Disusun guna memenuhi
tugas kelompok mata kuliah Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Kasidi Hadiprayitno, M.Hum dan Dr.
Hari Bakti Mardikantoro, M.Hum
Oleh:
Hamidulloh Ibda 0103513129
Dian Marta Wijayanti 0103513018
Wahyu Ambarwati 0103513091
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manusia adalah makhluk percaya. Artinya, di dalam diri manusia terdapat
bentuk kepercayaan dan keyakinan atas dasar rasionalitas, empiris dan dogma
yang diajarkan oleh agama kepada penganutnya. Meskipun bertuhan tidak harus
beragama, akan tetapi setiap manusia yang hidup pasti memiliki sistem
kepercayaan sendiri. Atas kepercayaan yang dimiliki manusia inilah, semua orang
yang hidup di dunia ini dianjurkan untuk berkeyakinan, bergama, dan menjunjung
tinggi nilai-nilai yang terbangun di dalam suatu masyarakat tertentu.
Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah Dasar Negara Republik
Indonesia, dan merupakan sila pertama dari Pancasila. UUD 1945 pasal 29 ayat 1
berbunyi: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi jelas bahwa
keyakinan bangsa Indonesia adalah percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh
karenanya, segala paham yang bertentangan dengan kepercayaan tersebut,
lebih-lebih atheisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, tentu tidak punya
hak hidup dalam Negara Republik Indonesia.
Yang terpenting dari Pancasila ialah pelaksanaannya dan realisasi dari
tiap-tiap sila itu. Kemudian pemahaman yang benar bahwa inti dan sumber dari
semua sila-sila dalam Pancasila ialah Sila yang pertama, yaitu Ketuhanan Yang
Maha Esa. Islam dan Pancasila tidak bertentangan, bahkan semua sila-sila itu
terdapat dalam ajaran Islam. Karena itu setiap muslim dapat menerima dan mudah
pula melaksanakannya. Melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari, baik secara
pribadi maupun secara kolektif, dapat dikatakan telah menunaikan sebagian dari
ajaran-ajaran Islam.
ajaran-ajaran Islam.
Maka mudah dimengerti bahwa Pancasila akan terjamin pelaksanaan dan
realisasinya apabila ia dalam pangkuan dan asuhan Islam. Islam mengajarkan
bahwa kepercayaan atau iman seseorang haruslah dibuktikan dengan jalan
melaksanakan penyembahan (ibadah) dan mentaati segala hukum-hukum Tuhan
(syari’ah) yang telah digariskan lewat wahyu-wahyuNya yang diturunkannya kepada
Rasulullah SAW. Maka pelaksanaan ibadah dan syari’ah adalah manifestasi dari
iman seseorang. Kemudian konsep kepercayaan dengan segala perintah dan larangan
Tuhan hanya mungkin ditemukan dalam agama. Sebab itu realisasi yang benar dari
Ketuhanan Yang Maha Esa ialah melakukan ibadah sesuai dengan yang dikehendaki
oleh Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri. Logika itulah yang memberi keyakinan
bahwa realisasi Pancasila ialah dengan adanya kewajiban beragama dan beribadah
di Indonesia.
Doktrin Tauhid bagi kehidupan manusia, menjadi sumber kehidupan jiwa
dan pendidikan kemanusiaan yang tinggi. Tauhid akan mendidik jiwa manusia untuk mengikhlaskan seluruh hidup dan kehidupannya kepada Allah semata. Tujuan hidupnya ialah Allah dan harapan yang dikejarnya ialah keridhaan Allah (mardhatillah). Hal ini membawa konsekuensi pada pembinaan karakter yang agung, menjadi manusia yang suci, jujur dan teguh memegang amanah.
dan pendidikan kemanusiaan yang tinggi. Tauhid akan mendidik jiwa manusia untuk mengikhlaskan seluruh hidup dan kehidupannya kepada Allah semata. Tujuan hidupnya ialah Allah dan harapan yang dikejarnya ialah keridhaan Allah (mardhatillah). Hal ini membawa konsekuensi pada pembinaan karakter yang agung, menjadi manusia yang suci, jujur dan teguh memegang amanah.
Rumusan Masalah
Ada beberapa hal yang akan dikaji dalam makalah ini. Hal itu meliputi
pengertian nilai, kepercayaan, dasar-dasar kepercayaan, kajian tentang Tuhan
dengan pendekatan ontologi, metafisika, dan sebagainya. Namun, secara garis
besar kami rumuskan dalam dua hal.
Apa pengertian nilai dan kepercayaan?
Bagaimana dasar-dasar kepercayaan pada Tuhan dari sudut pandang ontologi
dan metafisika?
BAB II
PEMBAHASAN
Nilai dan Kepercayaan
Pengertian Nilai
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nilai diartikan dalam beberapa
hal. Pertama, nilai adalah harga dalam arti taksiran harga. Kedua, sifat-sifat
(hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Ketiga, nilai adalah
sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya. (Poerwadarminta; 1976).
Nilai dalam bahasa Inggris disebut value berarti harga,
penghargaan, atau tafsiran. Artinya, harga atau penghargaan yang melekat pada
sebuah objek. Objek yang dimaksud adalah berbentuk benda, barang, keadaan,
perbuatan, atau perilaku. Nilai adalah sesuatu yang abstrak, bukan konkret.
Nilai hanya bisa dipikirkan, dipahami, dan dihayati. Nilai juga berkaitan
dengan cita-cita, harapan, keyakinan, dan hal-hal yang bersifat batiniah.
Menilai berati menimbang, yaitu kegiatan manusia yang menghubungkan sesuatu
dengan sesuatu yang lain untuk mengambil suatu keputusan.
Sifat-sifat nilai adalah sebagai berikut:
Nilai itu suatu realitas abstrak dan ada dalam kehidupan manusia.
Nilai memiliki sifat normatif, artinya nilai mengandung harapan,
cita-cita, dan suatu keharusan sehingga nilai memiliki sifat ideal (das
sollen).
Nilai berfungsi sebagai daya dorong/motivator dan manusia adalah
pendukung nilai.
Sedangkan menurut penulis, nilai adalah sesuatu yang tidak bisa diukur
oleh akal dan pikiran manusia. Maka dari itu, nilai itu sangat abstrak dan
tidak bisa dilogika dengan alat ukur manusia. Misalnya, mencintai Tuhan, hal
ini sangat abstrak dan tidak bisa diukur oleh akal pikiran manusia. Nilai itu
tidak terbatas ruang, waktu, dan kadarnya. Maka dari itu, sesungguhnya jika
manusia bertuhan harus meluangkan seluruh waktu, kesempatan, dan pengabdiannya
tanpa melihat ruang dan waktu. Artinya, di mana saja, manusia beragama harus
berbuat baik sebagai sarana mendekatkan diri pada Tuhan.
Pengertian Kepercayaan
Secara bahasa, percaya adalah mengakui atau meyakini bahwa sesuatu
memang benar atau nyata. Percaya juga bisa diartikan menganggap atau yakin
bahwa sesuatu itu benar-benar ada. (Poerwadarminta; 1976). Misalnya, percaya kepada Tuhan, malaikat,
setan, surga, neraka, pahala, dosa, atau kepada barang ghaib.
Sedangkan kepercayaan adalah anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yang
dipercayai itu benar, ada atau nyata. Kepercayaan adalah sesuatu yang
dipercayai. Kepercayaan juga bisa disebut dengan sebutan bagi sistem religi di
Indonesia yang tidak termasuk salah satu dari kelima agama yang resmi.
Misalnya, kepercayaan pada makhluk ghaib, kekuatan roh halus, magis, dan
sebagainya.
Manusia memerlukan suatu
bentuk kepercayaan. Kepercayaan itu akan melahirkan tata nilai guna menopang
hidup dan budayanya. Sikap tanpa percaya atau ragu yang sempurna tidak mungkin
dapat terjadi. Tetapi selain kepercayaan itu dianut karena kebutuhan dalam
waktu yang sama juga harus merupakan kebenaran. Demikian pula cara
berkepercayaan harus pula benar. Menganut kepercayaan yang salah bukan saja
tidak dikehendaki akan tetapi bahkan berbahaya.
Disebabkan kepercayaan
itu diperlukan, maka dalam kenyataan kita temui bentuk-bentuk kepercayaan yang
beraneka ragam di kalangan masyarakat. Karena bentuk- bentuk kepercayaan itu
berbeda satu dengan yang lain, maka sudah tentu ada dua kemungkinan: kesemuanya
itu salah atau salah satu saja diantaranya yang benar. Di samping itu masing-masing bentuk kepercayaan
mungkin mengandung unsur-unsur kebenaran dan kepalsuan yang campur baur.
Sekalipun demikian,
kenyataan menunjukkan bahwa kepercayaan itu melahirkan nilai-nilai. Nilai-nilai
itu kemudian melembaga dalam tradis-tradisi yang diwariskan turun temurun dan
mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Karena kecenderungan tradisi
untuk tetap mempertahankan diri terhadap kemungkinan perubahan nilai-nilai,
maka dalam kenyataan ikatan-ikatan tradisi sering menjadi penghambat
perkembangan peradaban dan kemajuan manusia. Di sinilah terdapat kontradiksi
kepercayaan diperlukan sebagai sumber tatanilai guna menopang peradaban
manusia, tetapi nilai-nilai itu melembaga dalam tradisi yang membeku dan
mengikat, maka justru merugikan peradaban. (Jalaluddin Rakhmat; 1991).
Oleh karena itu, pada
dasarnya, guna perkembangan peradaban dan kemajuannya, manusia harus selalu
bersedia meninggalkan setiap bentuk kepercayaan dan tata nilai yang
tradisional, dan menganut kepercayaan yang sungguh-sungguh yang merupakan
kebenaran. Maka satu-satunya sumber nilai sumber dan pangkal nilai itu haruslah
kebenaran itu sendiri. Kebenaran merupakan asal dan tujuan segala kenyataan.
Kebenaran yang mutlak adalah Tuhan Allah.
Perumusan kalimat
persaksian (Syahadat) Islam yang kesatu : Tiada Tuhan selain Allah mengandung
gabungan antara peniadaan dan pengecualian. Perkataan “Tidak ada Tuhan”
meniadakan segala bentuk kepercayaan, sedangkan perkataan “Selain Allah”
memperkecualikan satu kepercayaan kepada kebenaran. Dengan peniadaan itu
dimaksudkan agar manusia membebaskan dirinya dari belenggu segenap kepercayaan
yang ada dengan segala akibatnya, dan dengan pengecualian itu dimaksudkan agar
manusia hanya tunduk pada ukuran kebenaran dalam menetapkan dan memilih nilai-nilai, itu berarti tunduk pada Allah,
Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta segala yang ada termasuk manusia. Tunduk dan
pasrah itu disebut Islam.
Tuhan itu ada, dan ada
secara mutlak hanyalah Tuhan. Pendekatan ke arah pengetahuan akan adanya Tuhan
dapat ditempuh manusia dengan berbagai jalan, baik yang bersifat intuitif,
ilmiah, historis, pengalaman dan lain-lain. Tetapi karena kemutlakan Tuhan dan
kenisbian manusia, maka manusia tidak dapat menjangkau sendiri kepada
pengertian akan hakekat Tuhan yang sebenarnya. Namun demi kelengkapan
kepercayaan kepada Tuhan, manusia memerlukan pengetahuan secukupnya tentang
Ketuhanan dan tatanilai yang bersumber kepada-Nya. Oleh sebab itu diperlukan
sesuatu yang lain yang lebih tinggi namun tidak bertentangan denga insting dan
indera. (Nurcholish Madjid; 1995).
Sesuatu yang diperlukan
itu adalah “Wahyu” yaitu pengajaran atau pemberitahuan yang langsung dari Tuhan
sendiri kepada manusia. Tetapi sebagaimana kemampuan menerima pengetahuan
sampai ketingkat yang tertinggi tidak dimiliki oleh setiap orang, demikian juga
wahyu tidak diberikan kepada setiap orang. Wahyu itu diberikan kepada manusia
tertentu yang memenuhi syarat dan dipilih oleh Tuhan sendiri yaitu para Nabi
dan Rosul atau utusan Tuhan. Dengan kewajiban para Rasul itu untuk menyampaikannya kepada seluruh
ummat manusia. Para rasul
dan nabi itu telah lewat dalam sejarah semenjak Adam, Nuh, Ibrahim, Musa,Isa
atau Yesus anak Mariam sampai pada Muhammad SAW. Muhammad adalah Rasul penghabisan, jadi tiada Rasul lagi sesudahnya. Jadi para Nabi dan
Rasul itu adalah manusia
biasa dengan kelebihan bahwa mereka menerima wahyu dari Tuhan.
Wahyu Tuhan yang
diberikan kepada Muhammad SAW terkumpul seluruhnya dalam kitab suci Al-Quran.
Selain berarti bacaan, kata Al-Quran juga bearti “kumpulan” atau kompilasi,
yaitu kompilasi dari segala keterangan. Sekalipun garis-garis besar Al-Quran
merupakan suatu kompendium, yang singkat namun mengandung keterangan-keterangan
tentang segala sesuatu sejak dari sekitar alam dan manusia sampai kepada hal-hal
gaib yang tidak mungkin diketahui manusia dengan cara lain. Jadi untuk memahami
Ketuhanan Yang Maha Esa dan ajaran-ajaran-Nya, manusia harus berpegang kepada
Al-Quran dengan terlebih dahulu mempercayai kerasulan Muhammmad SAW.
Maka kalimat kesaksian
yang kedua memuat esensi kedua dari kepercayaan yang harus dianut manusia,
yaitu bahwa Muhammad adalah Rosul Allah. Kemudian di dalam Al-Quran didapat
keterangan lebih lanjut tentang Ketuhanan Yang maha Esa ajaran-ajaranNya yang
merupakan garis besar dan jalan hidup yang mesti diikuti oleh manusia. Tentang
Tuhan antara lain: surat Al-Ikhlas menerangkan secara singkat ; katakanlah :
“Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa. Dia itu adalah Tuhan. Tuhan tempat menaruh
segala harapan. Tiada Ia berputra dan tiada pula berbapa. Selanjutnya Ia adalah
Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Kasih dan Maha
Sayang, Maha Pengampun dan seterusnya daripada segala sifat kesempurnaan yang
selayaknya bagi Yang Maha Agung dan Maha Mulia, Tuhan seru sekalian Alam.
Juga diterangkan bahwa
Tuhan adalah yang pertama dan yang penghabisan, Yang lahir dan Yang Bathin, dan
“kemanapun manusia berpaling maka di sanalah wajah Tuhan”. Dan “Dia itu bersama kamu
kemanapun kamu berada”. Jadi Tuhan tidak terikat ruang dan waktu. Sebagai “yang
pertama dan yang penghabisan”, maka sekaligus Tuhan adalah asal dan tujuan
segala yang ada, termasuk tata nilai. Artinya ; sebagaimana tata nilai harus
bersumber kepada kebenaran dan berdasarkan kecintaan kepadaNya, Iapun sekaligus
menuju kepada kebenaran dan mengarah kepada “persetujuan” atau “ridhanya “.
Inilah kesatuan antara asal dan tujuan hidup yang sebenarnya (Tuhan sebagai
tujuan hidup yang benar, diterangkan dalam bagian yang lain).
Tuhan menciptakan alam
raya ini dengan sebenarnya, dan mengaturnya dengan pasti. Oleh karena itu alam
mempunyai eksistensi yang riil dan obyektif, serta berjalan mengikuti
hukum-hukum yang tetap. Dan sebagai ciptaan daripada sebaik-baiknya
penciptanya, maka alam mengandung kebaikan pada diriNya dan teratur secara
harmonis. Nilai ciptaan ini untuk manusia bagi keperluan perkembangan
peradabannya. Maka alam dapat dan dijadikan obyek penyelidikan guna dimengerti
hukum-hukum Tuhan (sunnatullah) yang berlaku di dalamnya. Kemudian manusia memanfaatkan
alam sesuai dengan hukum-hukumnya sendiri.
Jika kenyataan alam ini
berbeda dengan persangkaan idealisme maupun agama Hindu yang mengatakan bahwa
alam tidak mempunyai eksistensi riil dan obyektif, melainkan semua palsu atau
maya atau sekedar emansipasi atau pancaran daripada dunia lain yang kongkrit,
yaitu idea atau nirwana. Juga tidak seperti dikatakan filsafat Agnosticisme
yang mengatakan bahwa alam tidak mungkin dimengerti manusia. Dan sekalipun
filsafat materialisme mengatakan bahwa alam ini mempunyai eksistensi riil dan
obyektif sehingga dapat dimengerti oleh manusia, namun filsafat itu mengatakan
bahwa alam ada dengan sendirinya. Peniadaan pencipta ataupun peniadaan Tuhan
adalah satu sudut daripada filsafat materialisme.
Manusia adalah puncak
ciptaan dan mahluk-Nya yang tertinggi. Sebagai mahluk tertinggi manusia
dijadikan “Khalifah” atau wakil Tuhan di bumi. Manusia ditumbuhkan dari bumi
dan diserahi untuk memakmurkannya. Maka urusan di dunia telah diserahkan Tuhan
kepada manusia. Manusia sepenuhnya bertanggungjawab atas segala perbuatannya di
dunia. Perbuatan manusia ini membentuk rentetan peristiwa yang disebut
“sejarah”. Dunia adalah wadah bagi sejarah, dimana manusia menjadi pemilik atau
“rajanya”.
Sebenarnya terdapat
hukum-hukum Tuhan yang pasti (sunattullah) yang menguasai sejarah,
sebagaimana adanya hukum yang menguasai alam tetapi berbeda dengan alam yang
telah ada secara otomatis tunduk kepada sunatullah itu, manusia karena
kesadaran dan kemampuannya untuk mengadakan pilihan untuk tidak terlalu tunduk
kepada hukum-hukum kehidupannya sendiri. Ketidakpatuhan itu disebabkan karena
sikap menentang atau kebodohan. Hukum dasar alami daripada segala yang ada
inilah “perubahan dan perkembangan”, sebab segala sesuatu ini adalah ciptaan
Tuhan dan pengembangan olehNya dalam suatu proses yang tiada henti-hentinya.
Segala sesuatu ini adalah berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan.
Maka satu-satunya yang
tak mengenal perubahan hanyalah Tuhan sendiri, asal dan tujuan segala sesuatu.
Di dalam memenuhi tugas sejarah, manusia harus berbuat sejalan dengan arus
perkembangan itu menunju kepada kebenaran. Hal itu berarti bahwa manusia harus
selalu berorientasi kepada kebenaran, dan untuk itu harus mengetahui jalan menuju kebenaran
itu. Dia tidak mesti selalu mewarisi begitu saja nilai-nilai tradisional yang
tidak diketahuinya dengan pasti akan kebenarannya.
Oleh karena itu kehidupan
yang baik adalah yang disemangati oleh iman dan ilmu. Bidang iman dan
pencabangannya menjadi wewenang wahyu sedangkan bidang ilmu pengetahuan menjadi
wewenang manusia untuk mengusahakan dan mengumpulkannya dalam kehidupan dunia
ini. Ilmu itu meliputi tentang alam dan tentang manusia (sejarah). Untuk
memperoleh ilmu pengetahuan tentang nilai kebenaran sejauh mungkin, manusia
harus melihat alam dan kehidupan ini sebagaimana adanya tanpa melekatkan
padanya kualitas-kualitas yang bersifat ketuhanan. Sebab sebagaimana
diterangkan dimuka, alam diciptakan dengan wujud yang nyata dan objektif sebagaimana
adanya. Alam tidak menyerupai Tuhan, dan Tuhan pun untuk sebagian atau
seluruhnya tidak sama dengan alam. Sikap memper-Tuhan-kan atau mensucikan
(sakralisasi) haruslah ditujukan kepada Tuhan sendiri. Tuhan Allah Yang Maha
Esa.
Ini disebut “Tauhid” dan
lawannya disebut “syirik” artinya mengadakan tandingan terhadap Tuhan, baik
seluruhnya atau sebagian maka jelasnya bahwa syirik menghalangi perkembangan
dan kemajuan peradaban, kemanusiaan menuju kebenaran.
Sesudahnya atau kehidupan
duniawi ini ialah “hari kiamat”. Kiamat merupakan permulaan bentuk kehidupan
yang tidak lagi bersifat sejarah atau duniawi, yaitu kehidupan akhirat. Kiamat
disebut juga “hari agama”, atau yaumuddin, dimana Tuhan menjadi satu-satunya
pemilik dan raja. Tidak
lagi terdapat kehidupan historis, seperti kebebasan, usaha dan tata masyarakat.
Tetapi yang ada adalah pertanggunggan jawab individu manusia yang bersifat
mutlak dihadapan illahi atas segala perbuatannya dahulu didalam sejarah.
Selanjutnya kiamat
merupakan “hari agama”, maka tidak yang mungkin kita ketahui selain daripada
yang diterangkan dalam wahyu. Tentang hari kiamat dan kelanjutannya/kehidupan
akhirat yang non-historis manusia hanya diharuskan percaya tanpa kemungkinan
mengetahui kejadian-kejadiannya.
Dasar-Dasar Kepercayaan Terhadap Tuhan
Manusia adalah mahkluk percaya. Pada kadarnya
masing-masing, setiap mahluk telah memiliki kepercayaan/kesadaran berupa
prinsip-prinsip dasar yang rasional.
Diketahui secara intuitif (common
sense) yang menjadi kepercayaan
utama makhluk sebelum ia merespon segala sesuatu diluar dirinya. Dengan bekal
ini, manusia memiliki potensi untuk mengetahui dan mempercayai
pengetahuan-pengetahuan baru melalui aktivitas berpikir. Berpikir adalah
aktivitas khas manusia dalam upaya memecahkan masalah-masalah dengan modal
prinsip-prinsip pengetahuan sebelumnya. Memiliki sebuah kepercayaan yang benar,
yang selanjutnya melahirkan tata nilai, adalah sebuah kemestian bagi perjalanan
hidup manusia. Pada
hakikatnya, perilaku manusia yang tidak peduli untuk benarnya
kepercayaan dan manusia yang memiliki kepercayaan salah atau dengan cara yang
salah tidak akan mengiringnya pada kesempurnaan. Maka mereka tidak ubahnya
seperti binatang. Manusia harus menelaah secara objektif sendi-sendi
kepercayaan dengan segala potensi yang dimilikinya. Kajian yang mendalam
tentang kepercayaan sebagai sebuah konsep teoretis akan melahirkan sebuah kesadaran bahwa
manusia adalah wujud yang
mempunyai hasrat dan cita-cita untuk menggapai kebenaran dan kesempurnaan
mutlak, bukan nisbi. Artinya, ia mencari zat yang Maha tinggi dan Maha sempurna (Al-Haqq).
Berbagai macam pandangan
yang menjelaskan tentang ketiadaan kebenaran dan kesempurnaan mutlak (zat yang maha sempurna) tersebut
sehingga mereka menganggap bahwa alam ini terjadi dengan sendirinya (kebetulan)
tidak ada yang mengadakannya. Metafisika Islam dengan prima prinsipnya sebagai prinsip dasar dalam berpikir
mampu menyelesaikan perdebatan itu dengan penjelasan kemutlakan wujud(ada)nya. Wujud adalah
sesuatu yang jelas keberadaannya dan unggal karena selain keberadaan adalah
ketiadaan sehingga apabila ada sesuatu selain ada maka itu adalah ketiadaan dan itu sesuatu yang
mustahil karena ketiadaan tidak memiliki keberadaan. Manusia yang terbatas
tidak sempurna, memerlukan
sebuah sistem nilai yang sempurna dan tidak terbatas sebagai sandaran dan
pedoman hidupnya. Sistem nilai tersebut harus berasal dari keadaan (Zat yang Maha Sempurna) yang segala atributnya berbeda dengan
mahluk. Konsekuensi akan kebutuhan asasi manusia pada sosok Mahasempurna ini
menegaskan bahwa sesuatu itu harus dapat dijelaskan oleh
argumentasi-argumentasi rasional, terbuka, dan tidak doktriner. Sehingga, semua
lapisan intelektual manusia tidak ada yang sanggup menolak eksistensi-Nya.
Sekalipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa Sang Maha sempurna itu diklaim oleh berbagai
lembaga kepercayaan (agama) di dunia ini dengan berbagai konsep, istilah dan
bentuk. Simbol-simbol agama yang berbeda satu sama lain tersebut menyiratkan
secara tersurat beberapa kemungkinan: semua agama itu benar; semua agama itu
salah; atau, hanya ada satu agama yang benar.
Agama-agama yang berbeda
mustahil memiliki sosok Maha sempurna yang sama, walau memiliki kesamaan
etimologis. Sebab, bila sosok tersebut sama, maka agama-agama itu identik.
Namun, kenyataan sosiologis menyebutkan adanya perbedaan pada masing-masing
agama. Demikian pula, menilai semua agama itu salah adalah mustahil, sebab
bertentangan dengan prinsip kebergantungan manusia pada sesuatu yang maha sempurna
(Al-Haqq/Tuhan). Maka dapatlah disimpulkan bahwa hanya satu agama saja yang
benar. Dengan argumentasi di atas, manusia diantarkan pada konsekuensi memilih dan mengikuti agama yang
telah terbukti secara argumentatif.
Diantara berbagai dalil
yang dapat diajukan, membicarakan keberadaan Tuhan adalah hal yang paling
prinsipil. Keberadaan dan perbedaan agama satu dengan yang lainnya ditentukan
oleh sosok “Tuhan“ tersebut. Ciri-ciri keberadaan Tuhan (pencipta/khaliq). Bertolak belakang dengan
ciri-ciri khas manusia (yang
diciptakan/ makhluq). Bila manusia adalah wujud tidak sempurna, bermateri, tersusun,
terbatas, terindera, dan bergantung, maka Tuhan adalah zat yang maha sempurna, immateri, tidak tersusun,
sederhana, tidak terdiri dari bagian, tidak terindera secara material, dan
tunggal (Esa/Ahad). Dengan demikian diketahui bahwa manusia dapat mengetahui
ciri-ciri umum Tuhan, namun mustahil dapat mengetahui materi Zat-Nya. Manusia
mengklaim dapat menjangkau zat Tuhan, sesungguhnya telah membatasi Tuhan dengan
Rasionya (reason). Segala sesuatu yang terbatas, pasti bukan Tuhan. Ketika
manusia menyebut “Dia Mahabesar“.
Sesungguhnya ia lebih
besar dari seluruh konsepsi manusia tentang kebesaran-Nya. Berdasarkan hal
tersebut, potensialitas akal (intelect) manusia dalam mengungkap hakikat zat-Nya menyiratkan bahwa pada
dasarnya seluruh makhluk diciptakan oleh-Nya sebagai manifestasi diri-Nya (inna
lillahi) yang kemudian akan kembali kepada-Nya (wa inna ilaihi raji’un) sebagai
realisasi kerinduan manusia akan keabadian kesempurnaaan, kebahagiaan mutlak.
Keinginan untuk merefleksikan ungkapan terima kasih dan beribadah kepada Tuhan
Yang Maha Esa menimbulkan
kesadaran bahwa Tuhan Yang
Maha Adil mesti membimbing
umat manusia tentang cara yang benar dan pasti dalam berhubungan dengan-Nya.
Pembimbing Tuhan kepada
setiap makhluk berjalan
sesuai kadar potensialitasnya dalam suatu cara perwujudan yang suprarasional
(wahyu) diberikan khusus kepada hamba-hamba-Nya yang memiliki ketinggian
spritual. Relasi konseptual tentang ke-Maha bijaksana-an Tuhan untuk membimbing
makhluk secara terus menerus dan kebutuhan abadi makhluk akan bimbingan
memestikan kehadiran sosok pembimbing yang membawa risalah-Nya (rasul), yang
merupakan hak prerogatif-Nya. Rasul adalah cerminan Tuhan di dunia. Kepatuhan
dan kecintaan makhluk kepada mereka adalah niscaya.
Pengingkaran kepada
mereka identik dengan pengingkaran kepada Tuhan. Bukti kebenaran rasul untuk
manusia ditunjukkan pula oleh kejadian-kejadian kasat mata (empiris) luar biasa
(mu’jizat bagi orang-orang awwam) maupun bukti-bukti rasional(mu’jizat bagi
para intelektual) yang mustahil dapat dilakukan oleh manusia lain tanpa dipelajari.
Pemberian tanda istimewa kepada rasul akan semakin menambah keimanan seseorang.
Mu’jizat juga sebagai bukti tambahan bagi siapa saja yang tidak mau beriman
kepada Tuhan dan pesuruh-Nya, kecuali bila diperlihatkan kepadanya hal-hal yang
luar biasa.
Kepatuhan dan keyakinan
manusia kepada rasul melahirkan sikap percaya terhadap apa pun yang dikatakan
dan diperintahkannya. Keyakinan tentang kitab suci (bacaan atau kumpulan firman
Tuhan, disebut Al-quran) yang dibawanya adalah konsekuensi lanjutan. Di dalam kitab
suci terdapat keterangan-keterangan tentang segala sesuatu sejak dari alam
sekitar dan manusia, sampai kepada hal-hal gaib yang tidak mungkin dapat
diterima oleh pandangan saintifik dan empiris manusia.
Konsepsi fitrah dan
‘rasio’ tentang Realitas Mutlak (Tuhan) di atas ternyata selaras dengan konsep
teoritis tentang Tuhan dalam ajaran-ajaran Muhammad yang mengaku rasul Tuhan
yang disembah selama ini. Muhammad mengajarkan kalimat persaksian/keimanan
(syahadatan) bahwa tidak ada (la) Tuhan (ilah) yang benar kecuali (illa) Tuhan
yang merupakan kebenaran Tunggal/Esa/Ahad (Allah, dari al-ilah). Ia (Muhammad)
juga menerangkan bahwa dialah rasul Allah (rasulullah). Menurut agama yang
mengajarkan ketundukan dan kepatuhan pada kebenaran (Islam) pada ummatnya ini
(muslim).
Proses pencarian
kebenaran dapat ditempuh dengan berbagai jalan, baik filosofis, intuitif,
ilmiah, historis, dan lain-lain dengan memperhatikan ayat-ayat Tuhan yang
terdapat di dalam Kitab suci maupun di alam ini. Konsekuensi lanjut setelah manusia melakukan
pencarian ketuhanan dan kerasulan adalah kecendrungan fitrah dan kesadaran
rasionalnya untuk meraih kebahagiaan. Keabadian, dan kesempurnaan. ketidak
mungkinan mewujudkan keinginan-keinginan ideal tersebut didalam kehidupan dunia
yang bersifat temporal ini melahirkan konsep tentang keberadaan hari akhirat yang
sebelumnya dimulai dengan terjadinya kehancuran alam secara besar-besaran
(qiyamah/ kiamat/ hari agama/yaum al-din) sebagai konsekuensi logis
keadilan Tuhan.
Kiamat merupakan
permulaan bentuk kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah atau duniawi. Di sana tidak ada
lagi kehidupan historis seperti kebebasan, usaha dan tata masyarakat yang
menimbulkan ganjaran dosa/pahala. Kehidupan akhirat merupakan refleksi perbuatan
berlandaskan iman, ilmu, dan amal selama di dunia. Dengan kata lain, ganjaran
di akhirat adalah kondisi objektif dari relasi manusia terhadap Tuhan dan alam.
Pandangan Filsuf tentang Tuhan
Dalam perjalanan sejarah umat manusia, tema yang sering dan acapkali
menjadi obrolan dan perbincangan adalah perbincangan tentang Tuhan dengan
pelbagai pendekatan dan metodologi. Di setiap masa dan tempat, semenjak kaum
awam hingga kaum cerdik pandai (baca: filosof), masyarakat dari berbagai strata
-dengan ragam ekspresi- bertutur ihwal Sang Pencipta. Perbincangan ini tidak
pernah sepi dan hening dari kehidupan manusia. Fitrah yang bersemayam dalam
lubuk hati manusia senantiasa terketuk dan berdenyut untuk membahas dan
membincangkan argumen (burhan) dalam membuktikan wujud
dan eksistensi Tuhan. Pemikiran-pemikiran beradu dan berpadu. Para filosof
silih berganti muncul untuk mengubah pandangan manusia. Semua itu melukiskan
kembara tiada ujung ide manusia ihwal Tuhan. Terbentang dari filosof belahan
dunia Barat hingga Timur, berupaya menyuguhkan argumen paling rasional dalam
membuktikan wujud Tuhan. Dalam tulisan ini, yang akan dibagi menjadi dua
bagian, akan kita bahas gagasan dan tuturan yang disajikan oleh filosof-filosof
semisal Socrates, Plato, Aristoteles, Santo Thomas Aquinas, Santo Anselm,
Leibniz, Rene Descartes, Spinoza, Immanuel Kant yang merupakan filosof-filosof
unggul dunia Barat.
Socrates
Socrates (380-450 SM), filosof
Yunani, yang secara mendalam mempengaruhi filsafat Barat lewat pengaruhnya
terhadap Plato. Tuhan dalam pandangan Socrates
-sebagaimana manusia- memiliki kekuatan berpikir. Artinya bahwa dalam tatanan
semesta juga terdapat kekuatan sedemikian. Khususnya kita lihat bahwa alam
semesta ini memiliki tatanan dan sistemik, dan bukan tanpa tatanan dan
non-sistemik. Socrates
menegaskan bahwa setiap perkara itu memiliki tujuan, dan dzat Tuhan adalah
tujuan keberadaan alam semesta ini. Oleh karena itu, alam semesta ini pastilah
tidak bersumber dari perkara aksidental dan sebuah benturan (big
bang). Lantaran alam semesta ini memiliki aturan, maka urusan
mondial dan duniawi juga memiliki aturan-aturan natural, dimana manusia harus
menjalankan aturan-aturan tersebut. Atas alasan ini, Socrates -dalam ranah
politik- tidak berkeyakinan bahwa politik itu harus keras dan koersif. Dengan
kata lain, bahwa politik itu juga bersandar pada hikmat dan kebijaksanaan. (Seir
Hikmat dar Urupa, hal)
Plato
Plato (428/427-348/347 SM) yang merupakan murid jenius Socrates
-sedemikian jeniusnya sehingga terkadang apabila Plato datang ke Academia
Socrates, sang guru berkata “Sang akal telah datang”- merupakan filosof
kawakan yang ajarannya banyak dijadikan sebagai landasan filosofis
filosof-filosof Barat. Para pengikutnya ini biasanya disebut sebagai Platonis.
Ajaran Plato tentang Tuhan kebanyakan disampaikan dalam terma-terma
mistis, yang menegaskan kebaikan Tuhan (sebagaimana dalam Republic
dan Timaeus)
dan kebaikannya kepada manusia (sebagaimana dalam Phaedo); Tetapi dalam Phaedrus,
dan lebih jelasnya dalam Laws,
ia menghadirkan sebuah argumen yang lebih rigoris yang berdasarkan kenyataan
bahwa segala sesuatu itu berubah (change) dan bergerak (in
motion). Segala yang berubah itu tidak selamanya bersumber dari
luar (eksternal), sebagian dari perubahan tersebut bersifat spontan dan
bersumber dari “jiwa”. Dan akhirnya berujung pada sebuah jiwa yang suprim dan
paripurna. (Britannica Encylopaedia,
2006)Dalam
Timaeus, sebagaimana dinukil dalam kitab Faidh
wa Fâ’iiliyyat Wujudi Az Aflatun tâ Mulla Shadra, penciptaan alam
semesta dan pengerangka kosmos dinisbahkan kepada demiurege (shâne’,
pencipta) yang mewujudkan kosmos ini dari keadaan yang tak tertata dan
non-sistemik, menjadi sebuah kosmos yang tertata dan sistemik. Dalam perkara
ini, mundus
imaginalis (alam ide) dapat dijadikan sebagai satu contoh dan
setelah mencipta alam ide, Tuhan mengadakan jiwa universal.
Aristoteles
Aristoteles (384-322 SM), filosof
dan ilmuwan ternama Yunani. Dalam Metafisika-nya, Aristoteles
berargumentasi dalam menetapkan keberadaan satu wujud Ilahiah, yang dijelaskan
sebagai Prime Mover (penggerak agung), yang bertanggung jawab bagi
kesatuan dan kebertujuan alam semesta. Tuhan merupakan sosok paripurna. Oleh
karena itu, Dia merupakan aspirasi segala sesuatu di kosmos ini, lantaran
segala sesuatu berhasrat untuk berbagi kesempurnaan. Di alam kosmos ini
terdapat penggerak-penggerak yang lain - penggerak-penggerak cerdas dari
planet-planet dan bintang-bintang (Aristoteles menyangka bahwa jumlah dari
penggerak cerdas ini adalah “55 atau 47”). Kendati Penggerak Agung (The
Prime Mover), atau Tuhan, yang dijelaskan oleh Aristoteles tidak
cukup sesuai dengan tujuan-tujuan religius. Betapapun, Aristoteles membatasi
“teologinya” pada apa yang ia percayai sesuai dengan tuntutan ilmiah dan dapat
dibuktikan secara ilmiah.
St. Anselm
Santo Anselm (1033-1109), teolog, filosof, dan pemimpin gereja,
mengajukan sebuah argumen untuk menetapkan keberadaan Tuhan yang hingga saat
ini masih diperdebatkan. Santo Anselm menyusun Monologium (Soliloquy, 1077) yang
di dalamnya merefleksikan pengaruh Santo Augustine yang menyatakan bahwa Tuhan
merupakan wujud tertinggi dan mengurai sifat-sifat Tuhan. Pada tahun 1078, ia
melanjutkan proyeknya mencari pemahaman tentang iman. Dia menyelesaikan Proslogium
(Discourse), yang pasal keduanya menghadirkan the original statement yang menjadi
popular sebagai ontological argument pada abad
ke-18. Santo Anselm berargumen bahwa bahkan mereka yang meragukan eksistensi
Tuhan akan memiliki pengertian atas apa yang mereka ragukan: yaitu mereka akan
memahami bahwa Tuhan adalah satu wujud yang tidak ada wujud yang lebih besar
dari-Nya. Anselm berkata bahwa seluruh eksistensi, kurang-lebihnya senantiasa
akan berhadapan dengan kesempurnaan. Oleh karena itu, konsepsi yang
menggambarkan adanya sebuah realitas dimana tidak ada lagi realitas lebih
sempurna darinya yang mampu digambarkan, adalah sebuah konsepsi yang logis.
