Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Sunday 12 August 2012

Menjunjung Tinggi Etika Politik


Menjunjung Tinggi Etika Politik

Oleh Hamidulloh Ibda
Peneliti di Centre for Democrasi and Islamic Studies IAIN Walisongo Semarang
Dimuat diRadar Lampung, Kamis 9 Agustus 2012

Masalah politik memang tak pernah “basi” untuk dikaji. Politik bagaikan “perawan cantik” yang dikejar, diburu, dan didamba, karena semua kaum adam ingin memilikinya. Maka, tak heran jika banyak cara dilakukan untuk mendapatkannya. Namun, saat ini banyak politisi sudah keluar dari koridor dan etika politik. Oleh karena itu, etika politik harus dikaji dan dibumikan sejak dini. Sebab, hal ini sangat terkait kondisi terkini, apalagi saat ini banyak politisi yang “memperkosa” keperawanan politik.
Maka dari itu, sangat penting bila kita kembali menyimak Ketetapan (TAP) MPR No VI/2001 tentang “Etika Kehidupan Berbangsa” sebagai vocal point memperbaiki moral bangsa. Kehadiran TAP MPR ini berlatar belakang pada keprihatinan munculnya ancaman serius terhadap persatuan bangsa dan terjadinya kemunduran pelaksanaan etika kehidupan berbangsa, pascakrisis multidimensional di pengujung Orde Baru. Lalu, kenapa saat ini banyak politisi tak beretika? Ini tentu sudah bergeser dari cita-cita foundhing fathers bangsa ini.
Pergeseran
Pergerasan itu tampak dari konflik sosial berkepanjangan, berkurangnya sopan santun dan budi luhur, melemahnya kejujuran dan sikap amanah dalam kehidupan berbangsa, pengabaian ketentuan hukum dan peraturan, dan sebagainya. Karena itu, diperlukan upaya serius mengingatkan masyarakat dan mendorong revitalisasi khazanah etika dan moral, agar menjadi acuan dasar kehidupan berbangsa. Pergeseran cara berpolitik saat ini lahir karena kurangnya kesadaran akan berpolitik dengan santun dan bijak.
Selanjutnya, TAP MPR itu pun memaparkan panjang lebar ihwal etika politik dan pemerintahan. Pada intinya, mengandung misi kepada setiap pejabat dan elite politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, dan rendah hati. Juga siap mundur dari jabatan publik jika terbukti melakukan kesalahan dan kebijakannya bertentangan dengan hukum dan keadilan masyarakat. Secara teoritis, etika atau filsafat moral mempunyai tujuan menerangkan kebaikan dan kejahatan. Dengan demikian, etika politik memiliki tujuan menjelaskan mana tingkah laku politik yang baik dan sebaliknya. Standar baik dalam konteks politik adalah bagaimana politik diarahkan “memajukan kepentingan umum”. Jika politik sudah mengarah pada kepentingan pribadi dan golongan tertentu, itu etika politik buruk.
Euforia reformasi juga memengaruhi sikap para politisi dan pejabat negara. Di era yang “serba boleh” ini, ironisnya justru makin menunjukkan kemunduran etika politik para elite politik. Hal ini ditandai semakin menonjolnya sikap “pragmatisme” dalam perilaku politik yang hanya mementingkan kelompoknya saja. Sebenarnya, “sifat hewani” politik itu sudah berulang kali dilarang para budayawan dan filosof di masa lalu. Hanya saja wujudnya semakin nyata di masa reformasi, sebuah masa di mana kebebasan bagai pisau bermata dua. Ia bisa leluasa menusuk lawan yang tak disukai, selain bermanfaat memotong buah atau makanan untuk berbagi.
Politik yang Beretika
Karena itulah, ada beberapa acuan pokok yang harus menjadi perhatian para politisi untuk mengukur muatan etika politik dari sebuah politik atau pun kebijakan publik. Pertama, ia harus menerapkan prinsip kehati-hatian, dengan mempertanyakan secara kritis tentang latar belakang berikut “pemihakan” dari sebuah tindakan atau kebijakan. Kedua, menguasai prinsip tata kelola yang berhubungan dengan masalah etika di dalam proses pengambilan keputusan atau penentuan tindakan. Ketiga, melakukan pilihan rasional yang secara metodologis menimbang secara seksama atas manfaat dan biaya (costs and benefits) dari sebuah tindakan/kebijakan dalam rangka kepentingan umum.
Selain itu, para menteri juga harus bertanggung jawab atas tindakan bawahannya. Ia harus mengawasi kinerja para dirjen dan deputi agar tak terjadi “kongkalikong” terhadap anggaran negara. Jika ada bukti bahwa pejabat di kementerian melakukan kongkalikong, seharusnya ia dipecat. Bila ada dirjen korupsi, menterinya harus bertanggung jawab. Dengan demikian, diharapkan pengawasan melekat bisa berjalan, sehingga sistem pencegahan lebih ampuh daripada sibuk melakukan penindakan.
Di sinilah peran Ketetapan MPR tentang Etika Kehidupan Berbangsa terasa begitu penting. Mengingatkan kembali kepada setiap pejabat dan elite politik untuk bersikap jujur, amanah, siap melayani, memiliki keteladanan, dan siap mundur dari jabatan publik jika terbukti bersalah. Jika perlu, TAP itu harus dibumikan lagi, agar para politisi “melek” dan tahu tata cara berpolitik yang baik dan santun.
Persoalan etika politik merupakan hal vital dalam demokrasi. Pasalnya, setiap perbuatan manusia menimbulkan dampak sesuai dengan yang dilakukan. Perbuatan baik menghasilkan dampak baik, begitupun sebaliknya. Karena itu, sudah saatnya aktor politik di negeri ini berpolitik dengan baik, santun, dan menjunjung tinggi UUD 1945. Wallahu a’lam bisshawab.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Menjunjung Tinggi Etika Politik Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda