai alternatif model suksesi pemilihan. Institusionalisasi pilkada ke dalam wilayah ekonomi memerlukan penerapan prinsip-prinsip political management model yang modern, terbuka, akuntabel, termasuk strategi marketing yang efektif dan efisien.
Sukses pilkada bukan sekadar mampu melaksanakan berbagai tahapan sesuai prosedur yang dipersyaratkan, melailnkan juga mampu menghasilkan pemimpin yang bisa memahami maksud mengapa pilkada dengan biaya miliaran rupiah itu dibutuhkan. Dari sisi pemberantasan korupsi, penting kiranya merujuk kembali proses demokrasi pemilihan pejabat publik di Hong Kong.
Kasus korupsi pemilu dikategorikan sebagai bentuk tindak pidana korupsi sebagaimana dalam rumusan Elections Corrupt and Illegal Conduct Ordinary (ECICO). Sementara eksekutornya (KPK-nya) adalah The Independent Comission Against Corruption (ICAC). Misalnya disebutkan bahwa proses penegakan hukum korupsi pemilu tidak serta merta terhenti oleh kedaluwarsa (pemilu telah usai).
Inilah yang seharusnya menjadi dasar pijakan bagi perluasan kewenangan KPK untuk mencegah praktik-praktik investasi bersyarat itu. Jangan biarkan momentum pilkada hanya menampilkan ilusi partisipasi sosial untuk menutupi realitas sebenarnya bahwa kekuasaan dipegang oleh para investor tersembunyi.
Sumber: Koran Wawasan, 25 Maret 2013
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Mahalnya Ongkos Politik Pilkada Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda