Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Wednesday 29 August 2012

Kekerasan di Sampang


Oleh Ida Pitalokasari 
Sekretaris Direktur HI Study Centre IAIN Walisongo Semarang

Tragedi mengenaskan masih saja menghiasi negara yang baru saja memperingati hari jadi ke-67 tahun pada 17 Agustus lalu. Penyerangan yang menelan korban jiwa dan pembakaran rumah yang menyebabkan ratusan orang mengungsi membuat kita mengurut dada kecewa. Minggu (26/8), di saat rakyat Indonesia masih dalam suasana memperingati HUT kemerdekaan dan halal bi halal Idul Fitri 2012, kita dikejutkan dengan tragedi Sampang, Madura, Jawa Timur.
Komunitas Syiah di Dusun Nangkernang, Karang Gayam, Sampang, diserang warga lain. Ada korban tewas dan ada pula yang kritis. Itu peristiwa kedua di Sampang sejak meletus kasus serupa pada Desember 2011. Masyarakat prihatin, sangat prihatin, karena masyarakat amat mudah main hakim sendiri, dengan gampang menjatuhkan vonis bersalah lalu mengeksekusi.
Peristiwa Sampang itu untuk kesekian kali menunjukkan pemerintah tidak hadir melindungi warga, terutama kaum minoritas. Padahal, negara seharusnya tidak boleh
bertindak diskriminatif terhadap warga negara atas kasta-kasta berdasarkan agama, ras, atau warna politik.
Tragedi Sampang ini seharusnya membuat pemerintah bertindak antisipatif. Apalagi ada hal yang dirasakan mudah memantik konflik. Korban penyerangan saat itu, Tajul Muluk, pemimpin komunitas Syiah Sampang, malah dipenjara dua tahun dengan tuduhan penistaan agama. Pemenjaraan Tajul Muluk bukan mustahil menimbulkan anggapan bahwa penyerangan terhadap kelompok Syiah itu sah dan benar. Karena itu, mengulangi penyerangan juga sah dan benar.
Pemerintah Tak Serius
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kemarin, menggelar rapat khusus dengan para pembantunya di bidang keamanan membahas kasus Sampang. Presiden menilai kinerja intelijen kurang optimal. Apalagi, teror terhadap warga Syiah sudah berulang-ulang terjadi dan seharusnya mendapat perhatian khusus.
Presiden juga meminta jajaran penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, maupun Mahkamah Agung, untuk benar-benar menegakkan hukum secara tegas dan adil.
Ketiadaan ketegasan dan keadilan, kata Presiden, akan memancing kekerasan serupa muncul di masa depan.
Seusai rapat dengan Presiden, sejumlah menteri dan Kapolri ke Sampang. Itulah ritual pejabat kita. Setelah terjadi tragedi, setelah terjadi musibah, barulah ramai-ramai meninjau lokasi perkara. Kebiasaan meninjau lokasi kejadian bukanlah hal yang jelek. Namun, itu mesti disertai tindakan menangkap penyerang. Setiap perusak, setiap perusuh, dan setiap pembunuh harus ditangkap, diadili, dan dihukum.
Namun, yang terpenting di atas segala tindakan kekerasan itu ialah menciptakan negeri yang damai, yang harmoni, jauh dari segala bentuk konflik atas nama apa pun. Harmoni dicapai bukan dengan merelokasi korban penyerangan, melainkan dengan menciptakan iklim menerima perbedaan sebagai anugerah, bukan musibah. Warga negara Indonesia boleh tidak menyukai pemimpinnya yang tidak tegas, tetapi tidak boleh kehilangan rasa cinta kepada negeri ini hanya karena ulah segelintir orang yang merasa lebih berhak atas Republik ini.
Ketegasan Pemerintah
Kekerasan berdimensi di Sampang ini hanya meninggalkan duka dan luka mendalam. Kekerasan itu mengakibatkan 1 korban tewas, 37 unit rumah terbakar, 1 polisi dan 5 warga biasa terluka (Kompas, 27/8). Kasus ini harus segera bertindak cepat. Jika tidak, maka kasus kekerasan lain pasti akan menyusul.
Kekerasan di Sampang ini merupakan bukti “ketidakseriusan pemerintah” dalam mengawal pertikaian di seluruh wilayah Indonesia. Jangan sampai, kekerasan menjadi prioritas utama dalam menuntaskan permasalahan. Ini menunjukkan kealpaan pemerintah dalam menjaga perdamaian.
Padahal, ada sebanyak 33 SSK Brimob dari Surabaya dan Brimob Pamekasan, dibantu pasukan Sabhara sebanyak 200 personel, pasukan Polres Sampang sebanyak satu peleton, dan pasukan Polres Pamekasan sebanyak satu peleton diterjunkan ke lokasi konflik. Mereka berada di sana hingga kondisinya benar-benar aman. Namun, kenapa penegak hukum juga “lemot” dalam mengawal kekerasan. Padahal, potensi kekerasan dapat diantisipasi sejak dini.
Maka dari itu, harus ada upaya serius untuk menghentikan aksi kekerasan terhadap penganut Syiah di Sampang, Harus dihentikan. Itulah kata tegas yang harus direalisasikan pemerintah. Kekerasan ini telah merenggut jiwa dan harta benda serta terjadinya kekejaman berupa pembakaran tempat tinggal. Tidak ada ajaran agama apa pun yang mengajarkan hal demikian, apalagi agama Islam yang selalu menjunjung tinggi perdamaian. Karena itu, pemerintah dan penegak hukum seharusnya tegas dalam menindak pelaku kekerasan. Jangan sampai mereka menyembelih HAM dengan seenaknya.
Di sisi lain, para ulama dari MUI, NU, Muhammadiyah, dan pemuka masyarakat Sampang dan Jawa Timur agar kembali ke tata cara ukhuwah islamiyah yang sebenarnya.Karena ideologi tidak bisa hilang dengan kekerasan, tetapi dengan dakwah dan hikmah. Untuk kelompok Syiah, mereka juga harus menjaga diri sekaligus menempatkan diri. Wallahu a’lam.
Tulisan ini dimuat di Harian Nasional WASPADA Medan, 29 Agustus 2012.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Kekerasan di Sampang Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda