Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Sunday 12 August 2012

Solusi Pertikaian KPK-Polri



Solusi dari Pertikaian KPK-Polri

Oleh Hamidulloh Ibda
Direktur LAPMI Cabang Semarang,
Peneliti di Centre for Democracy and Islamic Studies IAIN Walisongo
Dimuat di Koran Wawasan, Sabtu 11 Agustus 2012

Dewasa ini, media massa masih ramai oleh perebutan kewenangan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri. Kedua lembaga ini bertikai dalam menangani kasus dugaan korupsi pengadaan simulator surat izin mengemudi (SIM) yang dilakukan Korlantas Polri pada tahun anggaran 2011. Padahal, pers sudah diminta untuk tidak memosisikan kedua lembaga itu secara head to head dalam masalah tersebut. Namun, kenyataanya tidak seperti harapan.
Memang pemerintah tidak dapat mendikte media massa, sepanjang pemberitaan tersebut telah memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik. Karena itu, resep yang paling mujarab adalah terselesaikannya “mediasi” di antara kedua lembaga tersebut serta kedewasaan dan kesadaran mereka. Yang tak boleh dilupakan dalam hal ini adalah rasa keadilan masyarakat. Karena sesungguhnya, inilah tujuan dari hukum.
Sampai hari ini, para pengamat hukum, tokoh politisi, dan beberapa kalangan masih belum melihat adanya perkembangan signifikan dari penyelesaian “sengketa” kewenangan antara KPK dan Polri. Polri masih melihat pemahaman kesepakatan untuk bersinergi dalam penanganan kasus itu dengan membagi jatah penyidikan. Sementara KPK tampaknya terpaksa menerima kesepakatan berbagi itu demi menjaga harmoni antarlembaga.
Akan tetapi, fakta ini bagaikan sebuah ironi penegakan hukum pidana di Indonesia. Pasalnya, bagaimana mungkin peristiwa pidana yang sama diberkaskan oleh dua penyidik dari lembaga berbeda? Tentu sangat lucu dan tidak masuk akal. Seperti diketahui, sengketa kewenangan penyidikan ini mencuat setelah terungkapnya kasus dugaan korupsi pengadaan simulator ujian SIM di Korlantas Polri pada 2011 senilai Rp196 miliar. Kerugian negara dalam kasus ini ditengarai sekitar Rp 100 miliar.
Yang menjadi sorotan dalam kasus ini adalah dugaan keterlibatan anggota Polri, bahkan termasuk petinggi di Korlantas, yakni Irjen Pol Djoko Susilo (eks Kepala Korlantas Polri) dan Brigjen Pol Didik Purnomo (Wakil Kepala Korlantas Polri). Tak heran bila proses penggeledahan dan penyitaan dokumen di kantor Korlantas sempat diwarnai dengan perang urat syarat, hingga akhirnya mereda setelah petinggi kedua institusi penegak hukum itu bertemu dan sepakat bersinergi dalam proses penyidikan.
Namun, persoalan berlanjut pelik dan panjang. Polri menyatakan bahwa tersangka Djoko Susilo merupakan jatah KPK, karena sudah berstatus tersangka oleh KPK, sedangkan untuk tersangka lainnya merupakan jatah Polri. Dalam kasus tersebut, KPK telah menetapkan empat tersangka. Mereka adalah Irjen Pol Djoko Susilo, Brigjen Pol Didik Purnomo, Budi Susanto (Presiden Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi), dan Sukotjo Bambang (Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia).
Sementara Bareskrim Mabes Polri, hanya dalam hitungan hari langsung menetapkan lima orang tersangka. Tiga di antaranya juga berstatus tersangka di KPK, yakni Brigjen Didik, Budi Susanto, dan Sukotjo Bambang. Dua tersangka lain adalah AKBP Teddy Rismawan dan Kompol Legimo. Mereka pun sudah ditahan di rumah tahanan Polri.
Lihatlah, bagaimana mungkin untuk satu perkara dengan tersangka yang sama diberkaskan oleh dua penyidik dari institusi yang berbeda. KPK berpendapat bila pihaknya yang berhak menyidik dengan berlandaskan pada Pasal 50 ayat (3) UU KPK. Di situ disebutkan, kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang melakukan penyidikan terhadap kasus tindak pidana korupsi yang telah dilakukan KPK. Menurut KPK, pihaknya telah mengusut kasus itu sejak Januari 2012. Lantas, pada 27 Juli 2012, mereka menetapkan Djoko dkk sebagai tersangka. Di lain pihak, Mabes Polri baru bergerak setelah kasus ini merebak di media pada April 2012. Sementara itu, Polri pun punya alasan. Pihaknya mempunyai status yang jelas dalam penegakan hukum sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 30 UUD 1945.
Menanggapi perdebatan itu, mayoritas pengamat dan ahli hukum, terlebih-lebih para penggiat antikorupsi, berpendapat bahwa penanganan kasus korupsi yang melibatkan anggota Polri bahkan jenderal bintang satu dan bintang dua, seharusnya ditangani KPK. Untuk Polri, tak perlu “ikut campur” menanganinya. Kenapa demikian? Ada beberapa alasan logis, yakni Pasal 50 ayat (3) UU KPK, serta menghindari konflik kepentingan dan imparsialitas mengingat tersangkanya adalah anggota Polri, bahkan petinggi di Polri.
Semua orang berharap, para pihak bersengketa tersebut dapat membuka diri mencari penyelesaian terbaik dan secepatnya. Berbagai ketentuan peraturan perundangan, bahkan konstitusi, yang diajukan hendaknya dikembalikan pada tujuan hukum itu sendiri. Tujuan hukum itu bersifat universal, yakni menciptakan ketertiban, ketenteraman, kedamaian, kesejahteraan, dan kebahagiaan dalam tata kehidupan bermasyarakat. Semoga perdebatan ini berakhir dengan melihat kembali pada asas keadilan dan manfaatnya bagi masyarakat, bukan justru melakukan hal bodoh yang merugikan. Wallahu a’lam bisshawab.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Solusi Pertikaian KPK-Polri Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda