RPP Tembakau dan Kegalauan Petani
Dewasa
ini, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Tembakau banyak menuai penolakan. Meskipun
banyak petani menolak, namun pemerintah tetap bersikukuh menggolkan RPP
tersebut. Banyak kalangan yang menilai RPP itu akan mencekik petani tembakau. Mengenai hal tersebut, Wakil Menteri Kesehatan
(Wamenkes) Ali Ghufron berpendapat, bahwa masyarakat banyak yang tidak paham
dengan peraturan tersebut (Media Indonesia, 9/7/2012). Jadi, mereka umumnya
khawatiran yang berlebihan atau “galau” atas RPP itu.
Walau
demikian, menurut Wamenkes, hal itu bukanlah suatu masalah, sebab masih wajar
jika di dalam dunia demokrasi terdapat perbedaan pendapat. Di negara
demokratis, pemikiran kemudian penyampaian aspirasi saya kira merupakan hal
yang lumrah. Tapi, perlu satu pemberitahuan yang tepat dan benar mengenai isi
dari RPP itu.
Wamenkes
Ali merasa yakin jika peraturan itu tak akan mengganggu usaha petani tembakau
yang sudah menjadi salah satu budaya bangsa Indonesia. Pasalnya, RPP Tembakau
tidak melarang orang menanam tembakau, tidak melarang orang menjual rokok,
untuk produksi rokok. Bahkan. orang merokok itu enggak dilarang, maka sah-sah
saja jika RPP ini disahkan.
Penolakan
Meskipun cukup logis alasan dari
pemerintah, namun RPP ini tetap menuai penolakan. Maka, tak ayal jika sekitar 5.000
massa yang tergabung dalam Koalisi Nasional Penyelamat Kretek (KNPK) melakukan
aksi di depan Kementerian Kesehatan, Kemenkumham, dan Kemenko Kesra
(Kompas, 3/7/2012). Koalisi Nasional Penyelamat Kretek (KNPK) merupakan
gabungan dari Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), KASBI, KPO PRP,
PPAJ, APCI, dan FPRK. Mereka menilai, bahwa RPP tersebut akan merugikan petani
dan industri rokok. Atas dasar itulah mereka melakukan aksi besar-besaran.
Logika KNPK menolak pengesahan
RPP Tembakau Revisi UU 36/2009 tentang kesehatan di Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia, didasarkan karena RPP tembakau akan mencederai masyarakat yang
menggantungkan hidupnya di sektor tembakau. Selain itu, banyak juga kalangan
yang menilai perumusan RPP Tembakau sangat konfrontatif.
Padahal, RPP Tembakau seharusnya
selesai dibahas dan ditetapkan sebagai Peraturan Pemerintah (PP) maksimal 13
Oktober 2010. Berdasarkan UU Kesehatan No 36/2009, semua peraturan pelaksanaan
UU sudah harus selesai paling lambat satu tahun sejak tanggal diundangkan. Penyusunan RPP Tembakau merupakan amanat Pasal
116 UU No 36/2009 yang menyatakan, pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif
ditetapkan dengan PP.
Salah satu isi draf RPP Tembakau
yang krusial adalah perusahaan rokok dilarang menerbitkan iklan rokok dalam
bentuk apa pun dan dilarang mensponsori acara. Penjualan rokok juga dibatasi
dan semakin diperketat seperti larangan dikonsumsi anak usia di bawah 18 tahun
dan larangan untuk perempuan yang sedang hamil serta larangan dijual secara
eceran. Isi draf ini dinilai sebagai “ancaman‘ bagi pengusaha rokok dan petani
tembakau. Jika pabrik rokok menurun, maka ada sekitar 600 ribu orang yang bakal
terancam penghidupannya. Angka ini merujuk pada data Kadin tahun 2008. Rinciannya,
304.964 orang terserap di industri rokok menengah dan atas. Lalu 185.826 orang
di perusahaan kecil dan 79.342 orang di rumah tangga (Jurnas, 9/7/2012).
Solusi
Dalam persoalan ini, langkah
terbaik paling baik tentu pendekatan win-win solution, mengedepankan
dialog, dan merumuskan langkah konstruktif. Prinsip menjaga dan meningkatkan
kualitas kesehatan masyarakat tetap penting ditegakkan. Sebab , pelbagai data
menunjukkan dampak buruk rokok sudah meluas. Tidak hanya bagi orang dewasa,
tetapi bahkan sudah kepada anak-anak. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS)
jumlah perokok pemula, umur 5-9 tahun, naik secara signifikan. Hanya dalam tiga
tahun (2001-2004) persentase perokok pemula naik dari 0,4 menjadi 2,8 persen. Hasil penelitian LPKM Universitas Andalas di
Kota Padang menunjukkan, lebih 50 persen responden memulai merokok sebelum usia
13 tahun. Intinya, usia anak merokok telah bergeser dari usia belasan tahun,
kini menjadi 5-9 tahun atau rata-rata usia 7 tahun.
Ini jelas memprihatinkan. Tentu,
keberadaan regulasi yang lebih ketat dan bisa menekan sekecil mungkin dampak
buruk semacam ini, sangat dibutuhkan. Tidak kita bayangkan anak-anak kita di
bawah usia 10 tahun sudah keracunan aneka zat beracun dari rokok. Sementara
itu, industri di sektor perkebunan tembakau dan rokok kretek, yang bersifat
padat karya, juga penting dilindungi. Selain membantu menyerap tenaga kerja,
juga sebagai salah satu sektor penyumbang pajak potensial.
Nah, untuk menjembatani pertemuan
dua kepentingan ini sehingga bisa sejalan, komunikasi dialogis perlu dijalin.
Ada suara-suara terutama di kalangan petani dan pengusaha, masih ada elemen
yang belum terwakili. Mungkin elemen yang benar-benar representatif perlu
diajak bicara, bila memang selama ini belum mendapat kesempatan. Ancaman,
tindakan yang cenderung destruktif, dan suasana konfrontatif, jelas opsi yang
harus ditinggalkan. Sebab selain tidak produktif, juga berpotensi melanggar
undang-undang. Wallahu a’lam sshawab.
0 komentar:
Post a Comment