Jika realitas yang didefinisikan ini adalah wujud Tuhan, berarti Tuhan harus
riil. Karena apabila Tuhan hanya merupakan gambaran dan realitasnya hanya
berada dalam pikiran, berarti masih bisa digambarkan adanya realitas lain yang
lebih sempurna darinya, yaitu eksistensi yang betul-betul wujud. Dan ini
berarti terjadi kontradiksi. Oleh karena itu dan berdasarkan perhitungan
logika, maka mau tidak mau harus diterima bahwa realitas dan eksistensi
yang kesempurnaannya mutlak betul-betul ada, dengan demikian maka Tuhan
ada”.
(Mabani wa Tarikh-e Falsafeh-ye Gharbi, hal. 125) Anselm
sepakat bahwa setiap orang yang memahami apa maksud lafadz-lafadz Tuhan atau
maujud transendental, maka dia akan menemukan bahwa eksistensi semacam ini
harus riil dan ada. Tuhan adalah sebuah realitas dimana tidak ada lagi realitas
lain yang lebih besar darinya yang bisa digambarkan. Dan karena aku bisa
memahami definisi ini maka aku bisa menggambarkannya. Lebih dari itu aku bisa
menggambarkan Tuhan sehingga tidak saja dia merupakan sebuah persepsi dalam
pikiranku, melainkan juga sebagai sebuah eksistensi dalam realitas, yaitu ada
secara mandiri dari persepsi dan pikiranku.Setelah diketahui bahwa keberwujudan
sebagai sebuah persepsi dan juga sebagai sebuah realitas lebih besar dari
keberwujudan yang hanya sebagai sebuah konsepsi (tashawwur, gambaran dalam benak),
maka berarti Tuhan harus riil dalam hakikat dan juga riil dalam konsepsi.
Berdasarkan definisi ini, maka Tuhan adalah sebuah realitas wujud dimana
realitas lain yang lebih besar darinya tidak bisa lagi digambarkan. Oleh karena
itu, Tuhan harus ada dalam realitas. Jika tidak, maka sesuatu yang lebih besar
dari Tuhan masih bisa digambarkan (yaitu sebuah eksistensi yang selain
mempunyai semua sifat-sifat Tuhan juga mempunyai keberadaaan yang riil. Dan ini
mungkin melalui definisi Tuhan tersebut atau melalui wujud yang superior dan
sempurna”. (Kulliyat-e Falsafeh, hal.
238)
Thomas Aquinas
Santo Thomas Aquinas (1225-1274), yang terkadang dipanggil sebagai
Doktor Angelic dan Pangeran Skolastik, adalah seorang filosof dan teolog
berkebangsaan Italia. Dengan karya-karyanya, ia menjadi figure yang paling
penting dalam filsafat Skolastik dan seorang teolog Roman Katolik yang unggul.
Aquinas beranggapan bahwa seluruh burhan (argumen) untuk
membuktikan eksistensi Tuhan adalah burhan apriori (inni).
Lantaran ia percaya bahwa tiada satupun yang dapat menduduki posisi sebab bagi
Tuhan. Dan Tuhan adalah wujud yang seutuhnya tanpa sebab. Apabila Tuhan eksis,
maka selain-Nya merupakan akibat dari keberadaan-Nya. Tuhan secara mutlak ada
(yakni secara esensial bukan non-esensial). Aquinas mengemukakan lima jalan dan
argumen apriori (inni) untuk mengitsbat dan
membuktikan wujud Tuhan, dimana seluruhnya adalah makhluk-makhluk yang menjadi
media untuk membuktikan wujud Tuhan. Kelima argumen apriori tersebut antara
lain:
1. Argumen gerak
2. Argumen sebab pelaku
3. Argumen kontingen dan wujub
(necessity)
4. Arguman gradasi kesempurnaan
5. Argumen keteraturan
Gottfried Wilhelm Leibniz, juga Leibnitz, Baron Gottfried
Wilhelm von (1646-1716) yang merupakan filosof, matematikawan dan negarawan
Jerman ini dipandang sebagai salah satu dari supreme intellects abad ke-17. Ia
menyuguhkan beberapa argumen filosofis tentang Tuhan. Warna filsafat Leibniz
boleh disebut sebagai filsafat theocentric. Kalimat ini tentu
saja tidak hanya menyiratkan makna bahwa Tuhan dalam filsafat Leibniz sangat
signifikan. Namun juga bermakna, bahwa seluruh alam semesta memiliki satu
sentral. Sentral ini memiliki spirit yang paling paripurna. Spirit atau ruh
tersebut itu adalah Tuhan. Tuhan di mata Leibniz merupakan ruh keseluruhan
untuk keseluruhan alam semesta. Keberadaan semesta bersumber dari titik sentral
ini. Tetapi poin ini dengan sendirinya merupakan sebab bagi dirinya. Leibniz
mengkonsepsikan Tuhan sebagai sentral alam. Dan konsepsi ini kurang-lebihnya ia
adopsi dari Ramon Laul dan Spinoza. Dalam definisi ini, makhluk-makhluk Tuhan
merupakan hasil dari sifat penciptaan, yang bersumber dari kekayaan Tuhan Sang
Pencipta. Bahkan Leibniz tidak mengelak untuk berkata bahwa Tuhan itu adalah
substansi dan makhluk itu adalah aksiden. Dia juga berkata:“Makrifat kepada
Tuhan merupakan awal dari filsafat, dan realitas-realitas azali itu adalah
sifat Tuhan. Sifat inilah yang membentuk tatanan hikmah yang benar. Makrifat
atau hikmat merupakan satu cahaya esensial kalimat Allah yang perennial dan
eternal. Dan merupakan sumber dari segala hikmat dan segala cahaya dan
sejatinya sumber segala wujud dan keberadaan serta seluruh fenomena. Tanpa
adanya iluminasi dari cahaya ini, tidak seorangpun yang dapat meraup iman yang
hakiki. Dan tanpa iman hakiki kebahagiaan mustahil dapat dicapai. (Falsafeye
Leibniz, hal. 430)Mengenal Tuhan merupakan perkara yang paling
mudah dan sekaligus paling pelik. Dalam perjalanan cahaya ini, pengenalan
pertama ini merupakan pengenalan yang mudah. Dan pada lintasan
bayangan-bayangan akhir ia merupakan pengenalan yang paling akhir dan paling
sukar. Kebanyakan pengenalan kita melalui bayang-bayang ini; dari sisi sejarah,
bahasa, kebiasaan manusia dan kebiasaan semesta. Ada beberapa argumen
yang didemonstrasikan oleh Leibniz dalam mengitsbat (membuktikan) wujud Tuhan.
Namun di sini kita hanya menunjukkan beberapa dari argumen tersebut:
1. Bukti
gerak (Penggerak dan yang digerakkan)
Dalil ini merupakan dalil yang
digunakan Aristoteles dalam mengitsbat wujud Tuhan yang dikenal oleh Leibiniz
lewat Thomas Aquinas. Ia berkata: “Materi sebagaimana ia materi, tidak memiliki
tuntutan untuk bergerak. Dan kekuatan yang tersimpan dalam materi (matter)
tidak memiliki preferensi untuk bergerak. Dengan kehadiran gerakan yang menjadi
akibat atas gerakan sebelumnya, dan gerakan yang akan datang menjadi akibat
atas gerakan sekarang, silsilah ini, ujung-ujungnya harus berakhir pada satu
tempat. Dan apabila tidak dalil untuk bergerak maka gerakan belumlah menjadi
jelas. Oleh karena itu, dimensi yang lengkap seluruh maujud haruslah maujud
yang wajib, bukan maujud-maujud natural. Dan maujud wajib ini merupakan dalil
pamungkas atas seluruh maujud yang disebut sebagai Tuhan.
Bukti wujub (necessity) dan imkan
(contingen)
Realitas ini menegaskan bahwa sesuatu yang ada tersimpan sebuah
keharusan. [lantaran kontingen relasi antara ada dan tiadanya adalah setara.
Dan apabila ia tidak menjadi wajib, maka ia tidak akan pernah mengada]. Oleh
karena itu, apakah seluruh maujud bersifat mesti (dharuri) atau sebab pamungkasnya
yang bersifat mesti (dharuri). Oleh karena itu, pastilah satu dari sekian
maujud yang ada ini yang bersifat mesti, dan wujud tersebut adalah Tuhan.
Bukti yang bersandar pada realitas-realitas
primordial
Leibniz menulis bahwa: “Apabila pada setiap esensi atau kontingen atau
realitas primordial (azali) bersemayam sebuah hakikat, maka hakikat ini harus
bersandar pada maujud yang aktual. Artinya ia bersandar pada sebuah maujud yang
mesti, dimana di dalamnya esensi menjadi inherensi wujud atau kontingenannya
maujud tersebut, yang menjadikannya mesti mengaktualkannya.
4. Argumen
wujud
Leibniz mendukung argumen wujud dan
menerapkannya dalam membuktikan wujud Tuhan; lantaran proposisi bahwa “Tuhan
itu ada” merupakan sebuah proposisi yang mesti (dharuri). Karena, sebagaimana
Descartes dan Santo Anselm, Leibniz memandang bahwa wujud itu bersumber dari
kesempurnaan. Kendati ia berbeda dengan Descartes dalam memaparkan argumen ini.
Ia menulis bahwa, “Kita tidak dapat mengambil sebuah konklusi dari konsepsi
kita ihwal sebuah maujud yang memiliki kesempurnaan dan pure sempurna bahwa
maujud seperti ini haruslah ada. Lantaran pemahaman-pemahaman yang tersimpan
dalam benak kita boleh jadi bersifat mubham (kabur). Oleh karena itu
kita tidak dapat bersandar pada dalil ini yang menkonsepsikan sebuah maujud
yang memiliki kesempurnaan.” Tetapi, Leibniz berkata bahwa wujud atau ada
itu tidak memiliki predikat esensial. Tetapi proposisi bahwa “Tuhan itu ada”
merupakan perkara eksepsional (pengecualian).
Immanuel Kant
Immanuel Kant (1724-1804) adalah salah seorang filosof besar Barat.
Kant memberikan empat batasan metodelogi untuk membuktikan wujud Tuhan. Kendati
ia mengajukan kritik terhadap argumen-argumen yang mengitsbat eksistensi Tuhan
dalam ranah theoretical reason (akal
teoritis), namun sepenuhnya percaya pada argumen-argumen moral (practical
reason) dalam membuktikan wujud Tuhan. Kant dalam domain akal
teoritis membagi argumen-argumen dalam membuktikan wujud Tuhan menjadi tiga
bagian:
1. Argumen natural – teologikal
atau teleologikal: Dalam argumen ini bertitik-tolak pada eksperimentasi tipikal
dan tertentu dari fitrah khusus alam kendriya (inderawi) dan sesuai dengan
hukum kausalitas dalam membuktikan wujud Tuhan. Atau dengan ungkapan lain,
Tuhan dapat dipahami dan diketahui melalui sistemik dan tertatanya alam semesta
bahwa Dia adalah Sebab Pertama.
2. Argumen kosmologikal: dalam
argumen ini melalui pengalaman-pengalaman yang tidak tipikal dan khusus yaitu huduts
(baru) dan imkan
(kontingen) alam semesta atau segala sesuatu yang ada di alam semesta,
setidaknya keberadan seseorang dan kemudian dapat diketahui keberadaan
wajib al-wujud
3. Argumen ontologikal: Dalam
argumen ini wujud Tuhan dapat dibuktikan dengan menganalisa pahaman
kesempurnaan mutlak. Argumen yang diintrodusir oleh Kant merupakan
argumen yang dapat menuai hasil dalam membuktikan wujud Tuhan. Dalam
argumen moral ini, melalui pahaman “harus” moral “eksis” dan “ada” wujud Tuhan
dapat dibuktikan.
Daftar Pustaka
Madjid, Nurcholish. 1995. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta:
Paramadina Press
Rakhmat, Jalaluddin. 1991. Islam Aktual. Jakarta: Mizan
Poerwadarminta. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:
PN Balai Pustaka
Hanafi, M. 2009. Pembelajaran Sejarah Kebudayaan
Islam, Jakarta: Departemen Agama RI
0 komentar:
Post a Comment