Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Wednesday 21 May 2014

Nilai-Nilai Dasar Kepercayaan Hakikat Tuhan



Disusun guna memenuhi tugas kelompok mata kuliah Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu:  Prof. Dr. Kasidi Hadiprayitno, M.Hum dan Dr. Hari Bakti Mardikantoro, M.Hum

Oleh:
Hamidulloh Ibda 0103513129
Dian Marta Wijayanti  0103513018
Wahyu Ambarwati   0103513091

BAB I
PENDAHULUAN


Latar Belakang
Manusia adalah makhluk percaya. Artinya, di dalam diri manusia terdapat bentuk kepercayaan dan keyakinan atas dasar rasionalitas, empiris dan dogma yang diajarkan oleh agama kepada penganutnya. Meskipun bertuhan tidak harus beragama, akan tetapi setiap manusia yang hidup pasti memiliki sistem kepercayaan sendiri. Atas kepercayaan yang dimiliki manusia inilah, semua orang yang hidup di dunia ini dianjurkan untuk berkeyakinan, bergama, dan menjunjung tinggi nilai-nilai yang terbangun di dalam suatu masyarakat tertentu.
Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah Dasar Negara Republik Indonesia, dan merupakan sila pertama dari Pancasila. UUD 1945 pasal 29 ayat 1 berbunyi: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi jelas bahwa keyakinan bangsa Indonesia adalah percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karenanya, segala paham yang bertentangan dengan kepercayaan tersebut, lebih-lebih atheisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, tentu tidak punya hak hidup dalam Negara Republik Indonesia.
Yang terpenting dari Pancasila ialah pelaksanaannya dan realisasi dari tiap-tiap sila itu. Kemudian pemahaman yang benar bahwa inti dan sumber dari semua sila-sila dalam Pancasila ialah Sila yang pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Islam dan Pancasila tidak bertentangan, bahkan semua sila-sila itu terdapat dalam ajaran Islam. Karena itu setiap muslim dapat menerima dan mudah pula melaksanakannya. Melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi maupun secara kolektif, dapat dikatakan telah menunaikan sebagian dari
ajaran-ajaran Islam.
Maka mudah dimengerti bahwa Pancasila akan terjamin pelaksanaan dan realisasinya apabila ia dalam pangkuan dan asuhan Islam. Islam mengajarkan bahwa kepercayaan atau iman seseorang haruslah dibuktikan dengan jalan melaksanakan penyembahan (ibadah) dan mentaati segala hukum-hukum Tuhan (syari’ah) yang telah digariskan lewat wahyu-wahyuNya yang diturunkannya kepada Rasulullah SAW. Maka pelaksanaan ibadah dan syari’ah adalah manifestasi dari iman seseorang. Kemudian konsep kepercayaan dengan segala perintah dan larangan Tuhan hanya mungkin ditemukan dalam agama. Sebab itu realisasi yang benar dari Ketuhanan Yang Maha Esa ialah melakukan ibadah sesuai dengan yang dikehendaki oleh Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri. Logika itulah yang memberi keyakinan bahwa realisasi Pancasila ialah dengan adanya kewajiban beragama dan beribadah di Indonesia.
Doktrin Tauhid bagi kehidupan manusia, menjadi sumber kehidupan jiwa
dan pendidikan kemanusiaan yang tinggi. Tauhid akan mendidik jiwa manusia untuk mengikhlaskan seluruh hidup dan kehidupannya kepada Allah semata. Tujuan hidupnya ialah Allah dan harapan yang dikejarnya ialah keridhaan Allah (mardhatillah). Hal ini membawa konsekuensi pada pembinaan karakter yang agung, menjadi manusia yang suci, jujur dan teguh memegang amanah.

Rumusan Masalah
Ada beberapa hal yang akan dikaji dalam makalah ini. Hal itu meliputi pengertian nilai, kepercayaan, dasar-dasar kepercayaan, kajian tentang Tuhan dengan pendekatan ontologi, metafisika, dan sebagainya. Namun, secara garis besar kami rumuskan dalam dua hal.
Apa pengertian nilai dan kepercayaan?
Bagaimana dasar-dasar kepercayaan pada Tuhan dari sudut pandang ontologi dan metafisika?

BAB II
PEMBAHASAN

Nilai dan Kepercayaan
Pengertian Nilai
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nilai diartikan dalam beberapa hal. Pertama, nilai adalah harga dalam arti taksiran harga. Kedua, sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Ketiga, nilai adalah sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya. (Poerwadarminta; 1976).
Nilai dalam bahasa Inggris disebut value berarti harga, penghargaan, atau tafsiran. Artinya, harga atau penghargaan yang melekat pada sebuah objek. Objek yang dimaksud adalah berbentuk benda, barang, keadaan, perbuatan, atau perilaku. Nilai adalah sesuatu yang abstrak, bukan konkret. Nilai hanya bisa dipikirkan, dipahami, dan dihayati. Nilai juga berkaitan dengan cita-cita, harapan, keyakinan, dan hal-hal yang bersifat batiniah. Menilai berati menimbang, yaitu kegiatan manusia yang menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk mengambil suatu keputusan.
Sifat-sifat nilai adalah sebagai berikut:   
Nilai itu suatu realitas abstrak dan ada dalam kehidupan manusia.
Nilai memiliki sifat normatif, artinya nilai mengandung harapan, cita-cita, dan suatu keharusan sehingga nilai memiliki sifat ideal (das sollen).
Nilai berfungsi sebagai daya dorong/motivator dan manusia adalah pendukung nilai.
Sedangkan menurut penulis, nilai adalah sesuatu yang tidak bisa diukur oleh akal dan pikiran manusia. Maka dari itu, nilai itu sangat abstrak dan tidak bisa dilogika dengan alat ukur manusia. Misalnya, mencintai Tuhan, hal ini sangat abstrak dan tidak bisa diukur oleh akal pikiran manusia. Nilai itu tidak terbatas ruang, waktu, dan kadarnya. Maka dari itu, sesungguhnya jika manusia bertuhan harus meluangkan seluruh waktu, kesempatan, dan pengabdiannya tanpa melihat ruang dan waktu. Artinya, di mana saja, manusia beragama harus berbuat baik sebagai sarana mendekatkan diri pada Tuhan.

Pengertian Kepercayaan
Secara bahasa, percaya adalah mengakui atau meyakini bahwa sesuatu memang benar atau nyata. Percaya juga bisa diartikan menganggap atau yakin bahwa sesuatu itu benar-benar ada. (Poerwadarminta; 1976). Misalnya, percaya kepada Tuhan, malaikat, setan, surga, neraka, pahala, dosa, atau kepada barang ghaib.
Sedangkan kepercayaan adalah anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yang dipercayai itu benar, ada atau nyata. Kepercayaan adalah sesuatu yang dipercayai. Kepercayaan juga bisa disebut dengan sebutan bagi sistem religi di Indonesia yang tidak termasuk salah satu dari kelima agama yang resmi. Misalnya, kepercayaan pada makhluk ghaib, kekuatan roh halus, magis, dan sebagainya.
Manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan. Kepercayaan itu akan melahirkan tata nilai guna menopang hidup dan budayanya. Sikap tanpa percaya atau ragu yang sempurna tidak mungkin dapat terjadi. Tetapi selain kepercayaan itu dianut karena kebutuhan dalam waktu yang sama juga harus merupakan kebenaran. Demikian pula cara berkepercayaan harus pula benar. Menganut kepercayaan yang salah bukan saja tidak dikehendaki akan tetapi bahkan berbahaya.
Disebabkan kepercayaan itu diperlukan, maka dalam kenyataan kita temui bentuk-bentuk kepercayaan yang beraneka ragam di kalangan masyarakat. Karena bentuk- bentuk kepercayaan itu berbeda satu dengan yang lain, maka sudah tentu ada dua kemungkinan: kesemuanya itu salah atau salah satu saja diantaranya yang benar. Di samping itu masing-masing bentuk kepercayaan mungkin mengandung unsur-unsur kebenaran dan kepalsuan yang campur baur.
Sekalipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa kepercayaan itu melahirkan nilai-nilai. Nilai-nilai itu kemudian melembaga dalam tradis-tradisi yang diwariskan turun temurun dan mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Karena kecenderungan tradisi untuk tetap mempertahankan diri terhadap kemungkinan perubahan nilai-nilai, maka dalam kenyataan ikatan-ikatan tradisi sering menjadi penghambat perkembangan peradaban dan kemajuan manusia. Di sinilah terdapat kontradiksi kepercayaan diperlukan sebagai sumber tatanilai guna menopang peradaban manusia, tetapi nilai-nilai itu melembaga dalam tradisi yang membeku dan mengikat, maka justru merugikan peradaban. (Jalaluddin Rakhmat; 1991).
Oleh karena itu, pada dasarnya, guna perkembangan peradaban dan kemajuannya, manusia harus selalu bersedia meninggalkan setiap bentuk kepercayaan dan tata nilai yang tradisional, dan menganut kepercayaan yang sungguh-sungguh yang merupakan kebenaran. Maka satu-satunya sumber nilai sumber dan pangkal nilai itu haruslah kebenaran itu sendiri. Kebenaran merupakan asal dan tujuan segala kenyataan. Kebenaran yang mutlak adalah Tuhan Allah.
Perumusan kalimat persaksian (Syahadat) Islam yang kesatu : Tiada Tuhan selain Allah mengandung gabungan antara peniadaan dan pengecualian. Perkataan “Tidak ada Tuhan” meniadakan segala bentuk kepercayaan, sedangkan perkataan “Selain Allah” memperkecualikan satu kepercayaan kepada kebenaran. Dengan peniadaan itu dimaksudkan agar manusia membebaskan dirinya dari belenggu segenap kepercayaan yang ada dengan segala akibatnya, dan dengan pengecualian itu dimaksudkan agar manusia hanya tunduk pada ukuran kebenaran dalam menetapkan dan memilih nilai-nilai, itu berarti tunduk pada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta segala yang ada termasuk manusia. Tunduk dan pasrah itu disebut Islam.
Tuhan itu ada, dan ada secara mutlak hanyalah Tuhan. Pendekatan ke arah pengetahuan akan adanya Tuhan dapat ditempuh manusia dengan berbagai jalan, baik yang bersifat intuitif, ilmiah, historis, pengalaman dan lain-lain. Tetapi karena kemutlakan Tuhan dan kenisbian manusia, maka manusia tidak dapat menjangkau sendiri kepada pengertian akan hakekat Tuhan yang sebenarnya. Namun demi kelengkapan kepercayaan kepada Tuhan, manusia memerlukan pengetahuan secukupnya tentang Ketuhanan dan tatanilai yang bersumber kepada-Nya. Oleh sebab itu diperlukan sesuatu yang lain yang lebih tinggi namun tidak bertentangan denga insting dan indera. (Nurcholish Madjid; 1995).
Sesuatu yang diperlukan itu adalah “Wahyu” yaitu pengajaran atau pemberitahuan yang langsung dari Tuhan sendiri kepada manusia. Tetapi sebagaimana kemampuan menerima pengetahuan sampai ketingkat yang tertinggi tidak dimiliki oleh setiap orang, demikian juga wahyu tidak diberikan kepada setiap orang. Wahyu itu diberikan kepada manusia tertentu yang memenuhi syarat dan dipilih oleh Tuhan sendiri yaitu para Nabi dan Rosul atau utusan Tuhan. Dengan kewajiban para Rasul itu untuk menyampaikannya kepada seluruh ummat manusia. Para rasul dan nabi itu telah lewat dalam sejarah semenjak Adam, Nuh, Ibrahim, Musa,Isa atau Yesus anak Mariam sampai pada Muhammad SAW. Muhammad adalah Rasul penghabisan, jadi tiada Rasul lagi sesudahnya. Jadi para Nabi dan Rasul itu adalah manusia biasa dengan kelebihan bahwa mereka menerima wahyu dari Tuhan.
Wahyu Tuhan yang diberikan kepada Muhammad SAW terkumpul seluruhnya dalam kitab suci Al-Quran. Selain berarti bacaan, kata Al-Quran juga bearti “kumpulan” atau kompilasi, yaitu kompilasi dari segala keterangan. Sekalipun garis-garis besar Al-Quran merupakan suatu kompendium, yang singkat namun mengandung keterangan-keterangan tentang segala sesuatu sejak dari sekitar alam dan manusia sampai kepada hal-hal gaib yang tidak mungkin diketahui manusia dengan cara lain. Jadi untuk memahami Ketuhanan Yang Maha Esa dan ajaran-ajaran-Nya, manusia harus berpegang kepada Al-Quran dengan terlebih dahulu mempercayai kerasulan Muhammmad SAW.
Maka kalimat kesaksian yang kedua memuat esensi kedua dari kepercayaan yang harus dianut manusia, yaitu bahwa Muhammad adalah Rosul Allah. Kemudian di dalam Al-Quran didapat keterangan lebih lanjut tentang Ketuhanan Yang maha Esa ajaran-ajaranNya yang merupakan garis besar dan jalan hidup yang mesti diikuti oleh manusia. Tentang Tuhan antara lain: surat Al-Ikhlas menerangkan secara singkat ; katakanlah : “Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa. Dia itu adalah Tuhan. Tuhan tempat menaruh segala harapan. Tiada Ia berputra dan tiada pula berbapa. Selanjutnya Ia adalah Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Kasih dan Maha Sayang, Maha Pengampun dan seterusnya daripada segala sifat kesempurnaan yang selayaknya bagi Yang Maha Agung dan Maha Mulia, Tuhan seru sekalian Alam.
Juga diterangkan bahwa Tuhan adalah yang pertama dan yang penghabisan, Yang lahir dan Yang Bathin, dan “kemanapun manusia berpaling maka di sanalah wajah Tuhan”. Dan “Dia itu bersama kamu kemanapun kamu berada”. Jadi Tuhan tidak terikat ruang dan waktu. Sebagai “yang pertama dan yang penghabisan”, maka sekaligus Tuhan adalah asal dan tujuan segala yang ada, termasuk tata nilai. Artinya ; sebagaimana tata nilai harus bersumber kepada kebenaran dan berdasarkan kecintaan kepadaNya, Iapun sekaligus menuju kepada kebenaran dan mengarah kepada “persetujuan” atau “ridhanya “. Inilah kesatuan antara asal dan tujuan hidup yang sebenarnya (Tuhan sebagai tujuan hidup yang benar, diterangkan dalam bagian yang lain).
Tuhan menciptakan alam raya ini dengan sebenarnya, dan mengaturnya dengan pasti. Oleh karena itu alam mempunyai eksistensi yang riil dan obyektif, serta berjalan mengikuti hukum-hukum yang tetap. Dan sebagai ciptaan daripada sebaik-baiknya penciptanya, maka alam mengandung kebaikan pada diriNya dan teratur secara harmonis. Nilai ciptaan ini untuk manusia bagi keperluan perkembangan peradabannya. Maka alam dapat dan dijadikan obyek penyelidikan guna dimengerti hukum-hukum Tuhan (sunnatullah) yang berlaku di dalamnya. Kemudian manusia memanfaatkan alam sesuai dengan hukum-hukumnya sendiri.
Jika kenyataan alam ini berbeda dengan persangkaan idealisme maupun agama Hindu yang mengatakan bahwa alam tidak mempunyai eksistensi riil dan obyektif, melainkan semua palsu atau maya atau sekedar emansipasi atau pancaran daripada dunia lain yang kongkrit, yaitu idea atau nirwana. Juga tidak seperti dikatakan filsafat Agnosticisme yang mengatakan bahwa alam tidak mungkin dimengerti manusia. Dan sekalipun filsafat materialisme mengatakan bahwa alam ini mempunyai eksistensi riil dan obyektif sehingga dapat dimengerti oleh manusia, namun filsafat itu mengatakan bahwa alam ada dengan sendirinya. Peniadaan pencipta ataupun peniadaan Tuhan adalah satu sudut daripada filsafat materialisme.
Manusia adalah puncak ciptaan dan mahluk-Nya yang tertinggi. Sebagai mahluk tertinggi manusia dijadikan “Khalifah” atau wakil Tuhan di bumi. Manusia ditumbuhkan dari bumi dan diserahi untuk memakmurkannya. Maka urusan di dunia telah diserahkan Tuhan kepada manusia. Manusia sepenuhnya bertanggungjawab atas segala perbuatannya di dunia. Perbuatan manusia ini membentuk rentetan peristiwa yang disebut “sejarah”. Dunia adalah wadah bagi sejarah, dimana manusia menjadi pemilik atau “rajanya”.
Sebenarnya terdapat hukum-hukum Tuhan yang pasti (sunattullah) yang menguasai sejarah, sebagaimana adanya hukum yang menguasai alam tetapi berbeda dengan alam yang telah ada secara otomatis tunduk kepada sunatullah itu, manusia karena kesadaran dan kemampuannya untuk mengadakan pilihan untuk tidak terlalu tunduk kepada hukum-hukum kehidupannya sendiri. Ketidakpatuhan itu disebabkan karena sikap menentang atau kebodohan. Hukum dasar alami daripada segala yang ada inilah “perubahan dan perkembangan”, sebab segala sesuatu ini adalah ciptaan Tuhan dan pengembangan olehNya dalam suatu proses yang tiada henti-hentinya. Segala sesuatu ini adalah berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan.
Maka satu-satunya yang tak mengenal perubahan hanyalah Tuhan sendiri, asal dan tujuan segala sesuatu. Di dalam memenuhi tugas sejarah, manusia harus berbuat sejalan dengan arus perkembangan itu menunju kepada kebenaran. Hal itu berarti bahwa manusia harus selalu berorientasi kepada kebenaran, dan untuk itu harus mengetahui jalan menuju kebenaran itu. Dia tidak mesti selalu mewarisi begitu saja nilai-nilai tradisional yang tidak diketahuinya dengan pasti akan kebenarannya.
Oleh karena itu kehidupan yang baik adalah yang disemangati oleh iman dan ilmu. Bidang iman dan pencabangannya menjadi wewenang wahyu sedangkan bidang ilmu pengetahuan menjadi wewenang manusia untuk mengusahakan dan mengumpulkannya dalam kehidupan dunia ini. Ilmu itu meliputi tentang alam dan tentang manusia (sejarah). Untuk memperoleh ilmu pengetahuan tentang nilai kebenaran sejauh mungkin, manusia harus melihat alam dan kehidupan ini sebagaimana adanya tanpa melekatkan padanya kualitas-kualitas yang bersifat ketuhanan. Sebab sebagaimana diterangkan dimuka, alam diciptakan dengan wujud yang nyata dan objektif sebagaimana adanya. Alam tidak menyerupai Tuhan, dan Tuhan pun untuk sebagian atau seluruhnya tidak sama dengan alam. Sikap memper-Tuhan-kan atau mensucikan (sakralisasi) haruslah ditujukan kepada Tuhan sendiri. Tuhan Allah Yang Maha Esa.
Ini disebut “Tauhid” dan lawannya disebut “syirik” artinya mengadakan tandingan terhadap Tuhan, baik seluruhnya atau sebagian maka jelasnya bahwa syirik menghalangi perkembangan dan kemajuan peradaban, kemanusiaan menuju kebenaran.
Sesudahnya atau kehidupan duniawi ini ialah “hari kiamat”. Kiamat merupakan permulaan bentuk kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah atau duniawi, yaitu kehidupan akhirat. Kiamat disebut juga “hari agama”, atau yaumuddin, dimana Tuhan menjadi satu-satunya pemilik dan raja. Tidak lagi terdapat kehidupan historis, seperti kebebasan, usaha dan tata masyarakat. Tetapi yang ada adalah pertanggunggan jawab individu manusia yang bersifat mutlak dihadapan illahi atas segala perbuatannya dahulu didalam sejarah.
Selanjutnya kiamat merupakan “hari agama”, maka tidak yang mungkin kita ketahui selain daripada yang diterangkan dalam wahyu. Tentang hari kiamat dan kelanjutannya/kehidupan akhirat yang non-historis manusia hanya diharuskan percaya tanpa kemungkinan mengetahui kejadian-kejadiannya.
Dasar-Dasar Kepercayaan Terhadap Tuhan
Manusia adalah mahkluk percaya. Pada kadarnya masing-masing, setiap mahluk telah memiliki kepercayaan/kesadaran berupa prinsip-prinsip dasar yang rasional. Diketahui secara intuitif (common sense) yang menjadi kepercayaan utama makhluk sebelum ia merespon segala sesuatu diluar dirinya. Dengan bekal ini, manusia memiliki potensi untuk mengetahui dan mempercayai pengetahuan-pengetahuan baru melalui aktivitas berpikir. Berpikir adalah aktivitas khas manusia dalam upaya memecahkan masalah-masalah dengan modal prinsip-prinsip pengetahuan sebelumnya. Memiliki sebuah kepercayaan yang benar, yang selanjutnya melahirkan tata nilai, adalah sebuah kemestian bagi perjalanan hidup manusia. Pada hakikatnya, perilaku manusia yang tidak peduli untuk benarnya kepercayaan dan manusia yang memiliki kepercayaan salah atau dengan cara yang salah tidak akan mengiringnya pada kesempurnaan. Maka mereka tidak ubahnya seperti binatang. Manusia harus menelaah secara objektif sendi-sendi kepercayaan dengan segala potensi yang dimilikinya. Kajian yang mendalam tentang kepercayaan sebagai sebuah konsep teoretis akan melahirkan sebuah kesadaran bahwa manusia adalah wujud yang mempunyai hasrat dan cita-cita untuk menggapai kebenaran dan kesempurnaan mutlak, bukan nisbi. Artinya, ia mencari zat yang Maha tinggi dan Maha sempurna (Al-Haqq).
Berbagai macam pandangan yang menjelaskan tentang ketiadaan kebenaran dan kesempurnaan mutlak (zat yang maha sempurna) tersebut sehingga mereka menganggap bahwa alam ini terjadi dengan sendirinya (kebetulan) tidak ada yang mengadakannya. Metafisika Islam dengan prima prinsipnya sebagai prinsip dasar dalam berpikir mampu menyelesaikan perdebatan itu dengan penjelasan kemutlakan wujud(ada)nya. Wujud adalah sesuatu yang jelas keberadaannya dan unggal karena selain keberadaan adalah ketiadaan sehingga apabila ada sesuatu selain ada maka itu adalah ketiadaan dan itu sesuatu yang mustahil karena ketiadaan tidak memiliki keberadaan. Manusia yang terbatas tidak sempurna, memerlukan sebuah sistem nilai yang sempurna dan tidak terbatas sebagai sandaran dan pedoman hidupnya. Sistem nilai tersebut harus berasal dari keadaan (Zat yang Maha Sempurna) yang segala atributnya berbeda dengan mahluk. Konsekuensi akan kebutuhan asasi manusia pada sosok Mahasempurna ini menegaskan bahwa sesuatu itu harus dapat dijelaskan oleh argumentasi-argumentasi rasional, terbuka, dan tidak doktriner. Sehingga, semua lapisan intelektual manusia tidak ada yang sanggup menolak eksistensi-Nya. Sekalipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa Sang Maha sempurna itu diklaim oleh berbagai lembaga kepercayaan (agama) di dunia ini dengan berbagai konsep, istilah dan bentuk. Simbol-simbol agama yang berbeda satu sama lain tersebut menyiratkan secara tersurat beberapa kemungkinan: semua agama itu benar; semua agama itu salah; atau, hanya ada satu agama yang benar.
Agama-agama yang berbeda mustahil memiliki sosok Maha sempurna yang sama, walau memiliki kesamaan etimologis. Sebab, bila sosok tersebut sama, maka agama-agama itu identik. Namun, kenyataan sosiologis menyebutkan adanya perbedaan pada masing-masing agama. Demikian pula, menilai semua agama itu salah adalah mustahil, sebab bertentangan dengan prinsip kebergantungan manusia pada sesuatu yang maha sempurna (Al-Haqq/Tuhan). Maka dapatlah disimpulkan bahwa hanya satu agama saja yang benar. Dengan argumentasi di atas, manusia diantarkan pada konsekuensi memilih dan mengikuti agama yang telah terbukti secara argumentatif.
Diantara berbagai dalil yang dapat diajukan, membicarakan keberadaan Tuhan adalah hal yang paling prinsipil. Keberadaan dan perbedaan agama satu dengan yang lainnya ditentukan oleh sosok “Tuhan“ tersebut. Ciri-ciri keberadaan Tuhan (pencipta/khaliq). Bertolak belakang dengan ciri-ciri khas manusia (yang diciptakan/ makhluq). Bila manusia adalah wujud tidak sempurna, bermateri, tersusun, terbatas, terindera, dan bergantung, maka Tuhan adalah zat yang maha sempurna, immateri, tidak tersusun, sederhana, tidak terdiri dari bagian, tidak terindera secara material, dan tunggal (Esa/Ahad). Dengan demikian diketahui bahwa manusia dapat mengetahui ciri-ciri umum Tuhan, namun mustahil dapat mengetahui materi Zat-Nya. Manusia mengklaim dapat menjangkau zat Tuhan, sesungguhnya telah membatasi Tuhan dengan Rasionya (reason). Segala sesuatu yang terbatas, pasti bukan Tuhan. Ketika manusia menyebut “Dia Mahabesar“.
Sesungguhnya ia lebih besar dari seluruh konsepsi manusia tentang kebesaran-Nya. Berdasarkan hal tersebut, potensialitas akal (intelect) manusia dalam mengungkap hakikat zat-Nya menyiratkan bahwa pada dasarnya seluruh makhluk diciptakan oleh-Nya sebagai manifestasi diri-Nya (inna lillahi) yang kemudian akan kembali kepada-Nya (wa inna ilaihi raji’un) sebagai realisasi kerinduan manusia akan keabadian kesempurnaaan, kebahagiaan mutlak. Keinginan untuk merefleksikan ungkapan terima kasih dan beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa menimbulkan kesadaran bahwa Tuhan Yang Maha Adil mesti membimbing umat manusia tentang cara yang benar dan pasti dalam berhubungan dengan-Nya.
Pembimbing Tuhan kepada setiap makhluk berjalan sesuai kadar potensialitasnya dalam suatu cara perwujudan yang suprarasional (wahyu) diberikan khusus kepada hamba-hamba-Nya yang memiliki ketinggian spritual. Relasi konseptual tentang ke-Maha bijaksana-an Tuhan untuk membimbing makhluk secara terus menerus dan kebutuhan abadi makhluk akan bimbingan memestikan kehadiran sosok pembimbing yang membawa risalah-Nya (rasul), yang merupakan hak prerogatif-Nya. Rasul adalah cerminan Tuhan di dunia. Kepatuhan dan kecintaan makhluk kepada mereka adalah niscaya.
Pengingkaran kepada mereka identik dengan pengingkaran kepada Tuhan. Bukti kebenaran rasul untuk manusia ditunjukkan pula oleh kejadian-kejadian kasat mata (empiris) luar biasa (mu’jizat bagi orang-orang awwam) maupun bukti-bukti rasional(mu’jizat bagi para intelektual) yang mustahil dapat dilakukan oleh manusia lain tanpa dipelajari. Pemberian tanda istimewa kepada rasul akan semakin menambah keimanan seseorang. Mu’jizat juga sebagai bukti tambahan bagi siapa saja yang tidak mau beriman kepada Tuhan dan pesuruh-Nya, kecuali bila diperlihatkan kepadanya hal-hal yang luar biasa.
Kepatuhan dan keyakinan manusia kepada rasul melahirkan sikap percaya terhadap apa pun yang dikatakan dan diperintahkannya. Keyakinan tentang kitab suci (bacaan atau kumpulan firman Tuhan, disebut Al-quran) yang dibawanya adalah konsekuensi lanjutan. Di dalam kitab suci terdapat keterangan-keterangan tentang segala sesuatu sejak dari alam sekitar dan manusia, sampai kepada hal-hal gaib yang tidak mungkin dapat diterima oleh pandangan saintifik dan empiris manusia.
Konsepsi fitrah dan ‘rasio’ tentang Realitas Mutlak (Tuhan) di atas ternyata selaras dengan konsep teoritis tentang Tuhan dalam ajaran-ajaran Muhammad yang mengaku rasul Tuhan yang disembah selama ini. Muhammad mengajarkan kalimat persaksian/keimanan (syahadatan) bahwa tidak ada (la) Tuhan (ilah) yang benar kecuali (illa) Tuhan yang merupakan kebenaran Tunggal/Esa/Ahad (Allah, dari al-ilah). Ia (Muhammad) juga menerangkan bahwa dialah rasul Allah (rasulullah). Menurut agama yang mengajarkan ketundukan dan kepatuhan pada kebenaran (Islam) pada ummatnya ini (muslim).
Proses pencarian kebenaran dapat ditempuh dengan berbagai jalan, baik filosofis, intuitif, ilmiah, historis, dan lain-lain dengan memperhatikan ayat-ayat Tuhan yang terdapat di dalam Kitab suci maupun di alam ini. Konsekuensi lanjut setelah manusia melakukan pencarian ketuhanan dan kerasulan adalah kecendrungan fitrah dan kesadaran rasionalnya untuk meraih kebahagiaan. Keabadian, dan kesempurnaan. ketidak mungkinan mewujudkan keinginan-keinginan ideal tersebut didalam kehidupan dunia yang bersifat temporal ini melahirkan konsep tentang keberadaan hari akhirat yang sebelumnya dimulai dengan terjadinya kehancuran alam secara besar-besaran (qiyamah/ kiamat/ hari agama/yaum al-din) sebagai konsekuensi logis keadilan Tuhan.
Kiamat merupakan permulaan bentuk kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah atau duniawi. Di sana tidak ada lagi kehidupan historis seperti kebebasan, usaha dan tata masyarakat yang menimbulkan ganjaran dosa/pahala. Kehidupan akhirat merupakan refleksi perbuatan berlandaskan iman, ilmu, dan amal selama di dunia. Dengan kata lain, ganjaran di akhirat adalah kondisi objektif dari relasi manusia terhadap Tuhan dan alam.

Pandangan Filsuf tentang Tuhan
Dalam perjalanan sejarah umat manusia, tema yang sering dan acapkali menjadi obrolan dan perbincangan adalah perbincangan tentang Tuhan dengan pelbagai pendekatan dan metodologi. Di setiap masa dan tempat, semenjak kaum awam hingga kaum cerdik pandai (baca: filosof), masyarakat dari berbagai strata -dengan ragam ekspresi- bertutur ihwal Sang Pencipta. Perbincangan ini tidak pernah sepi dan hening dari kehidupan manusia. Fitrah yang bersemayam dalam lubuk hati manusia senantiasa terketuk dan berdenyut untuk membahas dan membincangkan argumen (burhan) dalam membuktikan wujud dan eksistensi Tuhan. Pemikiran-pemikiran beradu dan berpadu. Para filosof silih berganti muncul untuk mengubah pandangan manusia. Semua itu melukiskan kembara tiada ujung ide manusia ihwal Tuhan. Terbentang dari filosof belahan dunia Barat hingga Timur, berupaya menyuguhkan argumen paling rasional dalam membuktikan wujud Tuhan. Dalam tulisan ini, yang akan dibagi menjadi dua bagian, akan kita bahas gagasan dan tuturan yang disajikan oleh filosof-filosof semisal Socrates, Plato, Aristoteles, Santo Thomas Aquinas, Santo Anselm, Leibniz, Rene Descartes, Spinoza, Immanuel Kant yang merupakan filosof-filosof unggul dunia Barat.
Socrates
Socrates (380-450 SM), filosof Yunani, yang secara mendalam mempengaruhi filsafat Barat lewat pengaruhnya terhadap Plato. Tuhan dalam pandangan Socrates -sebagaimana manusia- memiliki kekuatan berpikir. Artinya bahwa dalam tatanan semesta juga terdapat kekuatan sedemikian. Khususnya kita lihat bahwa alam semesta ini memiliki tatanan dan sistemik, dan bukan tanpa tatanan dan non-sistemik.          Socrates menegaskan bahwa setiap perkara itu memiliki tujuan, dan dzat Tuhan adalah tujuan keberadaan alam semesta ini. Oleh karena itu, alam semesta ini pastilah tidak bersumber dari perkara aksidental dan sebuah benturan (big bang). Lantaran alam semesta ini memiliki aturan, maka urusan mondial dan duniawi juga memiliki aturan-aturan natural, dimana manusia harus menjalankan aturan-aturan tersebut. Atas alasan ini, Socrates -dalam ranah politik- tidak berkeyakinan bahwa politik itu harus keras dan koersif. Dengan kata lain, bahwa politik itu juga bersandar pada hikmat dan kebijaksanaan. (Seir Hikmat dar Urupa, hal) 
Plato 
Plato (428/427-348/347 SM)  yang merupakan murid jenius Socrates -sedemikian jeniusnya sehingga terkadang apabila Plato datang ke Academia Socrates, sang guru berkata “Sang akal telah datang”-  merupakan filosof kawakan yang ajarannya banyak dijadikan sebagai landasan filosofis filosof-filosof Barat. Para pengikutnya ini biasanya disebut sebagai Platonis.
Ajaran Plato tentang Tuhan kebanyakan disampaikan dalam terma-terma mistis, yang menegaskan kebaikan Tuhan (sebagaimana dalam Republic dan Timaeus) dan kebaikannya kepada manusia (sebagaimana dalam Phaedo); Tetapi dalam Phaedrus, dan lebih jelasnya dalam Laws, ia menghadirkan sebuah argumen yang lebih rigoris yang berdasarkan kenyataan bahwa segala sesuatu itu berubah (change) dan bergerak (in motion). Segala yang berubah itu tidak selamanya bersumber dari luar (eksternal), sebagian dari perubahan tersebut bersifat spontan dan bersumber dari “jiwa”. Dan akhirnya berujung pada sebuah jiwa yang suprim dan paripurna. (Britannica Encylopaedia, 2006)Dalam Timaeus, sebagaimana dinukil dalam kitab Faidh wa Fâ’iiliyyat Wujudi Az Aflatun tâ Mulla Shadra, penciptaan alam semesta dan pengerangka kosmos dinisbahkan kepada demiurege (shâne’, pencipta) yang mewujudkan kosmos ini dari keadaan yang tak tertata dan non-sistemik, menjadi sebuah kosmos yang tertata dan sistemik. Dalam perkara ini, mundus imaginalis (alam ide) dapat dijadikan sebagai satu contoh dan setelah mencipta alam ide, Tuhan mengadakan jiwa universal.
Aristoteles  
Aristoteles (384-322 SM), filosof dan ilmuwan ternama Yunani. Dalam Metafisika-nya, Aristoteles berargumentasi dalam menetapkan keberadaan satu wujud Ilahiah, yang dijelaskan sebagai Prime Mover (penggerak agung), yang bertanggung jawab bagi  kesatuan dan kebertujuan alam semesta. Tuhan merupakan sosok paripurna. Oleh karena itu, Dia merupakan aspirasi segala sesuatu di kosmos ini, lantaran segala sesuatu berhasrat untuk berbagi kesempurnaan. Di alam kosmos ini terdapat penggerak-penggerak yang lain - penggerak-penggerak cerdas dari planet-planet dan bintang-bintang (Aristoteles menyangka bahwa jumlah dari penggerak cerdas ini adalah “55 atau 47”). Kendati Penggerak Agung (The Prime Mover), atau Tuhan, yang dijelaskan oleh Aristoteles tidak cukup sesuai dengan tujuan-tujuan religius. Betapapun, Aristoteles membatasi “teologinya” pada apa yang ia percayai sesuai dengan tuntutan ilmiah dan dapat dibuktikan secara ilmiah.   
St. Anselm
Santo Anselm (1033-1109), teolog, filosof, dan pemimpin gereja, mengajukan sebuah argumen untuk menetapkan keberadaan Tuhan yang hingga saat ini masih diperdebatkan. Santo Anselm menyusun Monologium (Soliloquy, 1077) yang di dalamnya merefleksikan pengaruh Santo Augustine yang menyatakan bahwa Tuhan merupakan wujud tertinggi dan mengurai sifat-sifat Tuhan. Pada tahun 1078, ia melanjutkan proyeknya mencari pemahaman tentang iman. Dia menyelesaikan Proslogium (Discourse), yang pasal keduanya menghadirkan the original statement yang menjadi popular sebagai ontological argument pada abad ke-18. Santo Anselm berargumen bahwa bahkan mereka yang meragukan eksistensi Tuhan akan memiliki pengertian atas apa yang mereka ragukan: yaitu mereka akan memahami bahwa Tuhan adalah satu wujud yang tidak ada wujud yang lebih besar dari-Nya. Anselm berkata bahwa seluruh eksistensi, kurang-lebihnya senantiasa akan berhadapan dengan kesempurnaan. Oleh karena itu, konsepsi yang menggambarkan adanya sebuah realitas dimana tidak ada lagi realitas lebih sempurna darinya yang mampu digambarkan, adalah sebuah konsepsi yang logis. Jika realitas yang didefinisikan ini adalah wujud Tuhan, berarti Tuhan harus riil. Karena apabila Tuhan hanya merupakan gambaran dan realitasnya hanya berada dalam pikiran, berarti masih bisa digambarkan adanya realitas lain yang lebih sempurna darinya, yaitu eksistensi yang betul-betul wujud. Dan ini berarti terjadi kontradiksi. Oleh karena itu dan berdasarkan perhitungan logika, maka mau tidak mau harus diterima bahwa realitas dan eksistensi yang  kesempurnaannya mutlak betul-betul ada, dengan demikian maka Tuhan ada”. (Mabani wa Tarikh-e Falsafeh-ye Gharbi, hal. 125) Anselm sepakat bahwa setiap orang yang memahami apa maksud lafadz-lafadz Tuhan atau maujud transendental, maka dia akan menemukan bahwa eksistensi semacam ini harus riil dan ada. Tuhan adalah sebuah realitas dimana tidak ada lagi realitas lain yang lebih besar darinya yang bisa digambarkan. Dan karena aku bisa memahami definisi ini maka aku bisa menggambarkannya. Lebih dari itu aku bisa menggambarkan Tuhan sehingga tidak saja dia merupakan sebuah persepsi dalam pikiranku, melainkan juga sebagai sebuah eksistensi dalam realitas, yaitu ada secara mandiri dari persepsi dan pikiranku.Setelah diketahui bahwa keberwujudan sebagai sebuah persepsi dan juga sebagai sebuah realitas lebih besar dari keberwujudan yang hanya sebagai sebuah konsepsi (tashawwur, gambaran dalam benak), maka berarti Tuhan harus riil dalam hakikat dan juga riil dalam konsepsi. Berdasarkan definisi ini, maka Tuhan adalah sebuah realitas wujud dimana realitas lain yang lebih besar darinya tidak bisa lagi digambarkan. Oleh karena itu, Tuhan harus ada dalam realitas. Jika tidak, maka sesuatu yang lebih besar dari Tuhan masih bisa digambarkan (yaitu sebuah eksistensi yang selain mempunyai semua sifat-sifat Tuhan juga mempunyai keberadaaan yang riil. Dan ini mungkin melalui definisi Tuhan tersebut atau melalui wujud yang superior dan sempurna”. (Kulliyat-e Falsafeh, hal. 238)       
Thomas Aquinas
Santo Thomas Aquinas (1225-1274), yang terkadang dipanggil sebagai Doktor Angelic dan Pangeran Skolastik, adalah seorang filosof dan teolog berkebangsaan Italia. Dengan karya-karyanya, ia menjadi figure yang paling penting dalam filsafat Skolastik dan seorang teolog Roman Katolik yang unggul.      Aquinas beranggapan bahwa seluruh burhan (argumen) untuk membuktikan eksistensi Tuhan adalah burhan apriori (inni). Lantaran ia percaya bahwa tiada satupun yang dapat menduduki posisi sebab bagi Tuhan. Dan Tuhan adalah wujud yang seutuhnya tanpa sebab. Apabila Tuhan eksis, maka selain-Nya merupakan akibat dari keberadaan-Nya. Tuhan secara mutlak ada (yakni secara esensial bukan non-esensial). Aquinas mengemukakan lima jalan dan argumen apriori (inni) untuk mengitsbat dan membuktikan wujud Tuhan, dimana seluruhnya adalah makhluk-makhluk yang menjadi media untuk membuktikan wujud Tuhan. Kelima argumen apriori tersebut antara lain:
1.       Argumen gerak
2.       Argumen sebab pelaku
3.       Argumen kontingen dan wujub (necessity)
4.       Arguman gradasi kesempurnaan
5.       Argumen keteraturan

Gottfried Wilhelm Leibniz, juga Leibnitz, Baron Gottfried Wilhelm von (1646-1716) yang merupakan filosof, matematikawan dan negarawan Jerman ini dipandang sebagai salah satu dari supreme intellects abad ke-17. Ia menyuguhkan beberapa argumen filosofis tentang Tuhan. Warna filsafat Leibniz boleh disebut sebagai filsafat theocentric. Kalimat ini tentu saja tidak hanya menyiratkan makna bahwa Tuhan dalam filsafat Leibniz sangat signifikan. Namun juga bermakna, bahwa seluruh alam semesta memiliki satu sentral. Sentral ini memiliki spirit yang paling paripurna. Spirit atau ruh tersebut itu adalah Tuhan. Tuhan di mata Leibniz merupakan ruh keseluruhan untuk keseluruhan alam semesta. Keberadaan semesta bersumber dari titik sentral ini. Tetapi poin ini dengan sendirinya merupakan sebab bagi dirinya. Leibniz mengkonsepsikan Tuhan sebagai sentral alam. Dan konsepsi ini kurang-lebihnya ia adopsi dari Ramon Laul dan Spinoza. Dalam definisi ini, makhluk-makhluk Tuhan merupakan hasil dari sifat penciptaan, yang bersumber dari kekayaan Tuhan Sang Pencipta. Bahkan Leibniz tidak mengelak untuk berkata bahwa Tuhan itu adalah substansi dan makhluk itu adalah aksiden. Dia juga berkata:“Makrifat kepada Tuhan merupakan awal dari filsafat, dan realitas-realitas azali itu adalah sifat Tuhan. Sifat inilah yang membentuk tatanan hikmah yang benar. Makrifat atau hikmat merupakan satu cahaya esensial kalimat Allah yang perennial dan eternal. Dan merupakan sumber dari segala hikmat dan segala cahaya dan sejatinya sumber segala wujud dan keberadaan serta seluruh fenomena. Tanpa adanya iluminasi dari cahaya ini, tidak seorangpun yang dapat meraup iman yang hakiki. Dan tanpa iman hakiki kebahagiaan mustahil dapat dicapai. (Falsafeye Leibniz, hal. 430)Mengenal Tuhan merupakan perkara yang paling mudah dan sekaligus paling pelik. Dalam perjalanan cahaya ini, pengenalan pertama ini merupakan pengenalan yang mudah. Dan pada lintasan bayangan-bayangan akhir ia merupakan pengenalan yang paling akhir dan paling sukar. Kebanyakan pengenalan kita melalui bayang-bayang ini; dari sisi sejarah, bahasa, kebiasaan manusia dan kebiasaan semesta. Ada beberapa  argumen yang didemonstrasikan oleh Leibniz dalam mengitsbat (membuktikan) wujud Tuhan. Namun di sini kita hanya menunjukkan beberapa dari argumen tersebut:
1.    Bukti gerak (Penggerak dan yang digerakkan)   
Dalil ini merupakan dalil yang digunakan Aristoteles dalam mengitsbat wujud Tuhan yang dikenal oleh Leibiniz lewat Thomas Aquinas. Ia berkata: “Materi sebagaimana ia materi, tidak memiliki tuntutan untuk bergerak. Dan kekuatan yang tersimpan dalam materi (matter) tidak memiliki preferensi untuk bergerak. Dengan kehadiran gerakan yang menjadi akibat atas gerakan sebelumnya, dan gerakan yang akan datang menjadi akibat atas gerakan sekarang, silsilah ini, ujung-ujungnya harus berakhir pada satu tempat. Dan apabila tidak dalil untuk bergerak maka gerakan belumlah menjadi jelas. Oleh karena itu, dimensi yang lengkap seluruh maujud haruslah maujud yang wajib, bukan maujud-maujud natural. Dan maujud wajib ini merupakan dalil pamungkas atas seluruh maujud yang disebut sebagai Tuhan.  
Bukti wujub (necessity) dan imkan (contingen)
Realitas ini menegaskan bahwa sesuatu yang ada tersimpan sebuah keharusan. [lantaran kontingen relasi antara ada dan tiadanya adalah setara. Dan apabila ia tidak menjadi wajib, maka ia tidak akan pernah mengada]. Oleh karena itu, apakah seluruh maujud bersifat mesti (dharuri) atau sebab pamungkasnya yang bersifat mesti (dharuri). Oleh karena itu, pastilah satu dari sekian maujud yang ada ini yang bersifat mesti, dan wujud tersebut adalah Tuhan.
Bukti yang bersandar pada realitas-realitas primordial
Leibniz menulis bahwa: “Apabila pada setiap esensi atau kontingen atau realitas primordial (azali) bersemayam sebuah hakikat, maka hakikat ini harus bersandar pada maujud yang aktual. Artinya ia bersandar pada sebuah maujud yang mesti, dimana di dalamnya esensi menjadi inherensi wujud atau kontingenannya maujud tersebut, yang menjadikannya mesti mengaktualkannya.  
4.    Argumen wujud
Leibniz mendukung argumen wujud dan menerapkannya dalam membuktikan wujud Tuhan; lantaran proposisi bahwa “Tuhan itu ada” merupakan sebuah proposisi yang mesti (dharuri). Karena, sebagaimana Descartes dan Santo Anselm, Leibniz memandang bahwa wujud itu bersumber dari kesempurnaan. Kendati ia berbeda dengan Descartes dalam memaparkan argumen ini. Ia menulis bahwa, “Kita tidak dapat mengambil sebuah konklusi dari konsepsi kita ihwal sebuah maujud yang memiliki kesempurnaan dan pure sempurna bahwa maujud seperti ini haruslah ada. Lantaran pemahaman-pemahaman yang tersimpan dalam benak kita boleh jadi bersifat mubham (kabur). Oleh karena itu kita tidak dapat bersandar pada dalil ini yang menkonsepsikan sebuah maujud yang memiliki kesempurnaan.” Tetapi, Leibniz berkata bahwa wujud  atau ada itu tidak memiliki predikat esensial. Tetapi proposisi bahwa “Tuhan itu ada”  merupakan perkara eksepsional (pengecualian).
Immanuel Kant
Immanuel Kant (1724-1804) adalah salah seorang filosof besar Barat. Kant memberikan empat batasan metodelogi untuk membuktikan wujud Tuhan. Kendati ia mengajukan kritik terhadap argumen-argumen yang mengitsbat eksistensi Tuhan dalam ranah theoretical reason (akal teoritis), namun sepenuhnya percaya pada argumen-argumen moral (practical reason) dalam membuktikan wujud Tuhan. Kant dalam domain akal teoritis membagi argumen-argumen dalam membuktikan wujud Tuhan menjadi tiga bagian:
1.       Argumen natural – teologikal atau teleologikal: Dalam argumen ini bertitik-tolak pada eksperimentasi tipikal dan tertentu dari fitrah khusus alam kendriya (inderawi) dan sesuai dengan hukum kausalitas dalam membuktikan wujud Tuhan. Atau dengan ungkapan lain, Tuhan dapat dipahami dan diketahui melalui sistemik dan tertatanya alam semesta bahwa Dia adalah Sebab Pertama.
2.       Argumen kosmologikal: dalam argumen ini melalui pengalaman-pengalaman yang tidak tipikal dan khusus yaitu huduts (baru) dan imkan (kontingen) alam semesta atau segala sesuatu yang ada di alam semesta, setidaknya  keberadan seseorang dan kemudian dapat diketahui keberadaan wajib al-wujud
3.       Argumen ontologikal: Dalam argumen ini wujud Tuhan dapat dibuktikan dengan menganalisa pahaman kesempurnaan mutlak.    Argumen yang diintrodusir oleh Kant merupakan argumen yang dapat menuai hasil dalam membuktikan wujud Tuhan.  Dalam argumen moral ini, melalui pahaman “harus” moral “eksis” dan “ada” wujud Tuhan dapat dibuktikan.

Daftar Pustaka
Madjid, Nurcholish. 1995. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina Press
Rakhmat, Jalaluddin. 1991. Islam Aktual. Jakarta: Mizan
Poerwadarminta. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka
Hanafi, M. 2009. Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Departemen Agama RI


  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Nilai-Nilai Dasar Kepercayaan Hakikat Tuhan Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda