Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Friday 29 March 2013

Peran Pers untuk Mendidik Masyarakat Menuju Demokrasi Ideal



Disampaikan pada Diskusi Forkam Mahasiswa Tarbiyah, Rabu 27//3/2013
Dikutip dari berbagai sumber


A.   PENDAHULUAN
Salah satu ciri menonjol negara demokrasi adalah adanya kebebasan untuk berekspresi. Kebebasan berkespresi dapat terwujud dalam berbagai bentuk, seperti ; berkesenian, menyampaikan protes atau menyebarkan gagasan melalui media cetak sebagai bagian dari bentuk ekspresi. Di antara media ekspresi dan penyebarluasan gagasan yang banyak dikenal masyarakat adalah melalui pers.


Dalam sejarah kehidupan masyarakat Indonesia, dunia Pers tidaklah asing. Jauh sebelum Indonesia merdeka, awal kemunculan Pers merupakan alat perjuangan bagi seluruh komponen masyarakat Indonesia dalam menyampaikan aspirasinya guna mencapai Proklamasi Kemerdekaan. Pasca Proklamasi Kemerdekaan 1945, peranan pers sangat besar sebagai alat perjuangan dalam rangka menyebarluaskan informasi atau berita-berita ke seluruh pelosok daerah Indonesia bahkan penjuru dunia. Dalam perkembangannya di Indonesia, dunai pers pernah mengalami pasang surut baik di era liberal, orde lama, orde baru maupun era reformasi. Pada kehidupan masyarakat demokratis, salah satu peranan penting pers adalah sebagai penggerak prakarsa masyarakat, memperkenalkan usaha-usahanya sendiri, dan menemukan potensi-potensinya yang kreatif dalam usaha memperbaiki peri kehidupannya.

Pers yang juga mengemban misi sebagai salah satu alat kontrol sosial terhadap pemerintah, telah mampu memberikan kontribusi guna melakukan koreksi dan perbaikan-perbaikan dalam melaksanakan pemerintahan. Oleh sebab itu, agar tidak terjadi pemberitaan yang menjurus fitnah setiap insan pers telah dibekali Kode Etik Profesi wartawan Indonesia yang harus dipatuhi. Kode Etik mencakup : 1) Kepribadian Wartawan Indonesia, 2) Pertanggung jawaban, 3) Cara Pemberitaan dan Menyatakan Pendapat, 4) Pelanggaran Hak Jawab, 5) Sumber Berita, 6) Kekuatan Kode Etik, dan 7) Pengawasan Penataan Kode Etik.

Era globalisasi dewasa ini telah memberi peranan yang lebih besar kepada dunia pers dalam menggalang prakarsa dan kreativitas warga masyarakat melalui berbagai infrastruktur teknologi informasi. Dunia pers dalam perspektif demokrasi, telah menemukan jati diri dan kebebasannya yang mampu menembus batas-batas negara baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya, hukum, pertahanan kemanan dan sebagainya. Oleh sebab itu, memasuki era globalisasi seluruh komponen birokrasi, maupun masyarakat harus bersikap arif dan bijaksana dalam menanggapi kritik, saran yang dilontarkan dunia pers. 

B.   PENGERTIAN, FUNGSI DAN PERAN SERTA PERKEMBANGAN PERS DI INDONESIA

1.      Pengertian Pers
Dalam kehidupan modern, kebutuhan orang akan komunikasi dan informasi semakin meningkat. Informasi dibutuhkan oleh orang untuk memperluas wawasan dan pengetahuan. Tidak jarang informasi juga menjadi bahan pertimbangan bagi seseorang untuk mengambil suatu keputusan. Dalam hal ini, pers menyediakan berbagai informasi yang berguna bagi masyarakat luas. Tidak hanya itu, pers juga dapat dimanfaatkan untuk membentuk opini publik atau mendesakkan kepentingan publik agar diperhatikan oleh penguasa.

Dengan semakin berkembangnya dunia informasi, pers sebenarnya semakin dekat dengan kehidupan kita. Lantas, apa sesungguhnya makna pers itu sendiri ? Untuk memahami makna tentang pers, berikut ini akan diberikan beberapa pengertian :
a.    Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata “pers” berarti a) alat cetak untuk mencetak buku atau surat kabar;  2) alat untuk menjepit, memadatkan; 3) surat kabar dan majalah yang berisi berita : berita seperti yang ditulis oleh ..... ; 4) orang yang bekerja di bidang persuratkabaran.
b.  Ensiklopedi Indonesia, istilah Pers merupakan nama seluruh penerbitan berkala : koran,  majalah, dan kantor berita.
c.    Ensiklopedi Pers Indonesia, istilah Pers merupakan sebutan bagi penerbit/perusahaan        /kalangan yang berkaitan dengan media masa atau wartawan. Sebutan ini bermula dari cara bekerjanya media cetak yang awalnya menekankan huruf-huruf di atas kertas yang akan dicetak. Dengan demikian segala barang yang dikerjakan dengan mesin cetak disebut pers.
d.    Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, bahwa yang dimaksud Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia.
e.  Profesor Oemar Seno Adji, Pers dalam sempit seperti diketahui mengandung penyiaran-penyiaran pikiran, gagasan atau berita-berita dengan kata tertulis. Sebaliknya pers dalam arti luas memasukkan di dalamnya semua media mass communications yang memancarkan pikiran, dan perasaan seseorang baik dengan kata-kata tertulis maupun dengan lisan.
Dengan demikian dapatlah diketahui, bahwa pers dalam arti sempit merupakan manifestasi dari “Freedom of the press”, sedangkan pers dalam arti yang luas merupakan manifestasi dari “freedom of speech” dan keduanya tercakup oleh pengertian freedom of expression”.

f.        L. Taufik, dalam bukunya “Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia”, menyatakan bahwa pengertian pers terbagi dua, yaitu pers dalam arti sempit dan pers dalam arti luas.
§  Pers dalam arti sempit diartikan sebagai surat kabar, koran, majalah, tabloid, dan buletin-buletin kantor berita. Jadi, pers terbatas pada media tercetak.
§  Pers dalam arti luas mencakup semua media massa, termasuk radio, televisi, film dan internet.

g.  Leksikom Komunikasi, Pers berarti : 1) usaha percetakan dan penerbitan, 2) usaha  pengumpulan dan penyiaran berita, 3) penyiaran berita melalui surat kabar, majalah, radio, dan televisi. Sedangkan istilah “press” berasal dari bahasa Inggris “to press” artinya menekan, selanjutnya press atau pers diartikan sebagai surat kabar dan majalah (dalam arti sempit) dan pers dalam arti luas yang menyangkut media massa (surat kabar, radio, televisi, dan film).


  1. Teori-teori Tentang Pers
Telah diuraikan secara singkat di muka bahwa pers berperan antara lain untuk menyebarluaskan informasi. Dalam konteks hak asasi manusia, hak setiap orang untuk memperoleh informasi merupakan hak yang diakui secara universal. Sementara dalam kedudukannya sebagai media massa, pers juga dapat menjadi wahana untuk menyuarakan ekspresi (kehendak, kepentingan, gagasan dan keyakinan). Kebebasan untuk berekspresi ini pun merupakan  hak asasi yang berlaku universal. Dengan demikian, kemerdekaan pers perlu memperoleh jaminan perlindungan agar hak asasi manusia tidak tertindas.

Teori tentang kebebasan  pers mulai memperoleh perhatian besar sejak tahun 1956. Dalam situasi perang dingin, muncul gejala persaingan antara dua ideologi besar, yaitu Komunisme dan Liberalisme. Tidak mengherankan jika konsep kemerdekaan pers kemudian berkembang sesuai dengan semangat zaman yang tengah dilanda persaingan tersebut di atas. Fred S. Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm dalam buku “Four Theories The Press”, yang diterjemahkan oleh Putu Lakman Sanjaya Pendit dan dikutip oleh Krisna Harahap dalam bukunya “Pasang Surut Kemerdekaan Pers”, mengemukakan empat teori kemerdekaan pers. Ke-empat teori pers tersebut adalah sebagai berikut :

a.      Teori Pers Otoritarian
Teori ini muncul berkaitan erat dengan pandangan filosofis tentang hakikat negara dan masyarakat. Teori Otoritarian menganggap negara merupakan ekspresi tertinggi dari organisasi kelompok manusia, mengungguli masyarakat dan individu. Negara dianggap sesuatu yang terpenting dalam membangun dan mengembangkan manusia seutuhnya. Tanpa negara, manusia tidak dapat mencapai tujuan hidupnya dan akan tetap menjadi manusia primitif. Pada saat teori ini lahir, hubungan antara pers dan negara berada dalam kerangka seperti itu.

Pada teori tentang pers otoritarian, kedudukan negara mengungguli kelompok manusia dan individu. Dengan demikian dibenarkan adanya sensor pendahuluan, pembredelan, pengendalian produksi secara langsung oleh pemerintah dan sebagainya, yang dikukuhkan oleh peraturan perundang-undangan. Keberadaan pers sepenuhnya bertujuan untuk mendukung pemerintah yang bersifat otoritas, sehingga pemerintah langsung menguasai, mengawasi dan mengendalikan seluruh media massa. Dengan demikian, pers merupakan alat penguasa untuk menyampaikan keinginannya kepada rakyat. Andai pun ada kebebasan pers, kebebasannya itu pun tidak harus menyalahkan atau mengkritik penguasa.

Menurut pendapat Mc. Quail, di dalam teori pers otoritarian disebutkan prinsip-prinsip dasar pelaksanaan sebagai berikut :
1)      Media selamanya (akhirnya)harus tunduk kepada penguasa yang ada.
2)      Penyensoran dapat dibenarkan.
3)   Kecaman terhadap penguasa atau terhadap penyimpangan dari kebijakan resmi tidak dapat diterima.
4)      Wartawan tidak mempunyai kebebasan di dalam organisasinya.


b.      Teori Pers Libertarian
Teori ini merupakan reaksi terhadap Teori Pers Otoritarian dan sekaligus menjungkir balikkannya. Jika teori Otoritarian menekankan kepada negara sebagai ekspresi tertinggi dari organisasi kelompok manusia, maka dalam teori Libertarian kebalikannya, yaitu tekanan diberikan kepada individu dan masyarakat yang kelak melahirkan pemikiran tentang demokrasi.
Sesuai dengan ajaran demokrasi, manusia memiliki hak-hak alamiah untuk mengejar kebenaran yang hakiki dan memiliki kebebasan untuk menyatakan pendapat, secara lisan dan tulisan (pers) tanpa kontrol dari pemerintah (pihak luar). Maka, Teori Libertarian berpendapat bahwa pers harus memiliki kebebasan yang seluas-luasnya untuk membantu manusia mencari dan menemukan kebenaran yang hakiki tersebut. Salah satu cara yang paling efektif untuk mencari dan menemukan kebenaran itu ialah melalui pers. Menurut teori ini, pers merupakan sarana penyalur hati nurani rakyat untuk mengawasi dan menentukan sikap terhadap kebijakan pemerintah. Karenanya ia bukanlah alat kekuasaan pemerintah, sehingga ia harus bebas dari pengaruh dan pengawasan pemerintah.

Dengan demikian, teori ini memandang sensor merupakan tindakan yang inkonstitusional terhadap kemerdekaan pers. Menurut Krisna Harahap Pers Libertarian, mempunyai tugas sebagai berikut :
1)      Melayani kebutuhan kehidupan ekonomi (iklan)
2)      Melayani kebutuhan kehidupan politik
3)      Mencari keuntungan (demi kelangsungan hidupnya)
4)      Menjaga hak warga negara
5)      Memberi hiburan.

Selanjutnya Krisna Harahap menyebutkan tentang ciri-ciri pers yang merdeka (libertarian) sebagai berikut :
1)      Publikasi bebas dari setiap penyesoran pendahuluan,
2)   Penerbitan dan pendistribusian terbuka bagi setiap oran tanpa memerlukan izin atau lisensi,
3)      Kecaman terhadappemerintah, pejabat atau partai politik tidak dapat dipidana,
4)      Tidak ada kewajiban mempublikasikan segala hal,
5)    Publikasi “kesalahan” dilindungi sama halnya degan publikasi kebenaran dalam hal-hal yang berkaita dnegan opini dan keyakinan,
6)   Tidak ada batasan hukum terhadap upaya pengumpulan informasi untuk kepentingan publikasi,
7)      Wartawan mempunyai otonomi profesional dalam organisasi mereka.


c.      Teori Tanggung Jawab Sosial
Pada awal abad ke-20, “lahirlah” teori pers lain, yaitu Teori Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility sebagai protes terhadap Teori Libertarian yang mengajarkan kebebasan mutlak, yang dianggap telah menimbulkan kemerosotan moral masyarakat.

Teori ini mengemukakan dasar pemikiran bahwa kebebasan pers harus disertai dengan tanggung jawab kepada masyarakat. Menurut Teori Tanggung Jawab Sosial, kebebasan pers itu perlu dibatasi oleh dasar moral, etika dan hati nurani insan pers. Prinsip dasar pandangannya adalah bahwa kemerdekaan pers harus disertai dengan kewajiban-kewajiban, antara lain untuk bertanggung jawab kepada masyarakat.

Menurut Krisna Harahap prinsip utama teori Tanggung Jawab Sosial, dapat ditandain sebagai berikut :
1)      Media mempunyai kewajiban tertentu kepada masyarakat.
2)      Kewajiban tersebut dipenuhi dengan menetapkan standar yang tinggi atau professional tentang keinformasian, kebenaran, obyektivitas, keseimbangan, dsb.
3)      Dalam menerima dan menerapkan kewajiban tersebut, media seyogyanya dapat mengatur diri sendiri dalam kerangka hukum dan lembaga yang ada.
4)      Media seyogyanya menghindari segala sesuatu yang mungkin menimbulkan kejahatan, yang akan mengakibatkan ketidaktertiban  atau penghinaan terhadap minoritas etnik atau agama.
5)      Media hendaknya bersifat pluralis dan mencerminkan kebhinekaan.
6)      masyarakatnya dengan memberi kesempatan yang sama untuk mengemukakan berbagai sudut pandang dan hak untuk menjawab.
7)      Masyarakat memiliki hak mengharapkan standar prestasi yang tinggi dan intervensi dapat dibenarkan untuk mengamankan kepentingan umum.
Mengenai kebebasan pers, Komisi Kemerdekaan Pers menyatakan bahwa kemerdekaan pers itu harus diberi arti :
1)       Bahwa kebebasan tersebut tidaklah berarti bebas untuk melanggar kepentingan-kepentingan individu yang lain.
2)       Bahwa kebebasan harus memperhatikan segi-segi keamanan negara.
3)       Bahwa pelanggaran terhadap kemerdekaan pers membawa konsekuensi/ tanggung jawab terhadap ukuran yang berlaku.

Pengertian kemerdekaan pers yang diberikan oleh Komisi Kemerdekaan Pers seperti tersebut di atas menunjukan bahwa kemerdekaan yang mutlak hanyalah merupakan khayalan belaka. Menurut teori tanggung jawab sosial, bahwa pembatasan terhadap kemerdekaan pers itu justru perlu diadakan dengan alasan : untuk melindungi kehormatan dan nama baik individu/kelompok, melindungi nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat dan melindungi ketertiban serta keamanan, baik yang datang dari dalam (subversi) maupun yang datang dari luar (agresi).

Perlunya pembatasan pers, yaitu  dimaksudkan untuk kepentingan : keamanan sosial, ketertiban umum, memelihara persahabatan antar negara, melindungi agama yang dianut oleh masyarakat, melindungi ras/golongan suku bangsa, melindungi orang/masyarakat, dan melindungi hak-hak peradilan terhadap”contempt of court” atau pengkhianatan/pendiskreditan pengadilan.

Bonus Info Kewarganegaraan

Komisi Kemerdekaan Pers menggariskan lima hal yang menjadi tuntutan masyarakat modern terhadap pers, dan merupakan ukuran pelaksanaan kegiatan pers, yakni :
1.         Pers dituntut untuk menyajikan laporan tentang kejadian sehari-hari secara jujur, mendalam dan cerdas. Ini merupakan tuntutan kepada pers untuk menulis secara akurat, dan tidak berbohong.
2.         Pers dituntut untuk menjadi sebuah forum pertukaran komentar dan kritik, yang berarti pers diminta untuk menjadi wadah diskusi di kalangan masyarakat, walaupun berbeda pendapat dengan pengelolanya sendiri.
3.         Pers hendakanya menonjolkan sebuah gambaran yang representatif kelompok-kelompok dalam masyarakat. Hal ini mengacu pada segelintir kelompok minoritas dalam masyarakat yang juga memiliki hak yang sama dalam masyarakat untuk didengarkan.
4.         Pers hendaknya bertanggung jawab dalam penyajian dan penguraian tujuan dan nilai-nilai dalam masyarakat.
5.         Pers hendaknya menyajikan kesempatan kepada masyarakat untuk memperoleh berita sehari-hari. Ini berkaiatan dengan kebebasan informasi yang diminta masyarakat.


d.      Teori Pers Komunis
Teori ini beranjak dari ajaran Karl Marx yaitu Marxisme/Komunisme. Menurut Teori Pers Komunis, pers merupakan alat pemerintah (partai yang berkuasa) dan bagian integral dari negara, sehingga pers harus tunduk kepada pemerintah.

Pers Komunis berfungsi sebagai alat untuk melakukan “indoktrinasi massa”. Sehubungan dengan itu, F. Rachmadi (1990) dalam bukunya “Perbandingan Sistem Pers”, menyatakan bahwa dalam hubungan dengan fungsi dan peranan pers Komunis sebagai alat pemerintah dan partai, pers harus menjadi suatu collective propagandist, collective agitation dan collective organizer

Ciri-ciri Teori Pers Komunis ini adalah sebagai berikut :
1)    Media berada di bawah pengendalian kelas pekerja, karenanya ia melayani kepentingan kelas tersebut.
2)      Media tidak dimiliki secara pribadi.
3)     Masyarakat berhak melakukan sensor dan tindakan hukum lainnya untuk mencegah atau menghukum setelah terjadinya peristiwa publikasi anti masyarakat.


3.     Sistem Pers di Beberapa Negara

a.      Sistem Pers Barat (USA)
Pada negara-negara Barat yang diwakili oleh Amerika dan Eropa, kebebasan pers diyakini sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang dimiliki oleh setiap individu. Oleh sebab itu,  masyarakat meminta kepada negara agar memberikan kemerdekaan dengan tanpa turut campur terlalu dalam terhadap kehidupan pers.
Perihal kebebasan pers di Amerika yang mengusung falsafah “Liberalisme”, telah mengundang pro dan kontra dalam beberapa kasus sebagai berikut :

Pandangan Pro Kebebasan
Pandangan Kontra Kebebasan
Kebebasan pers telah terbukti memberi sumbangan positif bagi praktik demokrasi dan kontrol yang efektif terhadap pengelolaan negara. Sebagai contoh, dapat dikemukakan salah satu kasus yang meng-hebohkan dunia pers Amerika Serikat, yaitu Watergate. Kasus ini bermula dari tertang-kapnya lima orang yang memasuki kantor Parti Demokrat di kompleks Watergate, Washington DC dengan tanpa izin pada tanggal 17 Juni 1972.
Beberapa pejabat tampak berusaha menutupi apa yang sebe-narnya terjadi di balik kasus ini. Penyelidikan yang dilakukan oleh Carl Bernstein dan Bob Woodward, dua orang wartawan Washington Post menguak hubu-ngan kelima kawanan pencuri tersebut dengan Gedung Putih. Terungkap kemudian bahwa kelima orang tersebut melakukan upaya memata-matai Partai Demokrat yang merupakan lawan politik presiden berkuasa, Richard M. Nixon (berasal dari Partai Republik).
Kasus ini berakhir dengan dipenjarakannya para pelaku kejahatan dan mundurnya Presiden Nixon dari jabatan Presiden Amerika Serikat. Atas kerja keras mengungkap kasus tersebut, dua wartawan yang bersangkutan kemudian memperoleh pengharagaan pers yang bergengsi, yaitu Pulitzer.
Kemerdekaan pers Amerika Serikat yang terlalu bebas, telah menuai kritik-kritik tajam terhadap pers itu sendiri. Pers yang dianggap terlalu asyik mengungkap aspek-spek negatif Amerika Serikat, sehingga membuat negara Amerika tampak buruk di mata dunia. 
Edwin Emery dan kawan-kawan dalam buku “Introduction to Mass Communiction” menyatakan bahwa “memang benar konstitusi Amerika Serikat menjamin kebebasan pers, yang semestinya harus berjalan bersama-sama dengan kebebasannya. Interpretasi mengenai tanggungjawab ini sebagian besar diserahkan kepada integritasi, etika, dan rasa moral dari orang yang menulis, menerbitkan dan berbicra”.
Hal ini dapat menimbulkan berbagai bahaya, karena kekuatan pers dapat membakar opini dan emosi publik dalam situasi konflik sosial dan keadaan sensitif lainnya. Kemerdekaan pers yang terlalu bebas ini, dalam dua sampai tiga dasa warsa terakhir dirasakan merusak moral masya-rakat dan mengganggu keamanan pemerintah.
Belakangan ini tuntutan masyarkat dan pemerintah terhadap pertanggung jawaban pers semakin serius. Kritik-kritik tajam pun sangat deras menghujani pers, karena pers dianggap terlalu komersial, merusak moral masyarakat dan lain-lain, serta telah berani melanggar hak kehidupan pribadi seseorang melalui tulisan-tulisannya yang sensasional, murahan, demi kepentingan untuk meraup uang yang sebanyak-banyaknya.

Jika di lihat dari aspek hubungan pers dengan pemerintah Amerika Serikat, dapat digambarkan sebagai hubungan persaingan. Artinya pers Amerika Serikat bebas dari campur tangan pemerintahannya dan demikian pula sebaliknya, sehingga terdapat persaingan diantara pers dengan pemerintah, terutama dalam hal megembangkan diri dan kepemimpinan. Di Amerika Serikat, pers mempunyai kebebasan untuk bergerak. Di dalam sistem liberal seperti di Amerika serikat, pers tidak berorientasi pada politik pemerintah, artinya pers bukan merupaka terompet pemerintah seperti di negara-negara sosialis.

Disisi lain perlu difahami pula bahwa hubungan antara pers, pemerintah dan masyarakat di Amerika dan Eropa, sesungguhnya dapat digambarkan sebagai “upaya saling mengontrol”. Artinya, walaupun ideologi kebebasan yang dianut memberi kemerdekaan berekspresi, tetapi bukan berarti semuanya tanpa kontrol. Hubungan yang demikian dapat menciptakan pemerintahan yang bersih dan kuat serta masyarakat sipil yang juga kuta. Kondisi yang demikian memberi sumbangan penting bagi terbangunnya kehidupan sosial yang demokratis.

Bonus Info Kewarganegaraan

Dikalangan eksekutif pers Amerika Serikat, seperti redaktur, dan para editor yang merasa profesi persnya telah tercemar akibat itu semua, berusaha menyusun Kode Etik Pers yang di sebut “Canon Jurnalism”, yang isinya dikutip oleh F. Rachmadi antara lain sebagai berikut :
a.         Tanggung jawab (Romawi I) yaitu hak koran untuk menarik pembaca tidak ada yang membatasi kecuali pertimbangan tentang kesejahteraan publik. Jurnalis yang memakai kekuatannya untuk kepentingan sendiri atau tujuan yang tak berharga adalah durhaka pada kepercayaan yang tertinggi.
b.         Ketulusan, kebenaran, ketepatan (Romawi IV), yaitu kepercayaan pembaca adalah dasar bagi semua yang dinamakan jurnalisme. Bagi koran, untuk berbuat jujur adalah hal yang memaksa.
c.         Netral/adil (Romawi V), yaitu memisahkan laporan berita dengan pernyataan pendapat. Laporan berita haruslah bebas dari pendapat atau macam-macam bias.
d.         Fair play (Romawi VI), yaitu antara lain berisi larangan untuk mencampuri hak pribadi atau perasaan seseorang tanpa pembenaran undang-undang dan harus mengadakan koreksi lengkap mengenai kesalahan seriusnaya mengenai fakta atau opini yang mereka buat, apapun masalahnya.
Kode etik ini merupakan bentuk atau isyarat bahwa pers Amerika Serikat menuju kepada pers yang bertanggung jawab.


b.      Sistem  Pers Komunis (Rusia)
Kehidupan pers di negara-negara komunis (yang akan diwakili oleh Sistem Pers Rusia) pada umumnya, merupakan cerminan sistem sosial dan politik komunis. Bertolak dari konsep bahwa kepemilikan atas sarana-sarana produksi dan distribusi berada di bawah kekuasaan negara, maka pers di negara Komunis dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah; tidak adak kepemilikan oleh perorangan atau swasta. Pemerintah dan partai komunis menggunakan pers sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuannya, yaitu sebagai instrumen yang terintegrasi dengan kekuasaan pemerintah dan partai untuk kegiatan propaganda dan agitasi.

Menurut Heinz Ditriech Fisher dan John C. Merril, dalam buku “Internasional Communication” yang di kutip oleh F. Rachmadi, menyatakan “ Membicarakan sistem pers Uni Soviet (Rusia), tidak dapat terlepas dari tiga nama tokoh yang meletakan dasar sistem pers Soviet. Mereka adalah Lenin, Stallin, dan Kruchcev.”..... “Menurut Lenin, pers harus melayani kepentingan kaum buruh yang merupakan kelompok mayoritas”. Dijelaskan lebih lanjut, Lenin adalah pencetus teori pers komunis dan Stalinlah yang menerapkan ajaran Lenin. Stalinlah yang membuat lembaga sensor, penekanan-penekanan, dan sebagainya, sedangkan Krushcev lebih menyadari bahwa pers itu ternyata dapat juga menjadi forum pertukaran pendapat.

Secara ringkas tentang fungsi pers di bekas negara Uni Soviet (Rusia) seperti yang ditulis oleh F. Rachmadi , adalah  sebagai berikut :
1)      Pers sebagai alat propaganda, agitator, dan organisator kolektif.
2)      Pers merupakan tempat pendidikan kader-kader komunis di kalangan masa.
3)  Pers bertugas sebagai lembaga yang memmobilisasi dan berorganisir masa untuk   pembangunan ekonomi.
4)    Pers menerapkan dan menyiarkan semua dekrit, keputusan, intruksi yang di keluarkan oleh Komite Sentral Partai maupun oleh Pemerintah Rusia serta bahan publikasi lain dari pemerintah.
5)      Pers berfungsi sebagai alat untuk melakukan kontrol dan kritik.

Sesuai dengan fungsi dan peranan pers di Rusia, mereka tidak mementingkan pemberitaan, karena badan sensor tidak akan memberi izin untuk memberitakan kejadian-kejadian penting yang tidak dikehendaki, serta menghindari pemberitaan-pemberitaan tentang hak asasi manusia.


c.      Karakteristik Pokok Pers Barat dan Pers Komunis
Sistem pers sebagaimana sistem-sistem yang lain di berbagai negara, memiliki ciri khas atau karakteristik masing-masing. Berikut ini, perbandingan karakteristik pers Barat dan pers Komunis/Sosialis.

Perbandingan Karakteristik Sistem Pers
Pers Barat
Pers Komunis
1.         Mengagung-agungkan kebebasan pers yang seluas-luasnya, karena mereka merasa bahwa kebebasan pers berkaitan erat dengan kebebasan politik (asas Demokrasi). Pers memiliki peranan penting di dalam sistem politik modern.
2.         Hubungan pers dan pemerintah adalah saling berhadapan (adversary theory), dengan persaingan yang sama. Pers bebas dari campur tangan pemerintah dan  sebaliknya. Demikian pula hubungan dengan masyarakat, keduanya sama-sama saling membutuhkan. Tanpa saling menunjang, maka baik pers maupun masyarakat akan sama-sama kehilangan mata rantai kehidupan.
3.         Media masa, khususnya pers, sebagai ajang bisnis besar (di Amerika Serikat). Pelayanan pokok terhadap kemajuan bidang ekonomi, adalah bahwa pers mampu menjangkau konsumen yang luas untuk mengiklankan suatu produk. Tanpa iklan, produk industri tidak akan dikenal oleh konsumen.
4.     Angka sirkulasi surat kabar sangat tinggi. Ratio antara surat kabar dengan penduduk berbanding 1 : 3, bahkan ada yang mencapai 1: 2. Sirkulasi surat kabar yang besar itu ditunjang oleh sistem disribusi yang baik pula.
5.       Media masa khusunya pers, mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kehidupan sosial dan politik dalam masyarakat.
6.    Reading habit masyarakat tinggi, ditunjang oleh pendapata per kapita yang tinggi pula.
7.       Teknik persurat kabaran sangat modern, ditunjang oleh teknologi komunikasi yang canggih.
1.        Sistem pers Komunis/ Sosialis didasari oleh ajaran Marxisme/ Leninisme.


2.        Pers berada di tangan partai komunis dan menjadi organ propaganda dan agitasi partai untuk mencapai masyarakat komunis internasional. Kekua-saan ada ditangan satu partai, yaitu partai komunis dengan sistem pengendalian media masa secara sentral.

3.        Kebebasan pers secara formal di jamin dalam konstitusi, tetapi di dalam praktiknya terdapat penekanan-penekanan, dengan di ciptakannya lembaga sensor yang di sebut “GLAVIT”.


4.        Kebebasan hanya ada pada kaum proletar, yaitu kaum buruh. Menurut Lenin, sistem pers yang berlaku di Soviet adalah pers yang melayani kepentingan kaum buruh.
5.        Kebebasan individu dibatasi dan masyarakatnya bersifat tertutup.


4.     Sistem Pers di Negara-Negara Berkembang

a.      Pengertian
Sebagian besar negara-negara berkembang adalah negara-negara yang baru merdeka setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua yang ada pada kawasan benua Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Kehadirannya ada yang lahir melalui perjuangan kemerdekaan (seperti Indonesia, Vietnam, Aljazair), ada pula yang merupakan pemberian dari negara penjajahnya seperti India, dan Malaysia. Akibat cara memperoleh kemerdekaan yang berbeda, hal ini sangat berpengaruh terhadap sosial, ekonomi, politik dan budaya serta sistem pers negara yang bersangkutan. Pers di negara-negara berkembang pun berada dalam proses perubahan nilai-nilai lama ke nilai-nilai baru yang lebih bersifat nasionalisme.

Namun ironisnya setelah terbentuknya pemerintahan sendiri yang berdaulat, sebagian negara-negara berkembang tersebut masuk kembali dalam pusaran penjajahan. Bedanya, penjajahan kali ini dilakukan oleh pemerintahan sendiri yang dipimpin oleh pemimpin yang otoriter. Para pemimpin otoriter ini melakukan kontrol terhadap segenap kehidupan masyarakat dan sebaliknya, berupaya membebaskan pemerintahannya dari kontrol masyarakat.

Lembaga pers juga tidak lepas dari pengaruh dan kontrol pemerintah. Hal ini tidak dapat dihindarkan dari kenyataan bahwa pers dapat menjadi pembentuk opini publik. Jika kritisme pers dapat dibungkam, besar kemungkinan kendali terhadap segenap kehidupan rakyat akan tergenggam aman di tangan penguasa.


b.      Sistem Pers dan Karakteristiknya di Negara-negara Berkembang
Sistem politik dan sistem pemerintahan di negar-negara berkembang pada umumnya masih mengikuti atau meneruskan sistem pemerintahan/sistem politik negara bekas penjajahnya dengan beberapa penyesuaian, termasuk pula pada sistem persnya. Pers di negara-negara berkembang hingga kini, kebanyakan berada dalam proses transisi dan transformasi dari nilai-nilai lama (kolonial) ke nilai-nilai baru (nasional).

Dengan demikian berarti mereka berada dalam proses mencari bentuk yang paling tepat, atau sedang berusaha keras untuk menemukan indentitas dirinya. Ciri-ciri khusus sistem pers pada negara-negara berkembang umumnya adalah sebagai berikut :
1)      Sistem persnya cenderung mengikuti sistem pers negara bekas penjajahnya.
2)  Pers di negara berkembang sampai saat ini berada dalam bentuk transisi. Ia masih berusaha mencari bentuk yang tepat atau mencari identitas. Karena masih dalam taraf transisi, maka pers negara berkembang biasanya kurang stabil.
3)     Negara berkembang umumnya sedang membangun. Hal ini menyebabkan pers dituntut untuk bisa berperan sebagai “agent of social change” di mana pers bersma-sama pemerintah mempunyai tanggung jawab atas keberhasilan pembangunan.
4)      Secara umum kebebasan pers di negara berkembang diakui keberadaannya, tetapi dalam pelaksanaannya terdapat pembatasan-pembatasan. Hal ini disebabkan oleh karena pers dituntut untuk ikut menjamin atau mengusahakan stabilitas politik dan ikut serta dalam pembangunan ekonomi. Pada umumnya, sistem persnya menganut sistem tanggung jawab sosial (social responsibility ).
5)   Pada umumnya, pers di negara berkembang mengalami masalah yang sama di bidang komunikasi, yaitu; ketimpangan informasi, monopoli, dan pemusatan yang berlebihan dari sumber dan jalur komunikasi. Hal ini mengakibatkan adanya dominasi negara maju atas negara berkembang di bidang informasi dan komunikasi.
6)    sistem dan pola hubungan antara pers dan pemerintah mempunyai tendensi perpaduan antara sistem-sistem yang ada (libertarian, authoritarian, social responsibility, dan lain-lain.).


5.     Sifat, Fungsi dan Peranan Pers

a.      Sifat Pers
Ideologi atau falsafah yang dianut setiap negara, akan berpengaruh terhadap sifat pers yang ada di negara tersebut. Oleh sebab itu, sifat pers antara satu negara dengan negara lainnya tidak sama. Hingga sekarang paling tidak terdapat  6 (enam) sifat pers yang penerapannya berbeda, yaitu dapat dilihat berikut ini :

No
Sifat Pers (Falsafah)
Keterangan/Uraian
Contoh Negara
1.
Liberal Democration press  (Pers Demokrasi liberal).
Kebebasan pers dipersepsikan sebagai kebebasan yang tanpa batas. Artinya, kritik dan komentar pers dapat dilakukan kepada siapa saja, termasuk kepada kepala negara sekalipun. Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon misalnya, tumbang setelah dihujat habis-habisan pers AS, karena skandal “ watergate-nya”.
Amerika Serikat, Inggris, & negara-negara Eropa.
2.
Communist Press (Pers Komunis)
Terbentuk karena latar belakang pemerintahan negaranya yamg menitik beratkan pada kekuasaan tunggal Partai Komunis. Dengan demikian, suara pers harus sama dengan suara partai komunis yang berkuasa, dan wartawannya adalah orang-orang yang setia kepada partai komunis. Pers komunis umumnya berada di negara-negara sosialis yang menganut ideologi komunis atau marxisme.
Rusia, Cina, Kuba, Korea Utara, dan lain-lain.
3.
Authoritarian Press  (Pers Otoriter )
Terlahir dari negara penganut politik fasis, dimana pemerintah berkuasa secara mutlak. Pers Otoriter terjadi pada saat pemerintahan Nazi Jerman (1936-1945) yang sangat terkenal kekejamannya. Pers dilarang melakukan kritik dan kontrol kepada pemerintah. Pers hanya untuk kepentingan penguasa.
Jerman (Adolf Hitler) dan Italia  (Musolini)
4.
Freedom and Responsibility Perss  (Pers
Bebas dan Bertanggung-jawab)
Istilah ini semula merupakan slogan dari negara-negara barat, yang menginginkan kebebasan pers harus dipertanggungjawabkan kepada kehidupan bermasyarakat. Akan tetapi karena negara-negara tersebut masing-masing mempunyai pandangan berbeda terhadap pengertian bebas, maka kebebasan pers disetiap negara menjadi berbeda pula, tergantung pada bobot yang dianut oleh masimg-masimh negara.

5.
Development Press  (Pers Pembangunan)
Dimunculkan oleh para jurnalis dari negara-negara yang sedang berkembang (development country) dengan alasan karena sedang giat-giatnya melakukan pembangunan. Namun masing-masing negara tersebut memiliki arah dan tujuan pembangunan yang berbeda. Untuk menyamakan pandangan terhadap pers pembangunan, Wilbur Schramm memberi-kan batasan sebagai berikut :
a. Pers harus dapat menciptakan iklim pem-bangunan di negaranya.
b.      Pers harus mampu mengarahkan perha-tian masyarakat dari kebiasaan lama menjadi perilaku yang lebih maju lagi.
c.       Pers harus mampu memperluas panda-ngan (cakrawala) bagi masyarakatnya.
d.     Pers harus dapat meningkatkan aspirasi dan mendorong masyarakat berpola pikir kearah kehidupan yang lebih baik lagi.
e.        Pers harus bisa memperlebar tukar piki-ran (diskusi) dan kebijakan (policy).
f.   Pers harus mampu menetapkan norma sosial.
g.  Pers harus mampu membantu secara substansial dari semua jenis kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Indonesia, dan negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin.













6.
Five Foundation Press (Pers Pancasila)
Dilahirkan oleh bangsa Indonesia karena falsafah negaranya adalah Pancasila. Sampai sekarang belum ditemukan definsi yang tepat. Beberapa tokoh pers, memberi ancar-ancar sifat pers Pancasila itu adalah pers yang melihat segala sesuatu secara proposional. Pers Pancasila mencari keseimbangan dalam berita atau tulisannya demi kepentingan dan kemaslahatan semua pihak sesuai dengan konsensus demokrasi Pancasila.
Indonesia


b.      Misi dan Fungsi Pers
Pers sesungguhnya lebih dikenal sebagai Lembaga Kemasyarakatan (social institution). Sebagai lembaga sosial, pers mempengaruhi pola pikir dan kehidupan masyarakat, tetapi sebaliknya masyarakat juga berpengaruh terhadap pers. Pers dapat mempengaruhi masyarakat karena ia sebagai komunikator massa. Pers berusaha menyampaikan informasi dengan sesuatu yang baru, karena masyarakat sebagai konsumen pers, sangat selektif dalam memilih informasi.

Pers sebagai lembaga kemasyarakatan yang bergerak di bidang pengumpulan dan penyebaran informasi mempunyai misi sebagai berikut :
1)      Ikut mencerdaskan masyarakat,
2)      Menegakkan keadilan,
3)      Memberantas kebatilan.


Dalam tulisan Kusman Hidayat yang berjudul “Dasar-dasar Jurnalistik/Pers“ menyatakan bahwa Pers mempunyai 4 (empat) fungsi sebagai berikut :
1)    Fungsi Pendidik, yaitu melalui karya-karya tercetaknya dengan segala isi, baik langsung ataupun tidak langsung dengan sifat keterbukaannya, membantu masyarakat meningkatkan budayanya. Segala peristiwa yang dimuat pers, masyarakat bisa menilai sendiri hal ihwal sebagai teladan bagi kehidupannya. Melalui rubrik-rubrik khusus, seperti ruang kebudayaan atau ruang ilmu pengetahuan, dapat menambah pengetahuan masyarakat.
2)   Fungsi Penghubung, dengan ciri universalitasnya, pers merupakan sarana lalu-lintas hubungan antar manusia. Melalui pers akan tumbuh saling pengertian atau dapat digunakan oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan untuk menumbuhkan kontak antar manusia agar tercipta saling pengertian dan saling tukar pandangan bagi perkembangan dan kemajuan hidup manusia.
3)  Fungsi Pembentuk Pendapat Umum; melalui rubrik-rubrik dan kolom-kolom tertentu seperti tajuk rencana, pikiran pembaca, pojok, dan lain-lain, merupakan suatu ruang untuk memberikan pandangan atau pikiran kepada khalayak pembaca.
4)    Fungsi Kontrol, dengan fungsi ini pers berusaha melakukan bimbingan dan pengawasan kepada masyarakat tentang tingkah laku yang benar atau tingkah laku yang tidak dikehendaki oleh khalayak.


Bonus Info Kewarganegaraan

Menurut Mochtar Lubis, di negara-negara berkembang pers mempunyai 5 (lima) fungsi, yaitu :
a.       Fungsi pemersatu, yakni memperlemah tendensi perpecahan, baik perpecahan sosial maupun kultural.
b.     Fungsi pendidik, artinya memberikan informasi perkembangan ilmu            pengetahuan dan teknologi, do samping menunjukkan betapa kemajuan IPTEK itu dapat dimanfaatkan untuk mencapai kesejahteraan material dan spiritual.
c.        Fungsi “public watch dog “ atau penjaga kepentingan umum. Dalam hal ini pers harus melawan setiap penyalahgunaan kekuasaan dana korupsi, menentang setiap kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan rakyat, serta menyuarakan kepentingan kelompok kecil rakyat yang tidak dapat menyuarakan kehendaknya.
d.      Fungsi mengapuskan mitos dan mistik dari kehidupan politik negara-negara berkembang.
e.   Fungsi sebagi forum untuk membicarakan masalah-masalah politik yang dihadapi oleh negar-negara Asia, dan menumbuhkan dialog agar timbul pemecahan masalah yang dihadapi bersama.



c.      Peranan Pers
Di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, disebutkan bahwa pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut :
1)      Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.
2)      Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan.
3)      Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar.
4)    Melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan       dengan kepentingan umum.
5)      Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.


Sedangkan menurut Jacob Utama, dalam konteks masyarakat Indonesia pers mempunyai peranan khusus sebagai berikut :
1)  Tugas untuk memperkuat dan mengkreatifkan konsensus-konsensus dasar nasional. Ini penting karena umumnya negara sedang berkembang adalah bangsa yang masih membutuhkan konsensus dasar bagi perekat integrasi nasional. Itulah infrastruktur kejiwaaan bagi pembangunan bangsa.
2)      Pers perlu mengenali masalah-masalah sosial yang peka dalam masyarakatnya. Bukan untuk didiamkan, tetapi juga bukan serta merta diberitakan begitu saja. Perlu diusahakan pemecahannya bersama pemerintah dan masyarakat secara bijaksana dengan tetap berorientasi maju.
3)   Pers perlu menggerakkan prakarsa masyarakat, memperkenalkan usaha-usahanya sendiri, menemukan potensi-potensinya yang kreatif dalam usaha memperbaiki peri kehidupannya.
4)      Pers menyebarluaskan dan memperkuat rasa mampu masyarakat untuk mengubah nasibnya sendiri.
5)      Kekurangan, kegagalan, serta korupsi dilaporkan bukan untuk merusak dan membangunkan rasa pesimis, tetapi untuk koreksi dan membangkitkan kegaairahan dan selalu melangkah maju. Karena itu harus bersedia mengoreksi diri dan dikoreksi.


6.     Perkembangan Pers di Indonesia

a.      Pers Jaman Penjajahan Belanda
Pemerintah penjajah Belanda sejak menguasai Indonesia, mengetahui dengan benar pengaruh surat kabar terhadap masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu dipandang perlu membuat undang-undang khusus untuk membendung pengaruh pers Indonesia, karena merupakan  momok yang harus diperangi.

Saruhum dalam tulisannya yang berjudul “Perjuangan Surat Kabar Indonesia” yang dimuat dalam sekilas “Perjuangan Surat Kabar”, menyatakan: “Maka untuk membatasi pengaruh momok ini, pemerintah Hindia Belanda memandang tidak cukup mengancamnya saja denagn Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Setelah ternyata dengan KUHP itu saja tidak mempan, maka diadakanlah pula artikel-artikel tambahan seperti artikel 153 bis dan ter. 161 bis dan ter. dan artikel 154 KUHP. Hal itu pun belum dianggap cukup, sehingga diadakan pula Persbreidel Ordonantie, yang memberikan hak kepada pemerintah penjajah Belanda untuk menghentikan penerbitan surat kabar /majalah Indonesia yang dianggap berbahaya”.

Tindakan lain, di samping Persbeidel Ordonantie adalah Haatzai Artikelen, karena pasal-pasalnya mengancam hukuman terhadap siapapun yang menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian serta penghinaan terhadap pemerintah Nederland dan Hindia Belanda (Pasal 154 dan 155) dan terhadap sesuatu atau sejumlah kelompok penduduk di Hindia Belanda (Pasal 156 dan 157). Akibatnya, banyak korban berjatuhan, antara lain S.K. Trimurti, sampai melahirkan di penjara, bahkan ada yang sampai di buang ke Boven Digul.

Demikian juga jaman pendudukan Jepang yang totaliter dan facistis, orang-orang surat kabar (pers) Indonesia banyak yang berjuang tidak dengan ketajaman penanya (tulisan), melainkan menempuh cara dan jalan lain (misalnya melalui organisasi keagamaan, pendidikan, politik, dan sebagainya). Hal ini menggambarkan bahwa kehidupan pers ketika itu sangat tertekan.

Bonus Info Kewarganegaraan
Surat kabar sebagai senjata untuk menyebarkan cita-cita sudah dikenal di dalam sejarah dunia. Julius Caesar sebagai pendiri kemaharajaan Romawi pada abad sebelum masehi, sudah mengetahui betapa pentingnya surat kabar sebagai senjata yang tajam, sehingga ia menganjurkan untuk menerbitkan surat kabar “Acta Diurna”.
Napoleon Bonaparte pun menerbitkan surat kabar untuk mempertahankan pendiriannya dan menyerang musuh-musuhnya.
Pers tertua berbahasa Melayu Indonesia antara lain : Bromartani (Solo, 1855), Djurumartini (1864), Darmo Kondo (1903) yang menjadi harian tahun 1910, juga harian Pewarta Deli (1912) di Medan.


b.      Pers di Masa Pergerakan
Masa pergerakan adalah masa bangsa Indonesia berada pada detik-detik terakhir penjajahan Belanda sampai saat masuknya Jepang menggantikan Belanda. Pers pada masa pergerakan tidak bisa dipisahkan dari kebangkitan nasional bangsa Indonesia melawan penjajahan.

Setelah munculnya pergerakan modern Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908, surat kabar yang dikeluarkan orang Indonesia lebih banyak berfungsi sebagai alat perjuangan. Pers saat itu merupakan “terompet” dari organisasi pergerakan orang Indonesia. Surat kabar nasional menjadi semacam parlemen orang Indonesia yang terjajah. Pers menyuarakan kepedihan, penderitaan dan merupakan refleksi dari isi hati bangsa terjajah. Pers menjadi pendorong bangsa Indonesia dalam perjuangan memperbaiki nasib dan kedudukan bangsa.

Beberapa contoh harian yang terbit pada masa pergerakan, antara lain sebagai berikut:
1)      Harian “Sedio Tomo” sebagai kelanjutan harian Budi Utomo yang terbit di Yogyakarta didirikan bulan Juni 1920.
2)      Harian “Darmo Kondo” terbit di Solo, yang dipimpin oleh Sudarya Cokrosisworo.
3)      Harian “Utusan Hindia” terbit di Surabaya, yang dipimpin oleh HOS. Cokroaminoto.
4)      Harian “Fadjar Asia” terbit di Jakarta, dipimpin oleh Haji Agus Salim.
5)      Majalah mingguan “Pikiran Rakyat” terbit di Bandung, didirikan oleh Ir. Soekarno.
6)      Majalah berkala “Daulah Rakyat”, dipimpin oleh Moch. Hatta dan Sutan Syahrir.

Karena sifat dan isi pers pergerakan anti penjajahan, pers mendapat tekanan dari pemerintah Hindia Belanda. Salah satu cara pemerintah Hindia Belanda saat itu adalah dengan memberikan hak kepada pemerintah untuk memberantas dan menutup usaha penerbitan pers pergerakan. Pada masa pergerakan itu berdirilah Kantor Berita Nasional Antara pada tanggal 13 Desember 1937.


c.      Pers di Masa Penjajahan Jepang
Jepang menduduki Indonesia selama kurang lebih 3,5 tahun. Untuk meraih simpati rakyat Indonesia, Jepang melakukan propaganda tentang Asia Timur Raya. Namun, propaganda itu hanyalah demi kejayaan Jepang belaka. Sebagai konsekuensinya, seluruh sumber daya Indonesia diarahkan untuk kepentingan Jepang.

Pers di masa pendudukan Jepang semata-mata menjadi alat pemerintah Jepang dan bersifat pro Jepang. Beberapa harian yang muncul pada masa itu, antara lain:
1)      Asia Raya di Jakarta
2)      Sinar Baru di Semarang
3)      Suara Asia di Surabaya
4)      Tjahaya di Bandung

Pers nasional masa pendudukan Jepang memang mengalami penderitaan dan pengekangan kebebasan yang lebih daripada jaman Belanda. Namun, ada beberapa keuntungan yang didapat oleh para wartawan atau insan pers di Indonesia yang bekerja pada penerbitan Jepang, antara lain sebagai berikut:
1)      Pengalaman yang diperoleh para karyawan pers Indonesia bertambah. Fasilitas dan alat-alat yang digunakan jauh lebih banyak daripada masa pers jaman Belanda. Para karyawan pers mendapat pengalaman banyak dalam menggunakan berbagai fasilitas tersebut.
2)      Penggunaan Bahasa Indonesia dalam pemberitaan makin sering dan luas. Penjajah Jepang berusaha menghapuskan bahasa Belanda dengan kebijakan menggunakan bahasa Indonesia dalam berbagai kesempatan. Kondisi ini sangat membantu perkembangan bahasa Indonesia yang nantinya juga menjadi bahasa nasional.
3)      Adanya pengajaran untuk rakyat agar berpikir kritis terhadap berita yang disajikan oleh sumber-sumber resmi Jepang. Selain itu, kekejaman dan penderitaan yang dialami pada masa pendudukan Jepang memudahkan para pemimpin bangsa memberikan semangat untuk melawan penjajahan. 


d.      Pers di Masa Revolusi Fisik
Periode revolusi fisik terjadi antara tahun 1945 sampai 1949. Masa itu adalah masa bangsa Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan yang berhasil diraihnya pada tanggal 17 Agustus 1945. Belanda ingin kembali menduduki Indonesia, sehingga terjadilah perang mempertahankan kemerdekaan. Pada saat itu, pers terbagi menjadi dua golongan, yaitu :
1)    Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh tentara pendudukan Sekutu dan Belanda yang selanjutnya dinamakan Pers Nica (Belanda).
2)    Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh orang Indonesia yang disebut Pers Republik.
Kedua golongan ini sangat berlawanan. Pers Republik disuarakan oleh kaum Republik, yang berisi semangat mempertahankan kemerdekaan dan menentang usaha pendudukan Sekutu. Pers ini benar-benar menjadi alat perjuangan masa itu. Sebaliknya, Pers Nica berusaha mempengaruhi rakyat Indonesia agar menerima kembali Belanda untuk berkuasa di Indonesia.

Beberapa contoh Koran Republik yang muncul pada masa itu, antara lain harian “Merdeka”, “Sumber”, “Pemandangan”, “Kedaulatan Rakyat”, “Nasional” dan “Pedoman”. Jawatan Penerangan Belanda menerbitkan Pers Nica, antara lain “Warta Indonesia” di Jakarta, “Persatuan” di Bandung, “Suluh Rakyat” di Semarang, “Pelita Rakyat” di Surabaya dan “Mustika” di Medan. Pada masa revolusi fisik inilah, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Serikat Pengusaha Surat Kabar (SPS) “lahir”. Kedua organisasi ini mempunyai kedudukan penting dalam sejarah pers Indonesia.

Pemerintah republik Indonesia untuk pertama kali mengeluarkan peraturan yang membatasi kemerdekaan pers terjadi pada tahun 1948. Menurut Smith, “dalam kegembiraan kemerdekaan ini, pers dan pemerintah bekerja bergandengan tangan erat sekali dalam seratus hari pertama masa merdeka itu”.
Pemerintah memperlihatkan itikad baik terhadap pers dan berusaha membantunya dengan mengimpor dan mensubsidi kertas koran dan dengan memberikan pinjaman keuangan. Pada awalnya semua berjalan lancar, namun saat pers mulai bertindak dengan menyerang pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat sampai pada presiden sendiri, nampaknya pemerintah yang baru ketika itu belum dapat menerima kritikan yang pedas.
Sesuai dengan fungsi, naluri dan tradisinya, pers harus menjadi penjaga kepentingan publik (public watch dog). Pers telah menyampaikan saran-saran yang amat diperlukan oleh pemerintah. Kritik-kritik pers yang pedas dan menjengkelkan, menjadi beban pemerintah yang terlampau berat, sehingga pemerintah mulai memukul balik kepada pers. Konflik keduanya berkembang menjadi pertentangan permanen dan pers dipaksa tunduk di bawah kekuasaan pemerintah.
Untuk menangani masalah-masalah pers, pemerintah membentuk Dewan Pers pada tanggal 17 Maret 1950. Dewan Pers tersebut terdiri dari orang-orang persuratkabaran, cendikiawan, dan pejabat-pejabat pemerintah, dengan tugas:
1)      Penggantian undang-undang pers kolonial,
2)  Pemberian dasar sosial ekonomis yang lebih kuat kepada pers Indonesia (artinya, fasilitas-fasilitas kredit dan mungkin juga bantuan pemerintah),
3)      Peningkatan mutu jurnalisme Indonesia,
4)   Pengaturan yang memadai tentang kedudukan sosial dan hukum bagi wartawan     Indonesia (artinya, tingkat hidup dan tingkat gaji, perlindungan hukum, etik jurnalistik dan lain-lain).
Namun akibat kekuasaan pemerintah yang tidak terlawan, menyebabkan organisasi-organisasi pers tidak berkutik. Tidak tampak bukti bahwa lembaga-lembaga ini berhasil membelokkan jalannya kegiatan-kegiatan anti pers, secara berarti.

Bonus Info Kewarganegaraan

Edward C. Smith dalam bukunya “Pembredelan Pers Indonesia” mengutip Ruslan Abdulgani ketika berbicara tentang krisis keadaan Republik Indonesia sedang bertempur pada tahun 1948, ia mengusulkan :
“Dalam masa belum tercapainya kesatuan ini -- yang mencapai puncaknya pada peristiwa Madiun (pemberontakan Komunis) -- Republik Indonesia mengeluarkan peraturannya yang pertama yang membatasi kemerdekaan pers. Yang terkenal ialah pembatasan yang dikenakan terhadap surat-surat kabar yang ada hubungannya dengan FDR (Front Demokrasi Rakyat) (Komunis), seperti Harian Patriot, Buruh dan Suara Ibu Kota. Sebaliknya, FDR ketika terjadi perebutan kekuasaan di Madiun, mengenakan pembatasan terhadap surat kabar Api Rakyat untuk memungkinkan “Front Nasional” dapat didengar masyarakat.
Pembatasan yang mencerminkan sikap tidak toleran di kalangan kelompok militer yang baru, dan ketidaksenangan mereka terhadap kecaman pers nasional , ialah pelarangan selama beberapa minggu surat kabar Suara Rakyat Kediri, mengakibatkan tutupnya surat kabar ini”.



e.         Pers di Era Demokrasi Liberal (1949-1959)
Di era demokrasi liberal, landasan kemerdekaan pers adalah Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS 1949) dan Undang-Undang Dasar Sementara (1950). Dalam Konstitusi RIS -- yang isinya banyak mengambil dari Piagam Pernyataan Hak Asasi Manusia sedunia Universal Declaration of Human Rights, -- pada pasal 19 menyebutkan “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat”. Isi pasal ini kemduain dicantumkan kembali dalam Undang-Undang Dasar Sementara (1950).

Awal pembatasan terhadap kebebasan pers adalah efek samping dari keluhan para wartawan terhadap pers Belanda dan Cina. Pemerintah mulai mencari cara membatasi penerbitan itu, karena negara tidak akan membiarkan ideologi “asing” merongrong Undang-undang Dasar. Pada akhirnya pemerintah melakukan pembredelan pers, dengan tindakan-tindakannya yang tidak terbatas pada pers asing saja.
Pertanda akan terjadinya pembatasan terhadap kebebasan pers, terbaca dalam artikel Sekretaris Jenderal Kementrian Penerangan, Ruslan Abdulgani, yang antara lain : “...khusus di bidang pers beberapa pembatasan perlu dikenakan atas kegiatan-kegiatan kewartawanan orang-orang asing...”. Pernyataan di atas ditindak lanjuti dengan pengesahan Undang-Undang yang mengharuskan para penerbit Belanda membayar tiga kali lipat untuk kertas koran ketimbang pers Indonesia.
f.        Pers di Zaman Orde Lama atau Pers Terpimpin (1956-1966)
Lebih kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden R.I. yang menyatakan kembali ke UUD 1945, tindakan tekanan terhadap pers terus berlangsung, yaitu pembredelan terhadap Kantor berita PIA dan Surat Kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po yang dilakukan oleh Penguasa Perang Jakarta.

Upaya untuk membatasi kebebasan pers itu tercermin dari pidato Menteri Muda Penerangan Maladi, ketika menyambut HUT Proklamasi Kemerdekaan R.I ke-14, antara lain ia menyatakan; “...Hak kebebasan individu disesuaikan dengan hak kolektif seluruh bangsa dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berfikir, menyatakan pendapat, dan memperoleh penghasilan sebagaimana yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945 harus ada batasnya: keamanan negara, kepentingan bangsa, moral dan kepribadian Indonesia, serta tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa”.
Pada awal 1960, penekanan kepada kebebasan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda Penerangan Maladi bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat kabar, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita yang tidak mentaati peraturan yang diperlukan dalam usaha menerbitkan pers nasional”. Masih pada tahun 1960, penguasa perang mulai mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap pers. Demi kepentingan pemeliharaan ketertiban umum dan ketenangan, penguasa perang mencabut izin terbit Harian Republik.
Memasuki tahun 1964 kondisi kebebasan pers semakin memburuk, hal ini digambarkan oleh E.C. Smith dengan mengutip dari “Army Handbook“ bahwa Kementerian Penerangan dan badan-badannya mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan yang ada hampir-hampir tidak lebih dari sekedar perubahan sumber wewenang karena sensor tetap ketat dan dilakukan secara sepihak.
Berdasarkan uraian di atas, tindakan-tindakan penekanan terhadap kemerdekaan pers oleh penguasa Orde Lama, bertambah bersamaan dengan meningkatnya ketegangan dalam pemerintahan. Tindakan-tindakan penekanan terhadap kebebasan pers merosot, ketika ketegangan dalam pemerintahan menurun. Lebih-lebih setelah percetakan-percatakan diambil alih oleh pemerintah dan para wartawan diwajibkan untuk berjanji mendukung politik pemerintah, sangat sedikit pemerintah melakukan tindakan penekanan kepada pers.

Bonus Info Kewarganegaraan

Tindakan pembatasan terhadap kemerdekaan pers selama tahun 1959 sama arahnya dengan tahun-tahun sebelumnya, dengan jumlah tindakan sebanyak 73 kali. Selama 1960 terjadi tiga kali pencabutan izin terbit, sedangkan pada tahun 1961 mencapai 13 kali. Rincian tindakan penekanan atau tindakan anti pers selama 14 tahun sejak Mei 1952 sampai dengan Desember 1965, menurut catatan Edward C. Smith mencapai 561 tindakan.
Pemerintah menekankan bahwa fungsi utama pers ialah menyokong tujuan revolusi dan semua surat kabar menjadi juru bicara resmi pemerintah. Hal ini diungkapkan Smith berdasarkan pandangan Presiden Soekarno ketika berpidato di muka rapat umum HUT ke-19 PWI, yang dimuat oleh New York Times, antara lain “...Saya dengan tegas menyatakan sekarang bahwa dalam suatu revolusi tidak boleh ada kebebasan pers. Hanya pers yang mendukung revolusi yang dibolehkan hidup”, katanya. “Pers yang bermusuhan terhadap revolusi harus disingkarkan”.


g.      Pers di Era Demokrasi Pancasila dan Orde Baru
Di awal pemerintahan Orde Baru, menyatakan bahwa akan membuang jauh-jauh praktek demokrasi terpimpin dan menggantinya dengan Demokrasi Pancasila. Pernyataan tersebut tentu saja membuat para tokoh politik, kaum intelektual, tokoh umum, tokoh pers terkemuka dan lain-lain menyambutmya dengan antusias sehingga lahirlah istilah Pers Pancasila.

Pemerintahan Orde Baru sangat menekankan pentingnya pemahaman tentang Pers Pancasila. Menurut rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers, (Desember 1984) bahwa “Pers Pancasila adalah pers Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Hakekat Pers Pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstrukrif

Masa “bulan madu” antara pers dan pemerintah ketika itu dipermanis dengan keluarnya Undang-undang Pokok Pers (UUPP) Nomor 11 Tahun 1966, yang dijamin tidak ada sensor dan pembredelan, serta penegasan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menerbitkan pers yang bersifat kolektif, dan tidak diperlukan surat izin terbit. Kemesraan tersebut ternyata hanya berlangsung kurang lebih delapan tahun, karena sejak terjadinya “Peristiwa Malari” (peristiwa limabelas Januari 1974), kebebasan pers mengalami set-back (kembali seperti jaman Orde Lama).
Terjadinya Peristiwa Malari tahun 1974, berakibat beberapa surat kabar dilarang terbit Tujuh surat kabar terkemuka di Jakarta (termasuk Kompas ) diberangus untuk beberapa waktu dan baru diijinkan terbit kembali, setelah para pemimpin redaksinya menandatangani surat pernyataan maaf. Penguasa lebih menggiatkan larangan-larangan melalui telepon supaya pers tidak menyiarkan suatu berita, ataupun para wartawan lebih diperingatkan untuk mentaati kode etik jurnalistik sebagai “selfcensorship”.(saya memperhitungkan ). Demikian juga pengawasan terhadap kegiatan pers dan wartawan diperketat. (menjelang ) Sidang MPR-1978.
Pers pasca Malari merupakan pers yang cenderung “mewakili” kepentingan penguasa, pemerintah atau negara. Pada saat itu pers jarang, malah tidak pernah melakukan kontrol sosial secara krisis, tegas dan berani. Pers pasca Malari tidak artikulatif dan mirip dengan jaman rezim Demokrasi Terpimpin. Perbedaan hanya pada kemasan yakni rezim Orde Baru melihat pers tidak lebih dari sekedar institusi politik yang harus diatur dan dikontrol seperti halnya dengan organisasi massa dan Partai Politik.

Bonus Info Kewarganegaraan
Prof. Oemar Seno Adji, SH dalam bukunya “Mass Media dan Hukum” menggambarkan kebebasan pers di alam demokrasi Pancasila, dengan karakteristik sbb:
1.      Kemerdekaan pers harus diartikan sebagai kemerdekaan untuk mempunyai dan menyatakan pendapat dan bukan sebagai kemerdekaan untuk memperoleh alat-alat dari expression tadi, seperti dikatakan oleh negara-negara sosialis.
2.      Tidak mengandung lembaga sensor preventif.
3.   Kebebasan ini bukanlah tidak terbatas, tidak mutlak dan bukanlah tidak      bersyarat sifatnya.
4.   Ia merupakan suatu kebebasan dalam lingkungan batas-batas tertentu, dan    syarat-syarat limitatif dan demokratis, seperti diakui oleh hukum internasional dan ilmu hukum.
5.  Kemerdekaan pers ini dibimbing oleh rasa tanggung jawab, dan membawa kewajiban-kewajiban yang untuk pers sendiri disalurkan melalui beroepsthiek mereka.
6.   Ia merupakan kemerdekaan yang disesuaikan dengan tugas pers sebagai kritik adalah negatif karakternya, melainkan pula ia positif sifatnya, apabila ia menyampaikan “wettige-initiativen “ dari pemerintah.
7.      Aspek positif di atas tidak mengandung dan tidak membenarkan suatu konklusi, bahwa posisinya adalah “subordinated “ terhadap penguasa politik.
8.   Adalah suatu kenyataan, bahwa aspek positif ini jarang ditemukan oleh kaum Libertarian sebagai suatu unsur essentiel dalam persoalan mass-communication .
9.     Pernyataan, bahwa pers itu tidak “subordinated ” kepada penguasa politik berarti, bahwa konsep authoritarian tidak acceptable bagi Pers Indonesia.
10. Konsentrasi perusahaan-perusahaan pers, bentukan dari “chains “yang bisa merupakan ekspresi dari kapitalisme yang “ongebreideld “, merupakan suatu hambatan yang “daadwerkelijk “ dan ekonomis terhadap pelaksanaan idee kemerdekaan pers. Pemulihan suatu bentuk perusahaan, entah dalam bentuk co-partnership atau co-operative entah dalam bentuk lain, yang tidak memungkinkan timbulnya konsentrasi dari perusahaan pers dalam satu atau beberapa tangan saja, adalah perlu.
11. Kebebasan pers dalam lingkungan batas limitatif dan demokratis , dengan menolak tindakan preventif adalah lazim dalam Negara Demokrasi dan karen aitu tidak bertentangan dengan idee pers merdeka.
12.  Konsentrasi perusahaan-perusahaan yang membahayakan “performance “ dari pers excessife, kebebasan pers yang dirasakan berkelebih-lebihan dan seolah-olah memberikan hak kepada pers untuk misalnya berbohong (the right to lie ), mengotorkan nama orang (the right to vilify ), the right ti invade privacy, the right to distort dan lain-lain, dapat dihadapi dengan rasa tanggung jawab dari pers sendiri. Ia harus memberikan ilustrasi tentang suatu pers yang bebas, akan tetapi bertanggung jawab (a free and responsible ).



h.      Kebebasan Pers di Era Reformasi
Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasan pers.  Hal demikian sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan dan demokrasi yang  diperjuangkan rakyat Indonesia. Pemerintahan pada masa reformasi sangat  mempermudah izin penerbitan pers. Akibatnya, pada awal reformasi banyak sekali  penerbitan pers atau koran-koran, majalah atau tabloid baru bermunculan. Bisa  dikatakan pada awal reformasi kemunculan pers ibarat jamur di musim hujan.

Kalangan pers mulai bernafas lega ketika di era reformasi pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Kendati belum sepenuhnya memenuhi keinginan kalangan pers, kelahiran undang-undang pers tersebut disambut gembira, karena tercatat beberapa kemajuan penting dibanding dengan undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers (UUPP).

Di dalam Undang-undang Pers yang baru ini, dengan tegas menjamin adanya kemerdekaan pers, sebagai hak asasi warga negara (Pasal 4). Itulah sebabnya mengapa tidak lagi di singgung perlu tidaknya surat izin terbit. Di samping itu ada jaminan lain yang diberikan oleh undang undang ini, yaitu terhadap pers nasional tidak di kenakan penyensoran, pembredelan dan pelarangan penyiaran sebagaima tercantum dalam Pasal 4 ayat (2).
Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak. Tujuan hak tolak adalah agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hak tersebut dapat digunakan jika wartawan dimintai keterangan oleh penjabat penyidik dan atau dimintai menjadi saksi di pengadilan. Hak tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan.
Pada masa reformasi ini dengan keluarnya Undang-Undang tentang pers, yaitu Undang- Undang No. 40 Tahun 1999 tentang pers, maka pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut :
1)      Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi
2)      Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi  hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan
3)      Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar
4)    Melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan       dengan kepentingan umum
5)      Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.


Bonus Info Kewarganegaraan

Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999, maka tamatlah riwayat Peraturan Menteri Penerangan Nomor 01 Tahun 1998 yang masih mewajibkan kepada para penerbit untuk memiliki Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Perusahaan pers tidak perlu lagi mendaftarkan diri ke Departemen Penerangan untuk memperoleh SIUPP sebagai mana diatur dalam undang-undang Pokok Pers Nomor 21 Tahun 1982.
Jadi, jika di era Orde Lama dan Orde Baru, pers sepenuhnya bertanggung jawab  kepada pemerintah, sehingga pers terpaksa sepenuhnya tunduk pada kemauan pemerintah, sedangkan pers di era Reformasi pertanggungjawaban adalah kepada profesi dan hati nurani sebagai insan pes.
Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, dan pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin. Kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang di sertai kesadaran pentingnya penegakkan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam Kode Etik Jurnalistik seta sesuai dengan hati nurani insan pers.



C.   PERS YANG BEBAS DAN BERTANGGUNG JAWAB SESUAI KODE ETIK JURNALISTIK DALAM MASYARAKAT DEMOKRATIS  DI INDONESIA

1.      Landasan Hukum Pers Indonesia
§  Pasal 28 UUD 1945
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.

§  Pasal 28 F UUD 1945
                        Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

§  Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
Lebih rincinya lagi terdapat pada Piagam Hak Asasi Manusia, Bab VI, Pasal 20 dan 21 yang berbunyi sebagai berikut:
(20) “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya”.
(21) “Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
            d.         Undang-Undang No. 39 Tahun 2000 Pasal 14 Ayat 1 dan 2 tentang Hak Asasi Manusia
(1) “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya”.
(2) “Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia”.

§  Undang-undang No. 40 Tahun 1999 dalam Pasal 2 dan Pasal 4 ayat 1 tentang pers
Pasal 2 berbunyi, “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum”.
Pasal 4 Ayat 1 berbunyi, “Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara”.

Peraturan tentang pers yang berlaku sekarang ini (Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 telah diundangkan pada tanggal 23 September 1999 yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 166), memuat berbagai perubahan yang mendasar atas Undang-Undang pers sebelumnya. Hal ini dimaksudkan agar pers berfungsi maksimal sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Fungsi yang maksimal tersebut diperlukan karena kemerdekaan pers adalah satu perwujudan kedaulatan rakyat dan merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis.
Pencabutan undang-undang lama yang diganti dengan undang-undang baru, pada hakekatnya mencerminkan adanya perbedaan nilai-nilai dasar politis ideologis antara orde baru dengan orde reformasi. Hal ini tampak dengan jelas dalam konsideran undang-undang pers yang baru, yang antara lain bahwa undang-undang tentang ketentuan pokok pers yang lama dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Di samping itu tentang fungsi, kewajiban, dan hak pers dalam undang-undang yang baru tidak lagi mengkaitkannya dengan  penghayatan dan pengamalan inti P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).

Bonus Info Kewarganegaraan

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya, pers harus menghormati hak asasi setiap orang. Oleh sebab itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol masyarakat, antara lain: bahwa setiap orang dijamin hak jawab dan hak koreksinya.
Pers memiliki peranan penting dalam mewujudkan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana dijamin di dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 yang antara lain yang menyatakan “bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi sejalan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak asasi manusia.” Selanjutnya dalam Pasal 19 berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah”.
Pers juga melaksanakan kontrol sosial (social control ) untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, nepotisme, maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya.


2.      Norma-Norma Pers Nasional
Pers sebagai salah satu unsur mass media yang hadir di tengah-tengah masyarakat demi kepentingan umum, harus sanggup hidup bersama-sama dan berdampingan dengan lembaga-lembaga masyarakat lainnya dalam suatu suasana keserasian/sosiologis. Dalam hal ini, corak hubungan antara satu dengan yang lainnya tidak akan luput dari pengaruh falsafah yang dianut oleh masyarakat dan bangsa kita, yakni Pancasila dan struktur sosial dan politik yang berlaku di sini.

Dalam melaksanakan fungsinya sehari-hari, partisipasi pers dalam pembangunan melibatkan lembaga-lembaga masyarakat lainnya yang lingkup hubungannya, dapat dibagi dalam dua golongan sebagai berikut:
1)   Hubungan antara pers dan pemerintah
2)   Hubungan antara pers dan masyarakat cq. golongan-golongan dalam masyarakat.
Hubungan antara pers dan pemerintah terjalin dalam bentuk yang dijiwai oleh semangat persekawanan (partnership) dalam mengusahakan terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Dalam alam pembangunan, stabilitas politik, ekonomi dan sosial merupakan prasyarat untuk suksesnya usaha-usaha pembangunan yang sedang diselenggarakan. Dalam hal ini hendaknya pers merasa “terpanggil” untuk membantu pemerintah dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan umum demi kemantapan stabilitas yang dinamis, tanpa mengurangi hak-haknya memberikan kritik yang sehat dan konstruktif dalam alam kebebasan yang bertanggung jawab.
Dalam negara yang sedang membangun, pers sebagai lembaga masyarakat secara implisif perlu juga dibangun. Dalam hal ini, pemerintah sejauh kemampuannya merasa “terpanggil” untuk membantu usaha-usaha pers untuk membangun dirinya sendiri, agar dalam waktu secepat mungkin pers sendiri mampu mengembangkan dirinya atas dasar kekuatan sendiri.
Jika terjadi perbedaan atau konflik pendapat antara pemerintah dan pers dalam menjalankan fungsinya masing-masing, maka yang dijadikan dasar penyelesaian adalah ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, namun tetap dengan berlandaskan pada itikad baik untuk menjamin atau menegakkan asas kebebasan pers yang bertanggung jawab. Hubungan antara pers dan masyarakat dijiwai semangat dan itikad baik untuk saling membina demi kemajuan masing-masing.
Dalam menjalankan fungsi-fungsinya sebagai sarana penerangan, pendidikan umum, kontrol sosial dan hiburan pers menjadi wahana bagi pembinaan pendapat umum yang sehat. Di satu pihak, pers ikut menajamkan daya tangkap dan daya tanggap masyarakat terhadap langkah-langkah kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Di lain pihak, dengan meningkatkan daya tangkap dan daya tanggap masyarakat tersebut yang akan tercermin dalam peningkatan secara kualitatif dan kuantitatif pendapat umum yang disuarakan, pers dapat menjadi wahana untuk menyampaikan pendapat umum tersebut sebagai “denyut jantung” rakyat kepada pemerintah untuk dipakai sebagai bahan pengkajian bagi tepat tidaknya langkah-langkah kebijaksanaan tersebut. Dengan demikian pers membantu masyarakat meningkatkan partisipasinya dalam melaksanakan tugas-tugas nasional melalui komunikasi dua arahnya.
Dalam alam dan suasana membangun di mana pers sendiri masih memerlukan pembangunan diri di segala bidang, masyarakat perlu membantu dan membimbing pertumbuhan dan perkembangan terhadap segala kekurangan yang terdapat di dalam pers atau secara positifnya, bantuan masyarakat ini diwujudkan dalam tetap menumpahkan kepercayaan masyarakat terhadap pers nasional sebagai salah satu sumber  informasinya yang pokok. Dengan jalan demikian perbedaan atau konflik pendapat di dalam tubuh pers atau lingkungan pers sendiri, atau antara pers dengan masyarakat cq. golongan dalam masyarakat, dicarikan penyelesaiannya atas dasar hukum yang berlaku, namun tetap berlandaskan pada itikad baik dari suatu pers yang bertanggung jawab dalam alam hidup Pancasila.

3.      Organisasi Pers
Organisasi Pers adalah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers (ps. 1: 5). Organisasi-organisasi tersebut mempunyai latar belakang sejarah, alur perjuangan dan penentuan tata krama professional berupa kode etik masing-masing. PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) yang lahir di Surakarta, dalam kongresnya yang berlangsung tanggal 8-9 Februari 1946 dan SPS (Serikat Penerbit Surat Kabar) yang lahir di serambi Kepatihan Yogyakarta pada hari Sabtu tanggal 8 Juni 1946, merupakan komponen penting dalam pembinaan pers Indonesia. Ketika itu di Indonesia sedang berkobar revolusi fisik melawan kolonialisme Belanda yang mencoba menjajah kembali negeri kita.
Dari organisasi inilah adanya komponen sistem pers nasional, yang di dalamnya terdapat Dewan Pers sebagai lembaga tertinggi dalam sistem pembinaan pers di Indonesia dan memegang peranan utama dalam membangun institusi bagi pertumbuhan dan perkembangan pers.
Dewan pers yang independent, dibentuk dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional (UU No. 40/1999 ps. 15: 1).  Dan Dewan pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut:
a.       Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain;
b.      Melakukan pengkajian untuk pengembangan pers;
c.       Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;
d.  Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers;
e.       Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat dan pemerintah;
f.  Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan;
g.       Mendata perusahaan pers (ps. 15: 2).


Anggota Dewan Pers terdiri dari:
a.       Wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan;
b.      Pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers;
c.    Tokoh masyarakat, ahli bidang pers atau komunikasi dan bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers;
d.      Ketua dan wakil ketua Dewan Pers dipilih dari dan oleh anggota;
e.   Keanggotaan Dewan Pers sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 3 pasal 15 ditetapkan dengan keputusan presiden;
f.      Keanggotaan Dewan Pers berlaku untuk masa tiga tahun dan sesudah itu hanya dapat        dipilih kembali untuk satu periode berikutnya.

4.     Sistem Pers Indonesia
Sistem pers merupakan subsistem dari sistem komunikasi, sedangkan sistem komunikasi itu sendiri merupakan bagian dari sistem kemasyarakatan (sistem sosial). Sistem komunikasi adalah sebuah pola tetap tentang hubungan manusia yang berkaitan dengan proses pertukaran lambang-lambang yang berarti untuk mencapai saling pengertian dan saling mempengaruhi dalam rangka mewujudkan suatu masyarakat yang harmonis.

Ciri khas sistem pers adalah sebagai berikut :
a.       integrasi (integaration )
b.      keteraturan (regularity )
c.       keutuhan (wholeness )
d.      organisasi (organization )
e.       koherensi (coherence )
f.        keterhubungan (connectedness ) dan
g.       ketergantungan (interdependence ) dari bagian-bagiannya.

Inti permasalahan dalam sistem kebebasan pers adalah sistem kebebasan untuk mengeluarkan pendapat (freedom of expression ) di negara-negara barat atau sistem kemerdekaan untuk “mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan”, sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945.
Faham dasar sistem pers Indonesia tercermin dalam konsideran Undang-undang Pers, yang menegaskan bahwa “Pers Indonesia (nasional) sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun”.
Dengan demikian, sistem pers Indonesia tidak lain adalah sistem pers yang berlaku di Indonesia. Kata “Indonesia” adalah pemberi, sifat, warna, dan kekhasan pada sistem pers tersebut. Dalam kenyataan, dapat dijumpai perbedaan-perbedaan essensial sistem pers Indonesia dari periode yang satu ke periode yang lain, misalnya Sistem Pers Demokrasi Liberal, Sistem Pers Demokrasi Terpimpin, Sistem Pers Demokrasi Pancasila, dan Sistem Pers di era reformasi, sedangkan falsafah negaranya tidak berubah.


5.        Kode Etik Jurnalistik Dan Tanggung Jawab Profesi Kewartawanan
Media massa pers berperan membina dan mengembangkan pendapat umum (publik opini), menumbuhkan dan menyalurkan aspirasi masyarakat secara positif dan konstruktif, serta mengembangkan komunikasi timbal balik antara kekuatan sosial masyarakat. Lebih jauh lagi media massa pers ikut pula berperan dalam penumbuhan dan pengembangan kehidupan sistem politik demokratis.

Penerapan pers yang bebas dan bertanggungjawab dikembangkan dan dibina dalam suasana yang harmonis terhadap lingkungan, serta merangsang timbulnya kreativitas, bukan sebaliknya dengan menimbulkan ketegangan-ketegangan yang bersifat antagonistis.

Kehidupan pers nasional Indonesia, merupakan produk dari sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat yang diproyeksikan ke dalam bidang kegiatan pers, maka dalam menjalankan peranannya pers sebagai salah satu modal bangsa menggunakan aturan main (rules of the game ) pers nasional:
1.      Landasan Idiil                               : Falsafah Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
2.      Landasan Konstitusi                     : Undang-Undang Dasar 1945.
3.      Landasan Yuridis              : Undang-undang Pokok Pers.
4.      Landasan Strategis                        : GBHN.
5.      Landasan Profesional                    : Kode Etik Jurnalistik.
6.      Landasan Etis                               : Tata nilai yang berlaku dalam masyarakat.


Bonus Info Kewarganegaraan

Prof. Oemar Seno Adji, dalam bukunya berjudul “Hukum Kebebasan Pers “, dari J.C.T. Simorangkir, SH., menyimpulkan mengenai kebebasan pers Indonesia sebagai berikut :
I.   Hukum Indonesia telah mengakui/mengatur/menjamin perihal kebebasan pers.
II. Kebebasan pers di Indonesia tidaklah dapat dilihat/diukur semata-mata dengan kaca mata/ukuran luar negeri.
III. Ciri kebebasan pers Indonesia, adalah:
a.      Pers yang bebas dan bertanggung jawab ;
b.      Pers yang sehat:
c.      Pers sebagai penyebar informasi yang obyektif;
d.      Pers yang melakukan kontrol sosial yang konstuktif;
e.  Pers sebagai penyalur aspirasi rakyat dan meluaskan komunikasi dan partisipasi    masyarakat ;
f.        Terdapat  interaksi positif antara pers, pemerintah dan masyarakat.
IV  Kebebasan pers diakui, dijamin dan dilaksanakan di Indonesia dalam rangka pelaksanaan Demokrasi Pancasila.


a.      Pertanggungjawaban
Pers sebagai salah satu unsur mass media hadir di tengah masyarakat bersama dengan lembaga masyarakat lainnya harus mampu menjadikan diri sebagai forum pertukaran pikiran, komentar, dan kritik yang bersifat menyeluruh dan tuntas, tidak membedakan kelompok, golongan dan etnis ataupun agama. Semuanya itu harus mendapatkan porsi yang seimbang.

Pers dalam pengembangan kegiatan sehari-hari harus berada dalam konteks interaksi positif antara pers dan Pemerintah serta masyarakat. Jika ada masalah dalam masyarakat, maka pers berupaya membantu menjernihkan persoalan, bukan sebaliknya ikut memperburuk persoalan yang ada di lingkungan masyarakat itu. Ia harus memainkan fungsi mendidiknya.

Guna menunjang pertumbuhan dan perkembangan masyarkaat, pers perlu melakukan hal-hal berikut :
1) Menghimpun bahan-bahan yang dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat, sehingga dapat memberikan partisipasinya dalam melancarkan program pembangunan.
2)      Mengamankan hak-hak pribadi (hak azasi) untuk menghindari tirani dan membina kehidupan yang demokratis sehingga golongan minoritas tidak ditindas oleh golongan mayoritas.
3)  Mampu menampung dan menyalurkan kritik dan saran yang bagaimanapun pedasnya, sekalipun yang dituju pers itu sendiri, demi berlangsungnya perbaikan dan penyempurnaan.
4)   Memberikan penerangan melalui iklan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat tentang barang dan jasa yang berguna dan tepat guna dari produk-produk yang ada.
5)     Memelihara kesejahteraan masyarakat dan memberikan hiburan, seperti dengan menyajikan cerita pendek, fiksi, teka-teki silang, komik, dan sebagainya.
6)    Memupuk kekuatannya sendiri (permodalan dan sumber daya manusianya) hingga terbebas dari pengaruh luar, seperti pemberi modal dan intervensi dari pihak-pihak tertentu yang bisa mempengaruhi kebebasan dan idealismenya.
7)  Menjalankan fungsi kemasyarakatan dengan melakukan penyelidikan untuk mendapatkan kebenaran dan kontrol sosial demi kepentingan umum, namun dalam penyajiannya harus bersifat objektif dan mengemukakan alternatif-alternatif pemecahan, tidak bersifat menghasut apalagi memvonis seseorang (trial by the press ).
8)      Dalam penyajian tulisannya, pers dengan bijaksana harus menggunakan pendekatan praduga tak bersalah (presumption of innocence), terutama berita-berita yang langsung menyinggung pribadi (hak azasi) seseorang seperti  kesusilaan.
9)     Menghindari penyajian bahan berita yang sensitif baik berupa gambar, ulasan, karikatur dan sebagainya yang dapat menimbulkan gangguan stabilitas, seperti menyangkut Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan (SARA).
10)  Menghindari penulisan,berita, ulasan, cerita, gambar, dan karikatur yang cenderung bersifat pornografi dan sadisme, kekejaman dan kekerasan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moral. Demikian pula pemberitaan yang bersifat gossip (desas-desus) tanpa didukung fakta yang kuat dan akan merusak nama baik seseorang atau golongan.
11) Pers dapat menyajikan bahan siaran atau tulisan-tulisannya yang selalu menempatkan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi dan golongannya. Demikian juga harus menghindari penyebaran secara terbuka dan terselubung ajaran Marxisme/Leninisme atau Komunisme.

Bonus Info Kewarganegaraan

PERS PANCASILA

Sidang pleno ke 25 Dewan Pers di Solo, tanggal 7 dan 8 Desember 1981, telah membuat keputusan dan merumuskan pengertian Pers Pancasila yang menjadi pola kehidupan Pers Nasional. Pers Pancasila adalah pers yang orientasi, sikap, dan tingkahlakunya berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Sedangkan Pers pembangunan merupakan Pers Pancasila dalam pembangunan sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat., berbangsa dan bernegara, termasuk pembangunan itu sendiri.
Hakekat Pers Pancasila adalah adalah pers yang sehat, bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan  fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif. Melalui Pers Pancasila dapat dikembangkan suasana saling percaya menuju masyarakat terbuka yang demokratis dan bertanggungjawab. Dalam mengamalkan Pers Pancasila mekanisme yang dipakai adalah interaksi positif antara masyarakat, pers, dan Pemerintah. Dewan Pers berperan sebagai pengembang mekanisme interaksi positif tersebut.
Dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1983 tentang GBHN, disebutkan bahwa fungsi pers antara lain sebagai penyebar informasi yang obyektif, melakukan kontrol sosial yang konstruktif, menyalurkan aspirsi rakyat dan meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat.
Dengan memperhatikan rumusan Dewan Pers dan Ketetapan MPR di atas, dapat dirumuskan bahwa pers berfungsi sebagai berikut.
1.      Mendidik (educatif)
2.      Menghubungkan masyarakat (sosial contact )
3.      Menyalurkan aspirasi masyarakat (agen of information )
4.      Membentuk pendapat umum (pblic opini  )
5.      Melakukan sosial kontrol (sosial control )
6.      Memberikan hiburan (entartiment ).



b.      Kode Etik Jurnalistik
Dalam melaksanakan fungsi dan peranannya yang strategis, pers melalui organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) telah menetapkan Kode Etik Kewartawanan, yang sudah dimulai dari sebelum Indonesia Merdeka, seperti Persatuan Djurnalis Indonesia (PERDI).

Kode Etik Jurnalistik merupakan aturan mengenai perilaku dan pertimbangan moral yang harus dianut dan ditaati oleh media pers dalam siarannya. Secara lengkap Kode Etik Jurnalistik adalah sebagai berikut :


KODE ETIK JURNALISTIK

PEMBUKAAN

Bahwasanya kemerdekaan pers adalah perwujudan kemerdekaan menyatakan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945, dan karena itu wajib dihormati semua pihak.
Kemerdekaan pers merupakan salah satu ciri negara hukum yang dikehendaki oleh penjelasan-penjelasan Undang-Undang Dasar 1945. Sudah barang tentu kemerdekaan pers itu harus dilaksanakan dengan tanggung jawab sosial serta jiwa Pancasila demi kesejahteraan dan keselamatan Bangsa dan negara. Karena itulah PWI menetapkan Kode Etik Jurnalistik untuk melestarikan asas kemerdekaan pers yang bertanggung jawab.

Pasal 1
KEPRIBADIAN WARTAWAN INDONESIA

Wartawan Indonesia adalah warga negara yang memiliki kepribadian :
a.       bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b.      berjiwa Pancasila;
c.       taat pada Undang-Undang Dasar 1945;
d.      bersifat ksatria;
e.       menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia;
f.        berjuang untuk emansipasi bangsa dalam segala lapangan sehingga dengan demikian turut bekerja ke arah keselamatan masyarakat Indonesia sebagai anggota masyarakat bangsa-bangsa di dunia.

Pasal 2
PERTANGGUNGJAWABAN

1.      Wartawan Indonesia dengan penuh rasa tangung jawab dan bijaksana mempertimbangkan perlu/patut atau tidaknya suatu berita, tulisan, gambar, karikatur dan sebagainya disiarkan.

2.      Wartawan Indonesia tidak menyiarkan :
a.       hal-hal yang sifatnya destruktif dan dapat merugikan negara dan bangsa;
b.      hal-hal yang dapat menimbulkan kekacauan;
c.       hal-hal yang dapat menyinggung perasaan susila, agama kepercayaan atau keyakinan seseorang atau sesuatu golongan yang dilindungi undang-undang.

3.      Wartawan Indonesia melakukan pekerjaannya berdasarkan kebebasan yang bertanggung jawab demi keselamatan umum. Ia tidak menyalahgunakan jabatan dan kecakapannya untuk kepentingan sendiri dan/atau kepentingan golongan.

4.      Wartawan Indonesia dalam menjalankan tugas jurnalistiknya yang menyangkut bangsa dan negara lain, mendahulukan kepentingan nasional Indonesia.

Pasal 3
CARA PEMBERITAAN DAN MENYATAKAN PENDAPAT

1.      Wartawan Indonesia menempuh jalan dan cara yang jujur untuk memperoleh bahan-bahan berita dan tulisan dengan selalu menyatakan identitasnya sebagai wartawan apabila sedang melakukan tugas peliputan.
2.      Wartawan Indonesia meneliti kebenaran sesuatu berita atau keterangan sebelum menyiarkannya, dengan juga memperhatikan kredibilitas sumber berita yang bersangkutan.
3.      Di dalam menyusun suatu berita, wartawan Indonesia membedakan antara kejadian (fakta) dan pendapat (opini), sehingga tidak mencampuradukkan fakta dan opini tersebut.
4.      Kepala-kepala berita harus mencerminkan isi berita.
5.      Dalam tulisan yang memuat pendapat tentang sesuatu kejadian (byline story), wartawan Indonesia selalu berusaha untuk bersikap obyektif, jujur, dan sportif berdasarkan kebebasan yang bertangung jawab dan menghindarkan diri dari cara-cara penulisan yang bersifat pelanggaran kehidupan pribadi (privacy), sensasional, immorial atau melanggar kesusilaan.
6.      Penyiaran setiap berita atau tulisan yang berisi tuduhan yang tidak berdasar, desas-desus, hasutan yang dapat membahayakan keselamatan bangsa dan negara, fitnahan, pemutarbalikan sesuatu kejadian, merupakan pelanggaran berat terhadap profesi jurnalistik.
7.      Pemberitaan tentang jalannya pemeriksaan perkara pidana di dalam sidang-sidang pengadilan harus dijiwai oleh prinsip “praduga tak bersalah”, yaitu bahwa seseorang tersangka harus dianggap bersalah telah melakukan suatu tindak pidana apabila ia telah dinyatakan terbukti bersalah dalam keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan tetap.
8.      Penyiaran nama secara lengkap, identitas dan gambar dari seorang tersangka dilakukan dengan penuh kebijaksanaan, dan dihindarkan dalam perkara-perkara yang menyangkut kesusilaan atau menyangkut anak-anak yang belum dewasa. Pemberitaan harus selalu berimbang antara tuduhan dan pembelaan dan dihindarkan terjadinya “trial by the press”.

Pasal 4
HAK JAWAB

1.      Setiap pemberitaan yang kemudian ternyata tidak benar atau berisi hal-hal yang menyesatka, harus dicabut kembali atau diralat atas keinsyafan wartawan sendiri.
2.      Pihak yang merasa dirugikan wajib diberi kesempatan secepatnya untuk menjawab atau memperbaiki pemberitaan yang dimaksud, sedapat mungkin dalam ruangan yang sama dengan pemberitaan semula dan maksimal sama panjangnya, asal saja jawaban atau perbaikin itu dilakukan secara wajar.

Pasal 5
SUMBER BERITA

1.      Wartawan Indonesia menghargai dan melindungi kedudukan sumber berita yang tidak bersedia disebut namanya. Dalam hal berita tanpa menyebutkan nama sumber tersebut disiarkan, maka segala tanggung jawab berada pada wartawan dan/atau penerbit pers yang bersangkutan.
2.      Keterangan-keterangan yang diberikan secara “off the record” tidak disiarkan, kecuali apabila wartawan yang bersangkutan secara nyata-nyata dapat membuktikan bahwa ia sebelumnya memiliki keterangan-keterangan yang kemudian ternyata diberikan secara “off the record” itu. Jika seorang wartawan tidak ingin terikat pada keterangan yang akan diberikan dalam suatu pertemuan secara “off the record”, maka ia dapat tidak menghadirinya.
3.      Wartawan Indonesia dengan jujur menyebut sumbernya dalam mengutip berita, gambar  atau tulisan dari suatu penerbitan pers, baik yang terbit di dalam maupun di luar negeri. Perbuatan plagiat, yaitu mengutip berita, gambar atau tulisan tanpa menyebutkan sumbernya, merupakan pelanggaran berat.
4.      Penerimaan imbalan atau sesuatu janji untuk menyiarkan suatu berita, gambar atau tulisan yang dapat menguntungkan atau merugikan seseorang, sesuatu golongan atau sesuatu pihak dilarang sama sekali.
Pasal 6
KEKUATAN KODE ETIK

1.      Kode Etik ini dibuat atas prinsip bahwa pertanggungjawaban tentang penataannya berada terutama pada hati nurani setiap wartawan Indonesia.
2.      Tiada satu pasal dalam Kode Etik ini yang memberi wewenang kepada golongan manapun di luar PWI untuk mengambil tindakan terhadap seorang wartawan Indonesia atau terhadap penerbitan pers di Indonesia berdasarkan pasal-pasal dalam Kode Etik ini, karena sanksi atas pelanggaran Kode Etik ini adalah merupakan hak organisatoris dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) melalui organ-organnya.
 

Bonus Info Kewarganegaraan

M. Alwi Dahlan, Ph. D, menyebutkan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik, yakni:
1)  Etik Institusional, yaitu sistem aturan, peraturan, kebijaksanaan dan kendala formal yang dikembangkan oleh institusi yang memiliki media, maupun yang mengawasi media. Fungsinya adalah untuk mencapai tujuan institusi yang bersangkutan , seperti penegakkan ideologi, keuntungan, kekuasaan dan sebagainya.
2)      Etik Personel, yaitu sistem nilai dan moralitas perorangan yang merupakan hati nurani wartawan, didasarkan pada keyakinan atau kepercayaan pribadi yang menimbang tindakan yang hendak dilakukannya.
3)      Etik Profesional, yaitu menentukan cara pemberian yang paling tepat sehingga informasi itu mudah diterima oleh khalayak, dalam proporsi yang wajar. Kode Etik Profesioinal ini adalah tolak ukur perilaku dan pertimbangan moral yang disepakati bersama oleh komunitas profesi jurnalistik. Tujuannya adalah untuk menghasilkan karya yang memenuhi kebutuhan khalayak akan informasi, namun dilakukan dengan cara tanggung jawab sosial yang tinggi.
Dalam penerapan Kode Etik Jurnalistik, ia akan bergerak di antara Etik Personal dan Etik Institusional. Etik Profesional mungkin saja berbeda dengan Etik Institusional yang berlaku disegala media yang bersangkutan, sekali pun Etik Personal telah meloloskan materi berita bersangkutan. Pembinaan dan pengembangan media pers akan ditentukan oleh sikap dan kepribadian dari media bersangkutan atau dalam hal ini bisa dikatakan oleh wartawannya.
Kredilibitas sebuah media pers itu akan ditentukan oleh objektif tidaknya materi berita yang disiarkannya, tanggung jawab sosial yang diperlihatkannya, kedalaman dan ketajaman analisanya. Hal ini akan ditentukan oleh ketaatannya kepada Kode Etik Jurnalistik. Kode Etik Jurnalistik ini akan terus berperan dan semakin penting dalam menyongsong kemajuan dan perkembangan teknologi dimasa mendatang. Hal-hal yang tidak mungkin diambil dan diungkapkan pada saat sekarang dengan kemajuan teknologi seperti kamera, tape recorder, alat penyadap percakapan yang semakin canggih, kiranya hanya bisa dibatasi dengan penataan Kode Etik Jurnalistik.
Demikian juga halnya dengan pelestarian nilai-nilai kepribadian bangsa, ideologi Pancasila yang menjadi dasar falsafah bangsa bila berhadapan dengan globalisasi dunia dan kemajuan ilmu teknologi, perlu pengawalannya dengan Kode Etik Jurnalistik. Jangan wartawan terjebak untuk memanipulasi informasi, menyiarkan berita secara tidak jujur.



D.  KEBEBASAN PERS DAN DAMPAK PENYALAHGUNAAN KEBEBASAN MEDIA MASSA DALAM MASYARAKAT DEMOKRATIS DI INDONESIA

1.      Kebebasan Pers Indonesia
Kebebasan pers adalah kebebasan mengemukakan pendapat, baik secara tulisan maupun lisan, melalui media pers, seperti harian, majalah, dan buletin. Kebebasan pers dituntut tanggung jawabnya untuk menegakkan keadilan, ketertiban dan keamanan dalam masyarakat, bukan untuk merusakkannya. Kebebasan harus disertai tanggung jawab, sebab kekuasaan yang besar dan bebas yang dimiliki manusia mudah sekali disalahgunakan dan dibuat semena-mena. Demikian juga pers harus mempertimbangkan apakah berita yang disebarkan dapat menguntungkan masyarakat luas atau memberi dampak positif pada masyarakat dan bangsa. Inilah segi tanggung jawab dari pers. Jadi, pers diberi kebebasan dengan disertai tanggung jawab sosial.

Selanjutnya, Komisi Kemerdekaan Pers menggariskan lima hal yang menjadi tuntutan masyarakat modern terhadap pers, yang merupakan ukuran pelaksanaan kegiatan pers, yaitu sebagai berikut :
a.       Pers dituntut untuk menyajikan laporan tentang kejadian sehari-hari secara jujur,     mendalam dan cerdas. Ini merupakan tuntutan kepada pers untuk menulis secara  akurat dan tidak berbohong.
b.      Pers dituntut untuk  menjadi sebuah forum pertukaran komentar dan kritik, yang  berarti pers diminta untuk menjadi wadah diskusi di kalangan masyarakat, walaupun berbeda pendapat dengan pengelola pers itu sendiri.
c.       Pers hendaknya menonjolkan sebuah gambaran yang representative kelompok-kelompok dalam masyarakat. Hal ini mengacu pada segelintir kelompok minoritas  dalam masyarakat yang juga memiliki hak yang sama dalam masyarakat untuk didengarkan.
d.      Pers hendaknya bertanggung jawab dalam penyajian dan penguraian tujuan dan nilai-nilai dalam masyarakat.
e.      Pers hendaknya menyajikan kesempatan kepada masyarakat untuk memperoleh berita sehari-hari. Ini berkaitan dengan kebebasan informasi yang diminta masyarakat.

Adapun landasan hukum kebebasan pers Indonesia termaktub dalam :
a.   Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
b.      Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
c.       Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.


2.     Pers, Masyarakat dan Pemerintah
Hal  terpenting yang harus diperhatikan berkaitan antara pers, masyarakat dan pemerintah adalah sebagai berikut :
a. Interaksi harus dikembangkan sekreatif mungkin untuk tercapainya tujuan pembangunan, yaitu kesejahteraan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhnya. Interaksi positif antara  ketiga komponen tidak bisa lain berlangsung dalam perangkat dan pranata Pancasila, norma dan etika dasar bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara Republik Indonesia. Karena itu, sebelum menjabarkan lebih lanjut, bagaimana interaksi positif antara ketiga komponen itu bisa dikembangkan secara maksimal, perlu lebih dulu dipahami hakekat Pancasila bagi kehidupan nasional Indonesia.
b.      Negara-negara demokrasi Liberal Barat mendasarkan kehidupan dan dinamiknya pada individu dan kompetisi secara antagonis, sedangkan negara-negara komunis berdasarkan kepada pertentangan kelas yang bersifat dialektis materiil. Adapun negara Indonesia yang  berdasarkan Pancasila, berpaham pada keseluruhan dan keseimbangan, baik antara individu dan masyarakat maupun antara berbagai kelompok sosialnya. Dinamika dikembangkan bukan dari pertarungan menurut paham “singa gede menang kerahe” (singa besar pasti  menang bertarung), melainkan atas paham hidup menghidupi, simbiosis mutualis. Pola  dasar dan sistem nilai yang demikian itu juga menjadi dasar dan semangat dari hubungan  antara pemerintah, pers dan masyarakat. Hubungan itu tidak disemangati oleh sikap apriori atau saling curiga, apalagi saling memusuhi. Hubungan itu adalah  hubungan perkerabatan yang fungsional.
c.       Antara pemerintah, pers dan masyarakat, harus dikembangkan hubungan fungsional  sedemikian rupa, sehingga semakin menunjang tujuan bersama yaitu terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik  Indonesia. Dimungkinkan adanya perbedaan pendapat dalam proses hubungan tersebut. Namun perbedaan pendapat tidak harus ditafsirkan sebagai konflik melainkan sebagai proses kreatif dan dinamis dalam usaha mencapai harmoni dan keseimbangan yang setiap kali semakin maju, kuantitatif dan kualitatif.
d.      Hubungan antara pemerintah, pers dan masyarakat, sesungguhnya merupakan pengejawa-ntahan dari nilai-nilai Pancasila. Itulah sebabnya, salah satu pendekatan kultural terhadap segala persoalan, lebih cocok dengan identitas Indonesia, lagipula pendekatan kultural ini telah dibuktikan kharisma dan daya mampunya dalam periode perjuangan kemerdekaan nasional, sehingga mampu membangkitkan semangat patriotisme, pengorbanan tanpa pamrih dan dedikasi total terhadap kepentingan rakyat banyak. Pendekatan kultural juga dapat memperlancar proses kembar, yaitu kontinuitas dan perubahan yang menjadi ciri-ciri kehidupan setiap bangsa, apalagi bangsa yang sedang membangun. Pembangunan berarti perubahan yang terarah seca bertahap tapi konsisten. Sedangkan perubahan itu agar kokoh, harus berakar dan akar itu adalah kontinuitas. Kontinuitas dari nilai kebudayaan bangsa yang paling mulia, termasuk di antaranya warisan nilai-nilai empat puluh lima.
e.   Baik untuk menjamin tercapainya sasaran maupun karena sesuai dengan asas demokrasi Pancasila, maka dalam hubungan fungsional antara pemerintah, pers dan masyarakat, perlu dikembangkan kultur politik dan mekanisme yang memungkinkan berfungsinya sistem kontrol sosial dan kritik secara efektif dan terbuka. Tetapi kontrol sosial itu pun substansi dan caranya tidak terlepas dari asas keselarasan dan keseimbangan, kekerabatan dan hidup menghidupi.
f.    Pembangunan masyarakat bisa berlangsung dalam pola evolusi, reformasi dan revolusi. Jika kita menempatkan pembangunan nasional Indonesia ke dalam salah satu dari ketiga kategori itu, maka yang paling tepat ialah pada pola reformasi. Pembangunan dalam pola reformasi berarti perobahan terarah yang fundamental sesuai dengan konsep masyarakat Pancasila, namun dilaksanakan secara bertahap dan menurut asas prioritas.
g.       Seluruh bidang kehidupan masyarakat hendak dibangun, tetapi pelaksanaannya bertahap dan selektif, semakin hari semakin maju dan menyeluruh sehingga akhirnya seluruh bidang kehidupan masyarakat bangsa dan negara dijamahnya, ditransformir menjadi masyarakat Pancasila. Pendekatan bertahap, berprioritas, berencana merupakan pendekatan yang tepat, mengingat serta keterbatasan yang ada pada kita, tetapi seluruh prosesnya perlu dipercepat (diakselarasi), karena sebagai bangsa dihadapkan dengan faktor waktu yang semakin mengejar. Pemerintah, pers dan masyarakat harus mampu membangun diririnya sendiri agar menjadi lembaga yang lebih baik dan lebih ampuh untuk melaksanakan pembangunan.
h.   Adanya kekurangan merupakan gejala umum yang harus kita terima bersama.    Bukan  agar kita menyerah dan menjadi dalih dari berbagai kemungkinan penyalahgunaan, melainkan agar kita mampu melihat segala sesuatunya dengan proporsi yang tepat dan konstruktif. Agar dalam melakukan koreksi, kita tidak menimbulkan apatisme dan antipati  melainkan justru menggairahkan usaha-usaha perbaikan dan pembangunan itu sendiri. Di samping menunjukkan kekurangan-kekurangan, pers harus bisa juga menunjukkkan hal-hal positif. Berlaku kembali di sini asas keselarasan dan keseimbangan yang merupakan tipe ideal masyarakat kita, sekali pun merupakan nilai dalam proses pendekatan. Interaksi berarti proses pengaruh-mempengaruhi sebagai dasar dari konsensus bersama yang merupakan hasil komunikasi dua arah timbal balik.
i.        Hubungan antara pemerintah, pers dan masyarakat merupakan hubungan  kekerabatan dan fungsional yang terus menerus dikembangkan dalam mekanisme dialog. Di samping mekanisme dialog, juga perlu dikembangkan mekanisme lain, yaitu diselenggarakan seminar sebagai kegiatan rutin yang kreatif dalam usaha mengembangkan  konsepsi, nilai-nilai dan mekanisme. Dalam usaha memelihara kontinuitas yang kreatif, juga dipandang bermanfaat untuk menerbitkan buku-buku dalam bidang pers, sehingga menjadi bahan bacaan bagi para wartawan, pejabat pemerintah maupun perguruan tinggi. Perlu diketahui bahwa kini telah diterbitkan tiga buku hasil panitia Dewan Pers, yaitu “Sejarah Pers Indonesia, Pornografi dan Pers Indonesia dan Naskah Pengetahuan Dasar bagi Wartawan Indonesia”.
j.  Dalam hubungan antara pemerintah, pers dan masyarakat, otonomi masing-masing lembaga sesuai dengan asas Demokrasi Pancasila, dihormati dan perlu dikembangkan. Salah satu karya otonomi ialah apa yang dengan baik bisa dilakukan sendiri oleh lembaga  masyarakat, tidak perlu pemerintah mencampurinya. Dalam konteks ini, misalnya perlu  dikembangkan adanya mekanisme efektif oleh masyarakat pers sendiri untuk mengatur perilaku kehidupannya. Pelaksanaan kode etik dan sanksi atas pelanggaran, misalnya perlu ditingkatkan. Disarankan agar dipelajari kemungkinan dibentuknya suatu Dewan Kehormatan, yang terdiri    dari tiga pihak; pers, masyarakat, pemerintah. Dewan kehormatan yang demikian itu agar dibentuk di pusat maupun di daerah sesuai dengan kebutuhannya.
k.    Jadi, bila dibahas lebih spesifik lagi, pers memang “lahir” di tengah-tengah            masyarakat, sehingga pers dan masyarakat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pers “lahir” untuk memenuhi tuntutan masyarakat untuk memperoleh informasi yang aktual dengan terus-menerus mengenai peristiwa-peristiwa besar maupun kecil. Pers sebagai lembaga kemasyarakatan tidak dapat hidup sendiri, akan tetapi pers dipengaruhi dan mempengaruhi lembaga kemasyarakatan yang lain.
l.   Menurut Wilbur Schramm, pers bagi masyarakat adalah “Watcher, forum and teacher” (pengamat, forum dan guru). Maksud pernyataan di atas adalah, bahwa setiap hari pers memberikan laporan dan ulasan mengenai berbagai macam kejadian dalam dan luar negeri, menyediakan tempat (forum) bagi masyarakat untuk mengeluarkan pendapat secara tertulis dan turut mewariskan nilai-nilai kemasyarakatan dari generasi ke generasi.


3.     Dampak Penyalahgunaan Kebebasan Media
Dalam kehidupan masyarakat, media massa dapat memberikan informasi atau berita yang jelas dan akurat. Media massa dalam penyampaian beritanya untuk kehidupan masyarakat memiliki manfaat yang cukup besar. Istilah media mengandung makna untuk semua organisasi, baik swasta maupun pemerintah yang bertugas mencari informasi kepada publik. Mereka menggunakan alat atau media seperti koran, radio, televisi, seni pertunjukan dan lain sebagainya. Peralatan tersebut digunakan untuk menyampaikan pesan.

Namun jika fungsi-fungsi penyampaian informasi atau berita disalahgunakan, hal ini dapat berdampak sebagai berikut (lihat boks jejak pendapat Kompas, tanggal 12 Februari 2007).


JEJAK PENDAPAT KOMPAS

Pers Semakin Tenggelam Di Dekapan Komersialisme

Dunia pers Indonesia semakin tenggelam dalam ideologi komersial, setelah ideologi kebebasan mampu diraihnya pascalengsernya kekuasaan Orde Baru. Sayangnya, pergeseran ideologi itu membuat fungsi media masa sebagai alat pendidikan masyarakat tidak lagi menjadi ciri yang kuat melekat.
Kehadiran pers dalam sebuah sistem politik modern merupakan wujud dari kedaulatan rakyat, dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang demokratis. Melalui pers, kekosongan ruang publik yang terjadi, baik antarkelompok masyarakat maupun antara pemerintah dan masyarakat, bisa terjembatani. Pers sebagai instrumen komunikasi yang melibatkan manusia dalam jumlah yang besar menjadi forum bagi berlangsungnya dialog secara terbuka antarkelompok dalam masyarakat serta antara masyarakat dan pemerintah.
Di sini pers memainkan peran sentral sebagai pemasok dan penyebar informasi yang diperlukan untuk memfasilitasi pembentukan opini publik dalam rangka mencapai konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan para penyelenggara negara. Pers yang bebas akan memainkan peran sebagai forum dialog yang demokratis, termasuk memberikan kesempatan bagi suara yang mungkin selama ini terabaikan. Ia juga memainkan peranan sebagai sumber informasi yang berharga, sebagai pelengkap atau bahkan bisa pula menjadi alat utama bagi proses pendidikan, serta sebagai alat kontrol yang efektif terhadap kinerja penguasa dan proses pembangunan.
Kebebasan pers Indonesia, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, mencakup jaminan dan perlindungan hukum serta tidak adanya campur tangan atau paksanaan dari pihak manapun terhadap pekerjaan Pers. Selain itu, pers nasional juga tidak dikenal penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Dengan kata lain, di bawah aturan yang baru, kebebasan pers sebagai ekspresi dari hak asasi dan hak politik mendapat jaminan hukum. Di bawah sistem Orde reformasi sekarang, fungsi pers tidak seharusnya sekadar medium penebar informasi, hiburan, dan pendidikan, tetapi juga berfungsi sebagai alat kontrol sosial.
Fungsi dasar
Sayangnya, pers di negeri ini, baik media cetak maupun media elektronik, hingga saat ini masih banyak berkutat dengan fungsi dasarnya sebagai medium penyebar informasi, hiburan, dan pendidikan. Kedua jenis media itu memang sudah mampu menjangkau mayoritas publik penggunaannya dalam memberikan informasi. Setidaknya, mayoritas responden merasa puas dengan kemampuan media ini dalam menyebarkan informasi kepada masyarakat. Begitu juga dengan fungsi hiburan yang dibawa oleh kedua media ini. Kepuasan responden terhadap aspek hiburan media massa tidak hanya terhadap apa yang disajikan oleh media elektronik, terutama televisi, tetapi juga dari yang mereka baca dari media cetak.
Adapun untuk fungsi pendidikan, tampaknya responden masih lebih percaya kepada media cetak ketimbang media elektronik. Setidaknya, 57,2 persen responden merasa puas dengan fungsi pendidikan yang mereka dapat dari media cetak. Sementara responden yang puas dengan fungsi pendidikan yang diberikan oleh media elektronik hanya 42,5 persen. Apresiasi responden terhadap media cetak dan media elektronik itu mencerminkan tingginya kebutuhan informasi di masyarakat. Meskipun informasi yang diperoleh dikemas dalam perspektif yang berbeda-beda, tetapi soal aktualitas, obyektivitas, dan netralitas media selalu menjadi tolok ukur kejujuran media massa dalam mengungkapkan fakta.
Terhadap tolok ukur itu, sebagian besar (62,0 persen) responden menilai, pemberitaan yang dilakukan oleh media massa saat ini sudah sesuai dengan fakta, sementara 33 persen responden malah menilai sebaliknya. Begitu juga dengan soal proporsionalitas pemberitaan. Bagi 51,9 persen responden, media massa saat ini sudah proporsional dalam memberitakan suatu peristiwa. Namun, pendapat ini ditentang 43,1 persen responden yang melihat media massa saat ini cenderung melebih-lebihkan sebuah pemberitaannya.
Soal keberpihakan media, lebih dari separuh bagian (53,7 persen) responden menilai media massa saat ini sudah berimbang dalam memberitakan sebuah peristiwa, sementara 42,5 persen responden menanggapi sebaliknya. Kendati demikian, keberhasilan pers itu tidak lantas membuat pers Indonesia bebas dari ekses negatif yang di timbulkan akibat kebebasan pers yang dimilikinya. Benturan idealisme pers dengan kepentingan internal dan eksternal pers selalu mengondisikan pers Indonesia dalam posisi yang dilematis. Inilah persoalan klasik yang selalu melanda pers Indonesia selama ini.
Peran pers yang begitu besar dalam pembentukan opini publik membuat lembaga ini selalu berbenturan dengan kepentingan pemerintah. Pada masa Orde Baru, sering kali pers dipaksa mengakomodasikan kepentingan pemerintah atau terpaksa berhadapan dengan penguasa jika bersikukuh mempertahankan idealisme kebebasannya.
Namun, tampaknya dunia pers saat ini sudah bisa menikmati kebebasannya. Setidaknya, lebih dari separuh bagian (52,6 persen) responden merasakan media massa saat ini sudah bebas dari pengaruh, terutama tekanan atau intervensi penguasa. Meskipun demikian, 43,6 persen responden malah merasa pengaruh pemerintah masih cukup kuat terhadap media massa. Berbeda dengan penguasa, pengaruh tokoh politik malah dirasakan cukup kuat di dalam kehidupan pers saat ini. Separuh bagian responden merasakan hal ini.
Hubungan saling mempengaruhi antara pers dan pihak yang berada di luar dirinya, seperti yang terungkap dalam jejak pendapat ini, memberi penegasan bahwa tidak ada indenpendensi absolut dalam kehidupan pers. Fenomena ini bisa dilihat dari orientasi pers saat ini. Sebagian besar responden menilai media massa saat ini cenderung berorientasi pada aspek komersial ketimbang idealisme pers sebagai politik pembebasan.
Kecenderungan ini bisa dilihat dari fenomena pemberitaan yang dilakukan media massa saat ini. Bagi media elektronik, untuk mengejar rating yang tinggi, program acara bersifat sensasional, yang kandungan pendidikannya untuk publik relatif rendah, semakin sering ditawarkan kepada publik. Unsur pornografi, kekerasan, hingga mistik pun dipublikasikan. Sebagian besar (64,5 persen) responden mengaku prihatin dengan tayangan televisi yang mengandung kekerasan.
Menurut sebagian responden itu, penayangan adegan kekerasan di televisi pada masa reformasi ini sudah berlebihan. Begitu juga dengan tayangan yang berbau pornografi. Lebih dari separuh bagian (58,0 persen) responden mengaku, tayangan itu sudah berlebihan. Keprihatinan yang sama juga diungkapkan oleh 58,6 persen responden terhadap penayangan acara televisi yang berbau mistik. Kecenderungan serupa terjadi di media cetak. Kendati tidak separah yang ditayangkan media elektronik, publik tetap memprihatinkan pemunculan berita berbau pornografi, kekerasan, atau mistik.
Begitulah wajah kebebasan pers Indonesia saat ini. Di satu sisi keberadaannya mencerminkan tanggung jawab sosialnya bagi masyarakat dan negara, namun di sisi lain, keberadannya malah dikhawatirkan menghancurkan moral bangsa ini. Inilah eforia pers yang menghasilkan wajah pers Indonesia dengan karakter yang beragam seperti sekarang.
Catatan : Jumlah responden = 722 orang, dengan cakupan wilayah : Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Padang, Banjarmasin, Pontianak, Manado, Makassar dan Jayapura.

Sumber : Sultani (Litbang Kompas), 12/2/2007.


Bonus Info Kewarganegaraan

08 Februari 2007 16:17:53
Kemajuan Teknologi Jadi Tantangan Pers
Saat ini, melalui teknologi, masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam berbagai media komunikasi. Perkembangan ini juga membawa perubahan besar pada industri media massa. Beberapa penelitian menyimpulkan, suratkabar (media cetak) mulai menuju kematian, yang ditandai dengan menurunnya jumlah tiras. Masa keemasan suratkabar telah lewat, digantikan dengan media elektronik. Namun, suratkabar tetap bisa hidup. Syaratnya harus melakukan perluasan dengan bergerak di bisnis multimedia. Di Indonesia upaya ini telah dimulai. Kelompok-kelompok suratkabar besar saat ini merambah kepemilikannya ke radio, televisi, dan bisnis lainnya.
Demikian beberapa pemikiran yang muncul dalam acara Dewan Pers Menjawab yang disiarkan langsung stasiun TVRI, Rabu, 7 Februari lalu, bertema Refleksi Hari Pers Nasional (HPN). Tema ini diangkap untuk menyambut hari pers yang diperingati setiap tanggal 9 Februari. Acara yang dipandu Hinca IP Pandjaitan ini menghadirkan wartawan senior, Djafar H. Assegaf, anggota Dewan Pers, Sabam Leo Batubara, dan program officer UNESCO-Jakarta, Arya Gunawan.
Assegaff menyatakan komunikasi adalah fitrah manusia. Karena itu setiap hari manusia membutuhkan media massa. Pada abad teknologi saat ini hukum besi berlaku, sehingga menurutnya bisnis media massa membutuhkan skill yang luas dan modal besar.
Terkait dengan peringatan HPN, Assegaff memandang pentingnya pendidikan bagi wartawan. Ia juga menyoroti pentingnya kebiasaan membaca (reading habit). Sebab salah satu tantangan untuk meningkatkan tiras suratkabar adalah bagaimana meningkatkan minat baca. Assegaff menyatakan, “Sekarang adalah abad new media. (Namun) semua tidak ada artinya kalau tidak didalami dengan membaca koran, dan lebih lagi membaca buku”.
Sementara itu Leo membenarkan berbagai riset yang menyimpulkan adanya penurunan tiras surat kabar di dunia. Namun, menurutnya, hal itu tidak berlaku di beberapa negara seperti India. Mengutip hasil pertemuan serikat penerbit surat kabar seluruh dunia yang berlangsung tahun 2000 lalu, Leo menyatakan suratkabar perlu melakukan konvergensi untuk dapat bertahan hidup.
Ia melihat di Indonesia sudah ada kencenderungan demikian. Selain ke suratkabar, kelompok pebisnis pers telah memperluas bisnisnya ke radio dan televisi. Dengan demikian suratkabar dapat tetap eksis. Apalagi suratkabar punya kelebihan dibanding media elektronik. “Kelebihan suratkabar yang tidak bisa ditandingi yaitu kedalaman berita”, ungkapnya.
Menanggapi pers di Indonesia yang sering dinilai telah sangat bebas dan cenderung kebablasan, Leo menyatakan, pers sebetulnya belum benar-benar bebas. “Di Indonesia pers yang mengungkap korupsi tapi pers malah yang ditangkap. Jadi pers belum bebas”.
Sedangkan Arya melihat posisis pers diuntungkan dengan reformasi. Pers dapat terbuka, tidak lagi memerlukan izin sehingga tidak dapat dibredel. Kebebasan pers saat ini, menurut Arya, adalah berkah, ancaman, dan sekaligus tantangan. Tantangan pertama pers Indonesia adalah menjaga kebebasan pers. “Ancaman” teknologi manjadi tantangan berikutnya. Ia menambahkan, keberadaan wartawan pemeras dan penyalahgunaan kebebasan oleh kalangan pers sendiri menjadi tantangan lainnya. Karena itu perlu ditekankan pentingnya peningkatan profesionalisme wartawan. (Redaksi-Dewan Pers).

Sumber :  http://www.dewanpers.org/dpers.php





KESIMPULAN

1.    Istilah “pers” pada umumnya mengandung arti merupakan penerbitan yang berkaitan dengan media massa atau wartawan. Dapat juga merupakan lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik baik cetak maupun elektronik.
2.   Dalam pelaksanaan pers di beberapa negara, terdapat kebebasan pers yang ternyata antar negara tidak sama. Ada beberapa negara yang menganut pers Barat dan pers Komunis. Demikian juga di dalam karakteristiknya, ada yang menerapkan teori pers otoriterian, libertarian, tanggung jawab sosial dan komunis.
3.  Perkembangan pers di Indonesia yang terus mengalami kemajuan, adalah setelah pemerintah republik Indonesia terbentuk pada tahun 1945. Pasang surut pers di Indonesia dialami baik pada masa revolusi, era demokrasi liberal, zaman orde lama atau pers terpimpin, era demokrasi Pancasila dan orde baru, serta kebebasan pers era reformasi.
4.      Setiap negara memilki karakteristik pers yang berbeda antara satu negara dengan negara lain, hal ini sangat tergantung kepada ideologi atau falsafah yang dianutnya. Ada 6 sifat pers yang kita kenal, yaitu : pers demokrasi liberal, pers komunis, pers otoriter, pers bebas dan bertanggung jawab, pers pembangunan, dan pers Pancasila.
5.  Pers sebagai lembaga kemasyarakatan yang bergerak di bidang pengumpulan dan penyebaran informasi, memiliki Visi yakni :  ikuat mencerdaskan masyarkat, menegakkan keadilan dan memberantas kebatilan.
6. Menurut Kusman Hidayat dalam bukunya yang berjudul “Dasar-dasar Jurnalistik/Pers” menyebutkan ada 4 fungsi pers : yaitu fungsi pendidik, fungsi penghubung, fungsi pembentuk pendapat umum dan fungsi kontrol.
7.  Pers dalam menjalankan fungsi, tugas dan peranannya menghadapi banyak tantangan dan    masalahnya sendiri. Pers ditantang untuk bekerja lebih profesional sesuai kode etik, dan dilain pihak pers menghadapi masalah bagaimana memperoleh tenaga yang profesional, cakap dan terampil.
8.     Undang-Undang Pers yang pernah ada di Indonesia, antara lain : Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982, dan terbaru Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.
9.    Penerapan pers yang bebas dan bertanggungjawab dikembangkan dan dibina dalam suasana yang harmonis terhadap lingkungan, serta merangsang timbulnya kreativitas, bukan sebaliknya dengan menimbulkan ketegangan-ketegangan yang bersifat antagonistis.
10.  Pers melalui organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) telah memilki Kode Etik Jurnalistik yang merupakan aturan mengenai mengenai perilaku dan pertimbangan moral yang harus dianut dan ditaati oleh media pers dalam siarannya.

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Peran Pers untuk Mendidik Masyarakat Menuju Demokrasi Ideal Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda