Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Sunday 12 August 2012

Mendamba Pemimpin "Visioner" DKI Jakarta


Mendamba Pemimpin "Visioner" DKI Jakarta

Oleh Hamidulloh Ibda
Peneliti Centre for Democracy and Islamic Studies (CDIS) Semarang, Jawa Tengah
Dimuat di Media Indonesia
Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) DKI Jakarta sudah di depan mata. Pemilukada ini merupakan momentum penting untuk perbaikan Ibu Kota lima tahun ke depan. Semua harapan warga DKI digantungkan kepada siapa saja yang akan terpilih menjadi Gubernur. Pasalnya, ibarat kapal yang berlayar, “mau dibawa ke mana” kapal tersebut ada di tangan nahkoda kapal, begitu pula dengan Jakarta. Jika pemimpinya “visioner” dan amanah, maka Jakarta akan maju. Namun jika sebaliknya, maka Jakarta akan menjadi kota tertinggal. Padahal, Jakarta merupakan Ibu kota negara dan menjadi kiblat bagi kota di seluruh Indonesia.
Perlu diketahui, keberhasilan dan kemajuan Jakarta sangat tergantung pada perilaku pemimpin dan warganya. Pemimpin punya pengaruh besar, tetapi tanpa relasi memadai antara pemimpin dan pengikutnya, masyarakat tak dapat berkembang menjadi lebih baik.
Robert Kelley (1992) menjelaskan, followership (kepengikutan) menggunakan dua dimensi kualitas pengikut; independen dan berpikir kritis versus dependen dan berpikir tidak kritis; tingkah laku aktif versus pasif. Orang independen dan pemikir kritis mampu berpikir lebih tajam, dalam, dan luas. Mereka tak terpaku pada panduan dan prosedur, menyadari dampak tindakan, berkehendak kreatif dan inovatif, serta menawarkan kritik konstruktif. Maka dari itu, pemimpin untuk Jakarta ke depan harus memiliki “visi misi” jelas, dari visi tertulis dan praktek. Kenapa demikian? karena selama ini banyak pemimpin memiliki visi bagus, namun hanya sekadar wacana dan janji manis belaka. Mereka miskin aksi dan kepedulian untuk pengikutnya.
Memotong Pragmatisme
Disadari atau tidak, praktik politik uang sering menghiasi di setiap Pemilukada. Bahkan, hal ini menjelma menjadi “serangan fajar” dan “serangan dhuha”. Padahal, hal ini justru membentuk pola pikir  masyarakat menjadi pragmatis. Apalagi, warga Jakarta tergolong berkarakter pragmatis. Hal ini seakan membuktikan bahwa “politik uang” menjadi menu utama ketika pemilu. Ibarat orang kehausan, uang menjadi “obat” dan pengganti air. Sungguh ironis sekali fenomena ini.
Sebetulnya, masyarakat pragmatis memiliki kelebihan, tetapi tergantung situasi. Orang tipe ini sedikit mirip ”politikus”, tergantung angin dan menggunakan gaya kerja apa pun demi memuluskan agenda sendiri dengan risiko minimal. Sisi positifnya, saat masyarakat mengalami masa sulit, jamaah pragmatis dapat berkontribusi karena tahu cara mempekerjakan sistem untuk menyelesaikan persoalan. Sisi negatifnya, mereka memainkan politik, aturan, dan regulasi serta melakukan penyesuaian demi keuntungan pribadi.
Sebagai jamaah pragmatis, kebanyakan warga Jakarta memilih berada di tengah jalan. Sesekali mengkritik pemerintah dengan tidak terlalu terbuka. Mereka menampilkan tugas yang diwajibkan, tetapi jarang lebih dari yang diharapkan; hidup dengan slogan, ”lebih baik selamat daripada menyesal”. Maka, hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemimpin baru ke depannya untuk merubah pola pikir masyarakat Jakarta yang pragmatis menjadi idealis.
Tugas Pemimpin Visioner
Kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi aktifitas sebuah kelompok yang diorganisasi menuju arah pencapaian tujuan tertentu (Rauch&Behling, 1984:46). Berkaca dari pengertian ini, pemimpin Jakarta ke depan harus mampu mensinergikan visinya dengan kepentingan masyarakat. Artinya, jika visi pemimpin Jakarta tidak sesuai dengan basic need warga Jakarta, maka ia akan mengalami kesulitan dalam memimpin.
Siapa saja yang terpilih dalam Pemilukada nanti, dia harus membawa perubahan dan menjadi pemimpin visioner, yaitu pemimpin yang memiliki visi misi dan pemetaan perubahan Jakarta. Jika tidak visioner, maka lebih baik para calon lebih baik mundur sekarang juga. Kenapa demikian? Karena hanya pemimpin visioner yang mampu membawa perubahan.
Gaya kepemimpinan Jakarta harus beda dengan yang lain. Pemimpin Jakarta harus membangun kepercayaan dan menunjukkan adanya kesempatan, menggugah dan menginspirasi rakyat dengan visi masa depan. Agar lebih efektif, pemimpin Jakarta perlu melibatkan masyarakat serta menyumbangkan pikiran kritis dan inovatif mereka. Jakarta yang memiliki warga dengan beragam budaya politik membutuhkan pemimpin visioner yang mampu menampilkan respek terhadap berbagai perbedaan (ras, jender, etnis, orientasi seksual, usia, karier, gaya, dan sebagainya).
Davis dan Newstrom (1995) menjelaskan bahwa pemimpin harus menghindar dari perilaku dan bahasa diskriminatif/menyerang. Dia perlu meminta opini sebanyak mungkin dari berbagai pihak dengan perspektif berbeda, menghargai perbedaan saat membuat keputusan, serta berpegang pada kebijakan yang menentang pelecehan dan kekerasan. Gubernur DKI Jakarta harus mampu mempromosikan kerjasama di antara warga dan membuat mereka bekerja bersama untuk mencapai tujuan bersama. Namun, semua itu tidak tercapai ketika pemimpinya tidak memiliki kualitas, loyalitas, dan tak jelas visinya.
Maka dari itu, yang perlu diperhatikan pemimpin Jakarta nanti adalah menciptakan perubahan. Pada intinya adalah perubahan Jakarta, karena hanya perubahan yang akan membawa Jakarta menjadi kota yang “bercahaya”. Perubahan itu meliputi bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, pendidikan, dan lain sebagainya. Atas permasalahan itu, pemimpin visioner menjadi jawaban tepat untuk mewujudkan perubahan di Jakarta. Semoga pemimpin Jakarta nanti mampu mengemban amanah tersebut. Wallahu a’lam.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Mendamba Pemimpin "Visioner" DKI Jakarta Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda