Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Kasidi Hadiprayitno, M. Hum dan Dr. Hari Bakti
Mardikantoro, M. Hum.
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASAR KONSENTRASI BAHASA INDONESIA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Situasi sekarang ini banyak terlihat gejala-gejala
kemerosotan etika dan estetika (keindahan) yang terjadi dimana-mana. Mulai dari
usia anak-anak hingga dewasa maupun orang tua terkena dampaknya. Hal ini
dikarenakan imbas dari adanya modernisasi dan globalisasi yang merusak tatanan
etika dan estetika di masyarakat. Padahal etika merupakan suatu fenomena
manusiawi yang universal serta menjadi ciri yang membedakan manusia dengan
binatang. Sehingga manusia yang berperilaku berlandaskan dengan etika dan
estetika yang menjadi pembatas manusia dengan makhluk lainnya dalam
berperilaku.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
Apakah yang dimaksud dengan etika?
Pendekatan apa yang digunakan dalam bidang etika?
Apakah yang dimaksud dengan moral?
Apa saja prinsip-prinsip moral dan sikap kepribadian
moral yang kuat?
Apakah yang dimaksud estetika?
Apa saja relasi estetika dalam wayang dan makna perang
Bharatayuda?
Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas dapat diuraikan
tujuan penulisan makalah sebagai berikut:
Untuk mengetahui pengertian etika dari berbagai sudut
pandang ahli.
Untuk mengetahui pendekatan yang digunakan dalam
bidang etika.
Untuk mengetahui pengertian moral dari berbagai sudut
pandang ahli.
Untuk mengetahui prinsip-prinsip dan sikap kepribadian
moral yang kuat.
Untuk mengetahui pengertian estetika dari berbagai
sudut pandang ahli.
Untuk mengetahui relasi estetika yang terjadi dalam
wayang dan makna dari perang Bharatayuda secara etika maupun estetika.
BAB II
PEMBAHASAN
Etika
Pengertian Etika
Etika secara etimologi berasal dari kata Yunani ethos yang berarti watak kesusilaan atau
adat. Secara terminologi, etika adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah
laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik buruk. Sedangkan yang
dapat dinilai baik buruk adalah sikap manusia yaitu yang menyangkut perbuatan,
tingkah laku, gerakan-gerakan, kata-kata, dan sebagainya. Perbuatan atau
tingkah laku yang dikerjakan dengan kesadaran yang dapat dinilai, sedangkan
yang dikerjakan dengan tidak sadar tidak dapat dinilai baik buruk.
Jika kita melihat dalam KBBI, etika membedakan tiga
arti yaitu pertama, ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang
hak dan kewajiban. Kedua, kumpulan asas atau nilai. Ketiga, nilai mengenai
benar atau salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat. Etika adalah
suatu refleksi tentang tema-tema yang menyangkut perilaku kita. Dalam etika
menganalisis tema-tema pokok seperti hati nurani, kebebasan, tanggung jawab,
nilai, norma, hak, kewajiban. Etika berarti ilmu tentang apa yang biasa
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Jadi etika adalah ilmu atau asas
atau nilai tentang baik dan buruk tingkah laku berdasarkan kebiasaan yang
berlaku.
Menurut Sunoto dalam Fuad Ihsan mengatakan bahwa etika
dapat dibagi menjadi etika deskriptif dan etika normatif. Etika deskriptif
hanya melukiskan, menggambarkan, menceritakan apa adanya, tidak memberikan
penilaian, tidak mengajarkan bagaimana seharusnya berbuat. Contohnya sejarah
etika. Sedangkan etika normatif sudah memberikan penilaian yang baik dan buruk,
yang harus dikerjakan dan yang tidak. Etika normatif dapat dibagi menjadi dua
yaitu etika umum dan etika khusus. Etika umum membicarakan prinsip-prinsip
umum, seperti nilai, motivasi suatu perbuatan, suara hati, dan sebagainya.
Etika khusus adalah pelaksanaan prinsip-prinsip umum, seperti etika pergaulan,
etika dalam pekerjaan, dan sebagainya.
Metode Etika
Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara
kritis. Etika tidak memberikan
ajaran, melainkan memeriksa kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma, dan
pandangan-pandangan moral secara kritits. Sehingga etika tidak membiarkan
pendapat-pendapat moral begitu saja melainkan menuntut agar pendapat-pendapat
moral yang dikemukakan dipertanggungjawabkan. Jadi metode yang tepat pada etika
yaitu dengan pendekatan kritis.
Pengertian Moral
Moral berasal dari kata latin mos jamaknya mores yang
berarti adat atau cara hidup. Kata moral selalu mengacu pada baik-buruknya
manusia sebagai manusia. Sedangkan bidang moral adalah bidang kehidupan manusia
dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Jadi moral adalah ukuran baik
dan buruk sikap manusia dalam pergaulan baik di lingkungan keluarga maupun di
masyarakat.
Norma-norma moral adalah tolak ukur untuk menentukan
betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik buruknya
sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas.
Macam-macam norma ada dua yaitu pertama norma khusus, yang berlaku dalam bidang
atau situasi khusus. Contohnya peraturan tata tertib di kampus universitas yang
hanya berlaku selama kita berada di kampus. Kedua norma umum, terbagi menjadi
tiga macam antara lain norma sopan santun, norma hukum, dan norma moral.
Pertama norma sopan santun, menyangkut sikap lahiriah
manusia. Sikap lahiriah mengungkapkan sikap hati dan mempunyai kualitas moral. Kedua
norma hukum, adalah norma-norma yang dituntut dengan tegas oleh masyarakat
karena dianggap perlu demi keselamatan dan kesejahteraan umum. Pengertian lain,
bahwa norma hukum adalah norma yang tidak dibiarkan dilanggar jika ada orang
yang melanggar hukum pasti akan dikenai hukum sebagai sanksi. Norma hukum tidak
sama dengan norma moral. Hal ini dikarenakan norma hukum tidak dipakai untuk
mengukur baik-buruknya seseorang sebagai manusia, melainkan untuk menjamin
tertib umum. Ketiga norma moral, adalah tolak ukur yang dipakai masyarakat
untuk mengukur kebaikan seseorang. Sehingga penilaian moral selalu berbobot.
Prinsip-prinsip Moral Dasar
Etika normatif yang mempunyai tolak ukur menilai
tindakan manusia secara moral. Sehingga sebagai panduan dalam tolak ukur etika
normatif tersebut menggunakan prinsip-prinsip moral dasar. Prinsip-prinsip
moral dasar terbagi menjadi tiga bagian antara lain:
Prinsip sikap baik
Prinsip ini mendahului dan mendasari semua prinsip
moral lain. Hal ini dikarenakan prinsip sikap baik mempunyai dasar dalam
struktur psikis manusia. Misalnya kita bertemu dengan orang yang belum kita
kenal, dengan adanya sikap dasar ini kita dapat bertemu dengan orang yang belum
kita kenal tanpa takut. Jadi sikap yang biasa pada manusia bukan sikap memusuhi
dan mau membunuh, melainkan sikap bersedia untuk menerima baik dan membantu.
Jadi prinsip sikap baik bukan hanya sebuah prinsip yang kita pahami secara
rasional, melainkan juga mengungkapkan “syukur” suatu kecondongan yang memang
sudah ada dalam watak manusia.
Prinsip keadilan
Adil pada hakikatnya bahwa kita memberikan kepada
siapa saja dan apa yang menjadi haknya.
Karena hakikatnya semua orang sama nilainya sebagai manusia, maka tuntutan
paling dasar adalah keadilan. Keadilan adalah perlakuan yang sama terhadap
semua orang, tentu dalam situasi yang sama. Jadi prinsip keadilan mengungkapkan
kewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap semua orang lain yang
berada dalam situasi yang sama dan untuk menghormati hak semua pihak yang
bersangkutan.
Prinsip hormat terhadap diri sendiri
Prinsip ini mengatakan bahwa manusia wajib untuk
selalu memperlakukan diri sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri.
Prinsip ini berdasarkan paham bahwa manusia adalah person, pusat berpengertian,
dan berkehendak, yang memiliki kebebasan dan suara hati, makhluk berakal budi.
Prinsip hormat terhadap diri sendiri mempunyai dua arah yaitu pertama dituntut
agar kita tidak membiarkan diri diperas, diperalat, atau diperbudak. Perlakuan
semacam itu merugikan kedua belah pihak. Karena sebagai manusia kita mempunyai
harga diri. Kedua jangan sampai membiarkan diri terlantar. Kita mempunyai
kewajiban bukan hanya terhadap orang lain, melainkan juga terhadap diri kita
sendiri. Bahwa manusia juga mempunyai kewajiban terhadap dirinya sendiri
berarti kewajibannya terhadap orang lain diimbangi oleh perhatian yang wajar
terhadap dirinya sendiri.
Jadi prinsip kebaikan dan keadilan yang kita tunjukkan
kepada orang lain, perlu diimbangi dengan sikap yang menghormati diri kita
sendiri sebagai makhluk yang bernilai pada dirinya sendiri. Kita mau berbaik
kepada orang lain dan bertekad untuk bersikap adil, tetapi tidak membuang
diri.
Sikap Kepribadian Moral yang Kuat
Berikut sikap-sikap yang perlu dikembangkan untuk
memperoleh kekuatan kepribadian yang mantap dalam kesanggupan untuk bertindak
sesuai dengan apa yang diyakininya sebagai benar, antara lain:
Kejujuran
Dasar setiap usaha untuk menjadi orang kuat secara moral
adalah kejujuran. Tanpa kejujuran kita sebagai manusia tidak dapat maju
selangkah karena kita belum berani menjadi diri kita sendiri. Bersikap jujur terhadap
orang lain mempunyai dua arti yaitu pertama, sikap terbuka yang dimaksud adalah
bahwa kita selalu muncul sebagai diri kita sendiri. Kedua bersikap fair, maksudnya terhadap orang lain
orang jujur bersikap wajar. Orang jujur memperlakukannya menurut
standart-standart yang diharapkannya dipergunakan orang lain terhadap dirinya.
Ia akan menghormati hak orang lain, ia selalu akan memenuhi janji yang
diberikan juga terhadap orang yang tidak dalam posisi untuk menuntutnya. Orang
yang jujur tidak pernah bertindak bertentangan dengan suara hati atau
keyakinannya.
Nilai-nilai otentik
Otentik berarti aseli, manusia otentik adalah manusia
yang menghayati dan menunjukkan diri sesuai dengan keasliannya dengan
kepribadian yang sebenarnya.
Kesediaan untuk bertanggung jawab
Kejujuran sebagai kualitas dasar kepribadian moral
menjadi operasional dalam kesediaan untuk bertanggung jawab. Tanda-tandanya
yaitu pertama kesedian untuk melakukan apa yang harus dilakukan dengan sebaik
mungkin. Kedua sikap bertanggung jawab mengatasi segala etika peraturan. Ketiga
tidak membatasi perhatiannya pada apa yang menjadi urusan dan kewajibannya.
Keempat kesediaan untuk bertanggung jawab termasuk kesediaan untuk diminta, memberikan,
pertanggungjawaban atas tindakannya, atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya.
Kemandirian moral
Kemandirian moral adalah kekuatan batin untuk
mengambil sikap moral sendiri dan untuk bertindak sesuai norma agama.
Keberanian moral
Keberanian moral menunjukkan diri dalam tekad untuk
tetap mempertahankan sikap yang telah diyakini sebagai kewajiban, demikian pula
apabila tidak disetujui atau secara aktif dilawan oleh lingkungan.
Kerendahan hati
Kerendahan hati adalah kekuatan batin untuk melihat
diri sesuai dengan kenyataannya.
Realistik dan kritis
Sikap realistik tidak berarti bahwa kita menerima
realitas begitu saja, melainkan kita mempelajari keadaan dengan
serealis-realisnya supaya dapat kita sesuaikan dengan tuntutan prinsip-prinsip
moral dasar.
Estetika
Nilai estetika dalam
filsafat yang dalam kamus besar bahasa Indonesia, cabang filsafat yang
menelaah dan membahas tentang seni dan keindahan serta tanggapan manusia
mengenai keindahan akan sesuatu yang indah. Estetika digunakan oleh Alexander
Baumgarten dalam arti cabang filsafat sistematis yang menempatkan keindahan dan
seni sebagai objek telaahnya. Sejak itu istilah estetika dipakai dalam bahasan
filsafat mengenai benda-benda seni
Estetika (estetis)
adalah cabang filsafat yang mempersoalkan seni (art) dan keindahan (beauty).
Istilah estetika berasal dari kata Yunani “aesthesis”, yang berarti
penerapan indrawi, pemahaman intelektual, atau bisa juga berarti pengamatan
spiritual. Istilah art berarti seni, keterampilan, ilmu, atau kecakapan. Keindahan atau
estetika merupakan bagian dari sebuah filsafat, sebuah ilmu yang berintikan
logika, estetika, metafisika, dan epistemologi. Batasan keindahan sulit
dirumuskan. Karena keindahan itu abstrak, identik dengan kebenaran. Maka batas
keindahan pada sesuatu yang indah, dan bukannya pada “keindahan sendiri”.
Baumgarten menamakan seni itu sebagai pengetahuan sensoris, yang dibedakan
dengan logika yang dinamakannya pengetahuan intelektual. Estetika adalah salah
satu cabang filsafat. Secara sederhana, estetika adalah ilmu yang membahas
keindahan, bagaimana bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya.
Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi yang
mempelajari nilai-nilai sensoris, yang dianggap sebagai penilaian terhadap
sentimen dan rasa. Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan filosofi
seni.
Beberapa pemikir estetika yang terkenal antara lain
adalah Aristoteles dan Immanuel Kant. Aristoteles dalam Poetics menyatakan
bahwa sesuatu dinyatakan indah karena mengikuti aturan-aturan (order), dan
memiliki magnitude atau memiliki daya
tarik. Immanuel Kant dalam Porphyrios (1991) menyatakan bahwa suatu ide estetik
adalah representasi dari imajinasi yang digabungkan dengan konsep-konsep
tertentu.
Kant menyatakan adanya dua jenis keindahan yaitu
keindahan natural dan keindahan dependen.
Keindahan natural adalah keindahan alam, yang indah dalam dirinya sendiri,
sementara keindahan dependen merupakan keindahan dari objek-objek ciptaan
manusia. Jadi estetika berbicara tentang rasa yang mencakup penyerapan
perhatian dalam pengalaman. Rasa estetika itu dappat dibangkitkan dari rasa
seni ketika berusaha menimbulkan tanggapan
(respon) dari bermacam objek dan pengalaman. Ia yang dinilai berdasarkan konsep
atau kegunaan tertentu.
Relasi Estetika dalam Wayang dan Makna Perang
Bharatayuda
Pengertian Pewayangan dan Pendalangan
Bicara tentang wayang dikandung sejumlah pengertian yaitu
wayang mengacu pada boneka (sejenisnya), wayang mengacu pada pertunjukkan (performance),
wayang mengacu pada
kisah (lakon), dan wayang
mengacu pada orang-orang yang menari. Pertunjukan wayang dapat disebut teater
total di dalamnya dikandung
sejumlah jenis seni
yang di ramu menjadi satu
kesatuan, yakni seni drama (sanggit), musik (vokal–instrumen), rupa, gerak
(tari), dan seni sastra. Di samping itu dalam pertunjukan wayang dikandung pula
efek-efek yang terdengar dan terlihat (audio-visual efek) dan artis pendukung perlengkapan
(dramatis personal dan equipment).
Dalang adalah tokoh utama dalam wayang kulit. Dia
adalah penutur kisah, penyanyi lagu (suluk), yang mengajak memahami suasana
pada saat tertentu, pemimpin suara gamelan yang mengiringi, dan di atas
segalanya itu, dialah pemberi pemberi jiwa pada boneka wayang. Ruth (1990: 38 -
39), dalang adalah bukan pemain biasa, seorang dalang menyiapkan diri secara
batin dan lahir sebelum sebuah pertunjukkan semalam suntuk dan sering
mempertunjukkan dengan tidak sadarkan diri.
Sebuah pertunjukkan wayang kulit yang klasik dinamakan
semalam suntuk, lamanya delapan jam atau lebih. Selama pertunjukan, seorang
dalang duduk di belakang kelir, menggerakkan wayang, menyuarakan wayang,
menyanyi bahasa khusus, dan memimpin karawitan.
Relasi Estetika dalam Wayang
Estetika pertunjukan wayang merupakan totalitas keindahan
yang terdiri dari garap artistik dan estetik yang disajikan secara utuh
sehingga menimbulkan kesan rasa bagi penghayat wayang. Estetika pertunjukan
wayang dibentuk oleh pelaku, peralatan, unsur garap pakeliran, dan penonton
yang memiliki hubungan sinergis dan organis. Dalang merupakan tokoh sentral
yang mengolah unsur-unsur garap pakeliran dengan didukung kelompok karawitan
dan peralatan pertunjukan untuk menyajikan lakon wayang yang dikomunikasikan
kepada penonton. Hubungan antara berbagai unsur ini membentuk estetika
pertunjukan wayang.
Dalang menjadi kekuatan utama dalam pertunjukan
wayang. Ia merupakan orang yang bertindak sebagai pemain boneka wayang,
pemimpin orkestra, sebagai sutradara, juru penerang, dan penghibur. Dalang juga
dituntut memahami bidang kerohanian, falsafah hidup, pendidikan, kesusastraan,
ketatanegaraan, dan sebagainya. Untuk mencapai pertunjukan wayang yang estetis,
dalang dituntut menguasai keterampilan tekhnik, kemampuan sanggit, dan
totalitas ekspresi.
Kelompok karawitan terdiri dari pengrawit, pesindhen,
dan penggerong. Pengrawit bertugas memainkan instrumen gamelan. Pesinden
bertugas menyajikan vokal perempuan dalam alunan gendhing ataupun tembang, dan
penggerong bertugas menyajikan vokal laki-laki. Kehadiran pengrawit, pesinden,
dan penggerong dalam pagelaran wayang adalah mendukung terciptanya kualitas
estetik. Hubungan sinergis antara kelompok karawitan dengan dalang ditunjukkan
pada makna sasmita gending. Dalang melontarkan sasmita gending yang
diterjemahkan kelompok karawitan dalam vokal gending tertentu untuk mendukung
pertunjukan wayang.
Untuk menyajikan pertunjukan wayang, diperlukan
kehadiran peralatan penunjang seperti boneka wayang, kelir, blencong, kothak,
cempala, keprak, gamelan, dan pengeras suara. Semua peralatan memiliki
kontribusi bagi terbentuknya estetika pertunjukan wayang. Ada hubungan organis
antara peralatan pertunjukan dan estetika pertunjukan wayang lainnya, sehingga
meniadakan salah satu peralatan akan mengganggu keutuhan estetika pertunjukan wayang.
Pada estetika pertunjukkan wayang dikenal perangkat
lunak yang dinamakan unsur garap pakeliran, seperti lakon, catur, sabet, dan
karawitan pakeliran pemahaman lakon menitikberatkan pada sumber lakon, jenis
lakon, dan struktur lakon. Pada garap catur, sabet, dan karawitan pakeliran
diketahui berdasarkan elemen-elemennya, yaitu pertama, catur terdiri dari
bahasa, ginem, janturan, pocapan, dan tekhnik antawecana. Kedua, sabet meliputi
cepengen, tancepan, solah, entas-entasan, ragam gerak, dan makna gerak. Ketiga,
karawitan pakeliran terdiri atas urutan sajian dan nama gending, jenis dan
cengkok sulukan, maupun dhodhogan-keprakan.
Estetika pertunjukan wayang tidak terlepas dari respon
penonton. Sunardi (2012: 4) ada hubungan signifikan antara dalang, pagelaran
wayang dengan penontonnya. Tipe penonton penurut dan kritis, daya apresiasi
penonton yang tinggi, sikap penonton yang mengikuti tata aturan menonton
wayang, jumlah penonton yang banyak dan tetap, serta kualitas penonton sangat
berpengaruh dalam pencapaian estetika pertunjukan wayang.
Makna Perang Bharatayuda
Interpretasi perang Bharatayuda dalam kisah
"wayang purwo/kulit" banyak versi sesuai dengan peresapan
masing-masing penggemar ataupun pengamat "wayang purwo/kulit" yang
pada hakikatnya bisa dikatagorikan dalam simbolik berupa perubahan yang
bersifat mikro (dalam diri manusia sendiri) dan perubahan yang bersikap makro
(dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara). Arti simbolik yang bersifat mikro
(dalam diri manusia secara individu) pengertian simbolik perang Bharatayuda
dalam diri manusia adalah peperangan dalam diri manusia dalam rangka mengatasi
dirinya antara perbuatan yang baik dan buruk. Peperangan yang tiada henti
selama hidup dari seseorang sebagai individu untuk mencari nilai budi luhur dan
melaksanakan dalam tindakan nyata sehari-hari yang melawan pengaruh buruk yang
bersifat kesenangan yang bisa merusak diri dan lingkungannya.
Bharatayuda sebagai simbol pertarungan/pergulatan etika baik dan buruk
dalam diri manusia: Peperangan dalam diri manusia adalah hakekatnya perang
saudara, karena apabila manusia menginginkan sifat baik yang terpancar dalam
kehidupannya dia harus berani membunuh sifat buruk dalam dirinya yang berarti
membunuh sebahagian dari dirinya. Betapa sakitnya seseorang yang harus membunuh sifat dalam dirinya yang
bersifat kesenangan yang merusak seperti "ma-lima" (lima) yaitu (madon, madat, maling, main, mabuk.
Madon berarti: kesenangan dengan wanita/sex diluar pernikahan, madat:
kesenangan dengan candu/ganja/ekstasi/heroin/atau sejenisnya, maling:
kesenangan memiliki hak/kepunyaan orang lain, main: kesenangan berjudi, mabuk:
kesenangan minum minuman keras). Kalau seseorang sudah terlanjur mempunyai
kesenangan seperti tadi yang merupakan sifat buruk dalam dirinya, seseorang
memerlukan sikap sebagai Arjuna yang harus berani melakukan perang Bharatayuda,
untuk membunuh sebahagian dari dirinya yang bersifat buruk, betapa hal itu
sangat berat dan terasa menyakitkan. Dan apabila sifat ksatria utama yang
memenangkan peperangan dalam diri seseorang, dia mampu mengatasi dirinya untuk
tidak berbuat yang kurang terpuji dan berbudi luhur dalam perbuatan nyata untuk
dirinya maupun untuk masyarakat sekelilingnya. Kemenangan dalam peperangan ini
sebetulnya perubahan yang nyata dari sifat manusia tersebut dari manusia yang
kurang terpuji sifat-sifatnya menjadi manusia yang terpuji sifat-sifatnya.
Bharatayuda sebagai simbol cara kematian seseorang sesuai dengan karma/akibat
perbuatannya: Dalam kehidupan seseorang selalu diuji keberpihakannya
terhadap nilai-nilai budi luhur atau kecenderungannya terpengaruh oleh
perbuatan buruk.
Dalam masyarakat modern yang makin heterogen dan dengan makin terbukanya
pengaruh berbagai budaya dari luar kadang-kadang agak sulit untuk mengenali
dengan cepat dan mengambil garis lurus ataupun garis pemisah antara perbuatan
etika moral yang terpuji maupun kebalikannya terkadang agak sulit menarik garis
hitam putih. Tapi kalau kita mengkaji kisah/lakon
dalam "wayang purwo/kulit" hal tersebut bukan sesuatu yang tidak
terdeteksi dalam kisah tokoh-tokohnya yang selalu bergulat dalam perbuatan yang
terpuji maupun kurang terpuji, bahkan terhadap tokoh-tokoh yang diidealkan
seperti tokoh Pandawa Lima dan Sri Kresna. Hal ini adalah suatu indikasi
alamiah ketidaksempurnaan manusia.
Arti simbolik yang bersifat makro (dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara) perang Bharatayuda
adalah simbol peperangan yang mungkin bisa timbul di dalam masyarakat apabila
muncul kelompok yang menjunjung tinggi etika berbudi luhur yang melaksanakan
perang suci menghadapi kelompok yang zalim dan angkara murka agar terjadi
perubahan yang nyata menuju suatu tata masyarakat yang lebih baik. Bahwa pada akhirnya Pandawa Lima
memutuskan untuk melaksanakan suatu perang Bharatayuda bukanlah suatu proses
atau keputusan yang mudah, Pandawa Lima secara nyata telah menjalankan usaha
mencegah agar perang Bharatayuda jangan terjadi dengan misi perdamaian yang
terakhir adalah lakon/cerita
"Kresno Duto" yang mengutus Sri Kresna untuk menyelesaikan masalah
secara damai yang akhirnya malah menimbulkan kemarahan yang sangat dari Sri Kresna
yang hampir saja menghancur kan seluruh kerajaan Hastinapura. Secara simbolik bisa diartikan bahwa kezaliman dan keangkara murkaan itu semacam
candu/ecstacy, sekali kita didalamnya sulit kita bisa dengan mudah
menjadi sadar dengan sendirinya, harus ada pihak-pihak yang berani memerangi
dan menghancurkannya.
Diceritakan bahwa
perang Bharatayuda adalah perang yang "gegirisi" atau sangat menakutkan tidak ada satupun
perang yang tidak menakutkan yang akan meminta banyak korban dimana akhirnya
semua seratus Kurawa dan segala Ksatria yang membantunya habis terbunuh, juga
dari sisi Pandawa Lima tidak ada anak-anak Pandawa Lima yang bisa lolos dari
maut. Kemenangan dari Pandawa Lima harus dibayar sangat mahal walaupun akhirnya
Hastinapura bisa menjadi negara yang adil makmur setelah segala keangkamurkaan
Kurawa bisa dimusnahkan. "Jer basuki mawa bea" adalah
suatu pepatah Jawa yang artinya untuk
mencapai suatu tujuan selalu ada biayanya.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa etika dan estetika dalam wayang memang sangat penting dalam kehidupan
bermasyarakat. Hal ini terkait dengan nilai-nilai agung yang ada dalam wayang. Etika
adalah ilmu atau asas atau nilai tentang baik dan buruk tingkah laku
berdasarkan kebiasaan yang berlaku, membantu untuk mengambil keputusan tentang
tindakan apa yang perlu di lakukan dan yang perlu di pahami bersama bahwa etika
ini dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan. Sedangkan moral adalah
ukuran baik dan buruk sikap manusia dalam pergaulan baik di lingkungan keluarga
maupun di masyarakat. Estetika adalah sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai
sensoris, yang dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa.
Relasi estetika dalam wayang merupakan totalitas
keindahan yang terdiri dari garap artistik dan estetik yang disajikan secara
utuh sehingga menimbulkan kesan rasa bagi penghayat wayang. Interpretasi perang
Bharatayuda pada hakikatnya bisa dikatagorikan dalam simbolik berupa perubahan
yang bersifat mikro (dalam diri manusia sendiri) dan perubahan yang bersikap
makro (dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara). Dari penggambaran perang
Baharayuda diharapkan masyarakat dapat mengambil ajaran etika yang baik dan
memahami unsur estetika yang sesungguhnya, sehingga nilai-nilai tersebut dapat
diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan.
Saran
Untuk lebih mendalami etika dan estetika dalam wayang,
pembaca disarankan untuk melihat video pementasan wayang atau cerita tentang
wayang.
Daftar Pustaka
Bertens, K. 2007. Sari
Filsafat Atma Jaya: 15 etika.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Fuad Ihsan, H.A. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka Cipta.
Kencana Syafiie, Inu. 2010. pengantar filsafat. Bandung: Refika Aditama.
Mark Ruth, Woodward. 1990. Wayang Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta: LKIS.
Sunardi. 2012. Estetika
Pertunjukkan Wayang Purwa. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Suseno, Franz Magnis. 2010. Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2002. kamus besar bahasa Indonesia edisi ke 3.
Jakarta: Balai Pustaka.
0 komentar:
Post a Comment