Menggugat Wamen
Oleh Hamidulloh Ibda
Peneliti di Centre for Democrasi and Islamic Studies
IAIN Walisongo Semarang
Tulisan
ini dimuat di Koran Wawasan hal 4, edisi
11 Juni 2012.
Berbagai kontroversi
mewarnai negeri ini sejak awal digulirkannya ide Wakil Menteri (Wamen) sampai
ditetapkannya 20 orang wamen dalam kabinet Presiden SBY.
Pasalnya, keberadaan wamen dianggap menguras anggaran Negara dan
bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945. Dengan adanya wamen, maka menyedot
uang Negara. Bayangkan saja, fasilitas take
home pay satu menteri saja sebesar Rp 619 juta setahun. Bagaimana kalau 20
wamen? tentunya lumayan besar. Harusnya ini dialokasikan untuk kebutuhan lain
(Republika, 7/6/2012). Selain itu, posisi wamen berpotensi menimbulkan konflik dengan menteri.
Maka, tidak heran jika muncul kontroversi di negeri ini.
Sebelumnya, banyak
gugatan dilakukan, seperti Yusril Ihza Mahendra yang menggugat
jabatan wamen ke Mahkamah Konstitusi (MK). Yusril berharap jabatan wamen
ditiadakan dari pemerintahan. Logika menolak wamen didasarkan bahwa posisi itu
akan menghamburkan uang Negara. Hal ini juga diungkapkan Gerakan Nasional Anti
Tindak Pidana Korupsi (GN-PK), mereka menilai jabatan wamen memboroskan uang
negara. (VIVAnews, 5/6/2012). Sebelumnya, GN-PK sudah menggugat MK, mereka
menilai Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 bertentangan dengan UUD 1945. Jabatan
itu tidak diatur dalam Pasal 17 UUD 1945 yang mengatur masalah kementerian negara.
Polemik
Ada beberapa kalangan
yang setuju dan menolak jabatan wamen. Alasan mereka juga berbeda dan sama-sama
kuat. Di sisi lain berpendapat, bahwa putusan MK itu mengakui dan menegaskan
pengangakatan menteri atau wamen merupakan hak konstitusional Presiden. Jadi, jabatan
menteri dan wamen adalah konstitusional serta sesuai dengan UUD 1945. Dengan
adanya putusan MK itu, sama sekali tak bisa ditafsirkan bahwa jabatan wamen
menjadi tidak sah, atau batal demi hukum.
Dengan begitu, pasal 10
UU Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara, yang menyebutkan bahwa “Dalam
hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden
dapat mengangkat Wakil Menteri pada Kementerian tertentu.” Maka, hal ini
dinilai sah dan berlaku, karena tidak bertentangan dengan UUD 1945. Yang
dipersoalkan pada putusan MK adalah aspek implementasi dari kewenangan Presiden
dalam mengangkat wamen. Sebab, pada prakteknya, ternyata Presiden mengangkat wamen
bukan hanya dari kalangan pejabat karir atau PNS. Padahal, penjelasan pasal 10
UU tentang Kementerian Negara menyebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan “Wakil
Menteri” adalah pejabat karir dan bukan merupakan anggota kabinet.”
Menurut putusan MK,
justru penjelasan Pasal 10 itu menimbulkan masalah hukum, sekaligus membatasi
kewenangan konstitusional Presiden dalam mengangkat menteri atau wamen.
Penjelasan pasal 10 membatasi kategori posisi wamen yang hanya bisa diduduki
pejabat karir. Menurut putusan MK lagi, seharusnya kewenangan konstitusional
Presiden dalam mengangat menteri ataupun wamen tidak boleh dibatasi. Menteri
atau wamen bisa dari pejabat karir atau PNS, namun bisa juga dari kalangan non
pejabat karir, bahkan bisa dari kalangan warga biasa, kalau dinilai memenuhi
kualifikasi jabatan tersebut. Namun, meskipun demikian, problem ini semakin
berbelit dan menuai polemik.
Terlepas dari polemik
itu, sebelumnya Rusman Heryawan juga rela bila ia tidak menjadi wamen. Begitu
pula Deny Indrayana sempat berkelakar tentang apapun keputusan MK, ia siap menerimanya
melalui plesetan lagu Bob Marley “No Woman No Cry” menjadi “No Wamen No
Cry”. Secara tidak langsung, Denny tidak membutuhkan posisi wamen,
artinya ia menyerahkan semua itu kepada putusan MK.
Maka dari itu, problem
ini harus segara diselesaikan. Artinya, pemerintah harus segera menuntaskan
kasus ini dengan langkah strategis. Logikanya, setiap pengambilan keputusan
baik yang dilakukan Presiden atau MK harus selaras dengan konstitusi dan UUD
1945. Jika inkonstitusinal, maka segala keputusan harus ditolak.
Kembali
ke Konstitusi
Pada dasarnya, jabatan wamen
sebagaimana termaktub dalam pasal 10 UU Nomor 39/2008 tentang Kementerian
Negara adalah konstitusional, sah, dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Yang
menjadi masalah adalah penjelasan pasal 10 yang bertuliskan, "Yang
dimaksud dengan Wakil Menteri adalah pejabat karier dan bukan merupakan anggota
kabinet."
Kalau kemudian presiden
tetap mengangkat wamen kembali, berarti hal itu inkonstitusional. Dengan
demikian, posisi wamen harus segera dikaji ulang. Selain itu, Presiden harus
tetap menghormati dan mentaati putusan MK. Sebagai kebijakan dan langkah-langkah
konkrit berikutnya, tentunya Presiden akan menyesuaikan berbagai Keputusan
Presiden tentang pengangkatan para wamen dengan putusan MK itu.
Konsekuensi lain dari
putusan itu, pemerintah harus mengubah Keppres wamen, sehingga kewenangan
eksklusif Presiden dalam hal pengangkatan
pembantu menteri itu bisa berjalan
sebagaimana mestinya. Dengan putusan
MK itu, Presiden juga bisa
mengangkat wamen dari berbagai kelompok,
seperti profesional, partisan, dan nonpartisan. Wallahu a’lam bissawab.
0 komentar:
Post a Comment