Momentum
Polri untuk Berbenah
Oleh
Hamidulloh Ibda
Peneliti
di Centre for Democracy and Islamic Studies (CDIS) IAIN Walisongo Semarang
Tulisan
ini dimuat di Koran Radar Lampung, edisi Jumat 3 Agustus 2012
Diakui
atau tidak, drama satu babak kemarin, cukup membuat kita tersenyum kecut. Polri
akhirnya “merelakan” penanganan perkara korupsi pengadaan alat simulator
mengemudi dengan tersangka Inspektur Jenderal Pol Djoko Susilo, tetap ditangani
KPK. Sementara Bareskrim menangani kasus yang sama tapi dengan tersangka yang
berbeda, yakni pejabat pembuat komitmen proyek senilai Rp196,87 miliar itu. Apa
boleh buat, kompromi setengah hati itu pun tampaknya harus dilakukan demi
menjaga hubungan antar-institusi penegak hukum. Disebut setengah hati, karena
sesungguhnya, demi efektivitas pemeriksaan dan pemahaman secara menyeluruh atas
suatu perkara, pemeriksaan para tersangka seharusnya berada di satu tangan.
Kecuali bila perkara itu teramat kompleks dan rumit, barulah pihak yang
menangani berkoordinasi dengan institusi penegak hukum lainnya.
Suasana
tegang sempat tergambarkan dalam pemberitaan di media massa online yang
memuat kabar dari jam ke jam. Sejumlah kardus berisi barang bukti berupa
dokumen hasil penggeledahan KPK di kantor Korps Lalu Lintas (Korlantas) Mabes
Polri di Jalan MT Haryono, Jakarta Selatan, sempat tertahan hampir seharian. Alasan
Polri, barang bukti itu pun akan digunakan pihaknya yang tengah menyidik kasus
yang sama. Untuk itu, mereka menyatakan telah memeriksa 33 saksi. Ini berita
baru bagi media massa mengingat sebelum kasus ini diumumkan KPK, beberapa waktu
lalu Polri lewat Kadiv Humas-nya mengatakan bahwa kasus itu hanya permasalahan
antara kontraktor dan subkontraktor pengadaan simulator mengemudi.
Jadilah
kardus-kardus itu ditempatkan dalam suatu ruangan yang disegel dan ditunggui
petugas dari KPK dan Polri. Untungnya, “perang urat syaraf” itu berakhir dengan
diperbolehkannya barang bukti itu dibawa ke kantor KPK pada malam harinya. Kita
berharap, ini merupakan langkah awal dari niat baik para pihak dalam penanganan
kasus tersebut. Ketika KPK menghadapi halangan saat menggeledah dan akan
membawa barang bukti dari kantor Korlantas, serentak para pengamat hukum dan
penggiat antikorupsi berteriak. Ada yang menyebut sikap itu tak hanya mencoreng
institusi Polri, juga merupakan bentuk pelanggaran hukum karena
menghalang-halangi proses penyidikan.
Ada
pula yang mengatakan hal itu sebagai arogansi institusi, juga sikap yang tidak
kooperatif dalam memberantas korupsi. Pada gilirannya, mereka khawatir bakal
ada episode Cicak vs Buaya Jilid II. Tentu saja, kita semua tak ingin episode
pahit itu terulang kembali. Bagaimana pun, di era keterbukaan sekarang ini tak
ada lagi tempat bagi segala hal yang terkesan tertutup dan melanggar hukum.
Polri tidak dapat memaksakan kehendaknya dengan berbalut esprit d'corps
yang salah kaprah. Di sisi lain, KPK selaku aparat penegak hukum harus
berlandaskan pada asas praduga tak bersalah hingga akhirnya ditemukan rangkaian
peristiwa pidana yang dilengkapi dengan alat bukti yang kuat.
Kasus
ini sendiri bermula dari temuan KPK ihwal dugaan korupsi berupa penyalahgunaan
kewenangan yang dilakukan Irjen Pol Djoko Susilo saat menjabat Kepala Korps
Lalu Lintas Mabes Polri. Djoko yang kini menjadi Gubernur Akademi Polisi, per
27 Juli lalu, resmi menjadi tersangka dalam pengadaan simulator kemudi motor
dan mobil di Korlantas Mabes Polri tahun anggaran 2011. Kerugian negara dalam
kasus tersebut diduga sekitar 90-100 miliar rupiah.
Kita
berharap, pemeriksaan atas kasus itu benar-benar terang benderang. Inilah momen
yang bagus bagi Polri untuk menunjukkan kepada publik ihwal itikadnya yang kuat
dalam melakukan perbaikan internal. Kasus ini pun sekaligus menguji komitmen
Polri dalam upaya optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana
nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) yang ditekennya
bersama Kejaksaan Agung dan KPK pada 29 Maret lalu.
Perbaiki Citra
Langkah
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk “masuk” ke jantung Kepolisian Republik
Indonesia (Polri), menjadi babak baru perang melawan korupsi. Pertanyaan awal
yang segera mengemuka, akankah institusi yang selama ini sulit tersentuh itu
akan memberi cukup ruang sinergi kepada KPK untuk menuntaskan kasus yang sedang
diproses. Lalu bisakah langkah tersebut menjadi awal bagi kemungkinan
pemrosesan kasus yang lain, seperti dugaan rekening gendut sejumlah perwira.
Mantan
Kakorlantas Irjen Pol Djoko Susilo ditetapkan sebagai tersangka pengadaan
kendaraan simulator pembuatan SIM di Korlantas Polri untuk tahun anggaran 2011.
Dengan tetap menghargai asas praduga tak bersalah, kita mendorong agar Mabes
Polri dan jajarannya memberi ruang yang cukup kepada KPK membuka kasus tersebut
seterang-terangnya. Kita berpendapat, citra Polri justru akan terangkat jika
bersinergi dengan KPK untuk benar-benar melakukan pembersihan institusi.
Dari
sisi korps, bisa dibayangkan akan terjadi “korsleting” dalam hubungan KPK
dengan Mabes Polri. Penetapan status hukum seorang perwira tinggi, bagaimanapun
membentuk opini yang merepresentasikan institusi. Ketegangan dalam proses
penggeledahan oleh petugas KPK di Mabes Polri menggambarkan kondisi itu. Bahkan
sudah banyak yang mengingatkan agar jangan sampai berlangsung lagi relasi panas
Cicak vs Buaya seperti yang pernah terjadi pada tiga tahun silam.
Dalam
penegakan hukum masalah korupsi, selalu bisa digambarkan beradunya
kekuatan-kekuatan besar di balik kekuasaan. Apalagi kali ini menyangkut
kepolisian. Jelas merupakan tantangan berat bagi KPK, tetapi tidak mungkin pula
komisi antirasuah itu membiarkan berlangsungnya penyalahgunaan wewenang dan
kekuasaan di lembaga yang untouchable sekalipun. Di sinilah dibutuhkan dukungan
politik kuat dari elemen-elemen yang berkomitmen memerangi korupsi.
Sikap
KPK yang masuk ke “jantung” kepolisian itu, bagaimanapun merupakan sebuah
langkah maju dalam penegakan hukum di Tanah Air. Artinya, tidak ada yang boleh
tidak tersentuh karena merasa memiliki semua hal yang terkait dengan penanganan
masalah-masalah hukum. Pada sisi lain, kita juga berharap orang-orang atau
lembaga yang punya kekuatan akses ke pusat-pusat kekuasaan tidak justru
menggembosi langkah KPK, lewat tindakan atau pembentukan opini publik.
KPK
harus diberi dukungan kuat dan luas oleh berbagai pihak. Rakyat, melalui
elemen-elemen masyarakat sipil harus diberi akses untuk mengawal dalam
men-support KPK. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kiranya menemukan momentum
tepat dan kuat untuk menunjukkan komitmen dalam perang melawan korupsi dengan
meminta Polri agar bersinergi dengan KPK dalam membangun penyelenggaraan negara
dan pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel. Wallahu a’lam bisshawab.
0 komentar:
Post a Comment