Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Monday 2 June 2014

Makalah Alih Kode dan Campur Kode



Disusun:
Dian Marta Wijayanti (0103513018)
Wahyu Ambarwati (0103513091)
Hamidulloh Ibda (0103513129)

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Komunikasi merupakan suatu peristiwa yang dialami manusia dengan berbagai bahasa. Dalam melakukan komunikasi tentunya seorang komunikator harus menggunakan bahasa yang juga dipahami oleh komunikan. Ketika seorang komunikator menggunakan bahasa yang tidak dipahami oleh komunikan maka pesan yang disampaikan oleh komunikator tidak akan sampai pada komunikan. Dalam hal ini bahasa mempunyai peranan yang sangat penting. 
 
Penguasaan bahasa yang berbeda antara dan lawan tutur seringkali membuat seorang penutur harus berganti bahasa dalam berkomunikasi agar lawan tutur dapat memahami maksud pembicaraannya makan inilah yang dimaksudkan dengan alih kode dalam berkomunikasi. Tidak hanya pergantian bahasa saja yang terjadi dalam peristiwa komunikasi, tetapi pencampuran antara dua bahasa pun sering sekali terjadi. Pencampuran bahasa ini dilakukan karena antara penutur dan lawan tutur memiliki penguasaan yang sama pada dua bahasa. Peristiwa ini yang dinamakan dengan campur kode. Pada masyarakat multilingual pergantian bahasa dan percampuran bahasa merupakan hal yang sering terjadi.

Rumusan Masalah
Apa pengertian kode, alih kode, dan campur kode?
Faktor apakah yang menjadi penanda alih kode dan campur kode dalam interaksi bahasa di masyarakat??


BAB II
PEMBAHASAN
Kode, Alih Kode, dan Campur Kode
Kode mengacu pada suatu sistem tutur yang dalam penerapannya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan mitra tutur dan situasi tutur yang ada. Kode biasanya berbentuk varian bahasa yang secara nyata dipakai untuk berkomunikasi antaranggota suatu masyarakat bahasa.
Alih kode adalah suatu gejala adanya saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan situasi relevansional di dalam pemakaian dua bahasa atau lebih.[1] Melalui kalimat yang berbeda Chaer dan Agustina mendefinisikan alih kode sebagai peristiwa pergantian bahasa dari ragam santai menjadi ragam resmi, atau juga ragam resmi ke ragam santai.[2] Appel mendefinisikan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Hymes menyatakan alih kode bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Masyarakat multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing bahasa masih cenderung mendukung fungsi masing-masing dan dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya.
Suwito (1985) membagi alih kode menjadi dua, yaitu
1.  Alih kode ekstern, bila alih bahasa, seperti dari bahasa Indonesia beralih ke bahasa Inggris atau sebaliknya dan
2.  Alih kode intern, bila alih kode berupa alih varian, seperti dari bahasa Jawa ngoko merubah ke krama.
Campur kode adalah penggunaan dua bahasa atau lebih  atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur dengan kondisi ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan (pieces) saja tanpa fungsi keotomiannya sebagai sebuah kode (Chaer dan Agustina, 2010: 107).
Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu:
1.  Campur kode ke dalam (innercode-mixing):
     Campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya
2.  Campur kode ke luar (outer code-mixing): campur kode yang berasal dari bahasa asing.
     Latar belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu
sikap (attitudinal type)
    latar belakang sikap penutur
kebahasaan(linguistik type)
latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan.

Faktor-Faktor Penanda Alih Kode dan Campur Kode dalam Interaksi Bahasa di Masyarakat

Faktor Penanda Alih Kode
Kesamaan antara alih kode dan campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan masih mempunyai otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan sengaja dengan sebab-sebab tertentu seperti yang sudah dibicarakan. Sedangkan di dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi atas keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam kode-kode tutur itu hanya serpihan-serpihan tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode.
Menurut Fishmen penyebab alih kode disebutkan antara lain (1) pembicara atau penutur; (2) pendengar atau lawan tutur; (3) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga; (4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya; (5) perubahan topik pembicaraan.[3]. Untuk memperjelas letak penanda alih kode, penulis akan memberikan contoh bentuk alih kode dalam berbagai situasi:
Alih kode karena faktor pembicara atau penutur
Alih kode untuk memperoleh keuntungan ini biasanya dilakukan oleh penutur yang dalam peristiwa tutur itu mengharapkan bantuan lawannya. Misal, seorang marketing memilih menggunakan bahasa ibu yang sama untuk mempermudah proses jual beli. Penjual melakukan alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa daerah.
Alih kode karena faktor pendengar atau lawan tutur
Lawan tutur dapat menjadi menyebab terjadinya alih kode ketika si penutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa si lawan tutur itu. Sebagai contoh Ferita adalah seorang pemandu wisata di Candi Borobudur. Ferita mendampingi wisatawan yang sebagian besar adalah anak-anak kecil berusia PAUD. Pada mulanya Ferita menggunakan bahasa Indonesia. Setelah beberapa lama, sebagian besar siswa mulai terlihat bingung. Karena banyak siswa yang kurang menguasai bahasa Indonesia maka Ferita cepat-cepat beralih kode untuk menjelaskan dan bercakap dalam bahasa ibu wisatawan sehingga kemudian percakapan menjadi lancar kembali.
Alih kode karena perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga
Kehadiran orang ketiga atau orang lain yang tidak berlatar belakang bahasa yang sama dengan bahasa yang sedang digunakan oleh penutur dan lawan tutur dapat menyebabkan alih kode. Misal, sambil menunggu perkuliahan dimulai Ambar dan Anis bercakap-cakap dengan bahasa Jawa. Tiba-tiba datang Elvina mahasiswa dari Riau yang tidak paham bahasa Jawa datang. Maka Ambar dan Anis segera beralih kode  dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia.
Alih kode karena perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya
Perubahan situasi dapat menyebabkan terjadinya alih kode. Sebelum perkuliahan dimulai, mahasiswa menggunakan ragam bahasa santai dalam percakapan. Namun ketika perkuliahan dimulai mahasiswa beralih kode dengan menggunakan ragam bahasa formal (Bahasa Indonesia). Setelah perkuliahan selesai, mereka kembali pada ragam bahasa santai.
Alih kode karena perubahan topik pembicaraan
Perubahan topik pembicaraan dapat menyebabkan terjadinya alih kode. Sebagai contoh Rio adalah pimpinan Ardi dalam sebuah perusahaan. Ketika sedang berdiskusi mereka membahas proposal tender mereka menggunakan bahasa Indonesia. Namun ketika topik pembicaraan mulai bergeser menuju kehidupan pribadi lawan tender yang akan mereka hadapi, Rio dan Ardi beralih kode menggunakan bahasa Jawa.

Analisis Alih Kode Pada Interaksi Guru dan Siswa dalam Pembelajaran
Sebelum pembelajaran Bahasa Jawa dimulai, anak-anak kelas VC bersama teman-temannya bercanda dengan menggunakan bahasa Jawa ngoko. Namun setelah guru masuk ke dalam kelas, dipimpin oleh ketua kelas siswa berdoa menggunakan Bahasa Indonesia. Kondisi tersebut menunjukkan adanya alih kode karena siswa menyesuaikan diri dari situasi nonformal ke formal.
Guru menggunakan kalimat dalam bahasa Jawa sebagai pembuka pembelajaran. “Sugeng enjing, cah …. Piye kabare dina iki? Wis padha nggarap PR to?”. Namun karena siswa terkesan kurang memberikan respon, maka guru menekankan sapaan menggunakan bahasa Indonesia. “Anak-anak, PRnya sudah dikerjakan atau belum?”. Situasi tersebut menunjukkan adanya alih kode berupa berubahnya bahasa yang digunakan oleh penutur karena mitra tutur yang diajak berkomunikasi kurang paham informasi yang hendak disampaikan.
Ketika menyampaikan materi tentang penulisan komponen-komponen yang terdapat dalam tulisan narasi nonfiksi, guru menggunakan bahasa Jawa baku. Namun ketika dipertengahan pembelajaran guru mulai lengah dan menggunakan dialek bahasa Jawa ala Semarangan sehingga terjadi alih kode dari pokok pembicaraan yang bersifat formal dengan ragam baku ke arah gaya bicara tidak serius dan bersifat informal. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh emosional baik penutur maupun mitra tutur.
Untuk menghidupkan suasana, guru meminta salah seorang siswa untuk berdiri di depan teman-temannya. Siswa diminta untuk menyanyikan lagu tentang unsur-unsur cerita yang liriknya sudah dipersiapkan oleh guru. Pada lirik lagu tersebut telah terjadi perubahan alih ragam dari formal menjadi santai.

Faktor Penanda Campur Kode
Peristiwa campur kode yang dilakukan masyarakat dalam berbagai peritiwa tutur terjadi karena dua faktor utama. Kedua faktor penyebab campur kode tersebut adalah (1) keterbatasan penggunaan kode, dan (2) penggunaan istilah yang lebih popular[4]. Berikut ini dipaparkan kedua faktor tersebut.
Keterbatasan penggunaan kode
Faktor keterbatasan kode terjadi apabila penutur melakukan campur kode karena tidak mengerti padanan kata, frase, atau klausa dalam bahasa dasar yang digunakannya. Keterbatasan ini menyebabkan penutur menggunakan kode yang lain dengan kode dasar pada pemakaian kode sehari-hari. Sebagai contoh:
Kasihan ya Bu Agus, semaput kok sampai dua hari belum sadar-sadar.
Tambah lomboknya dua ribu mbak, nggak pakai rawit ya.
Jadi pada kesempatan ini bapak ingin memberikan wanti-wanti kepada kalian semua, khususnya bagi yang sudah kelas tiga untuk lebih giat belajar.
Sing jelas motore ki mlaku alon pas neng pertigaan Yabis, kan dalane nanjak nek seka HOP.
‘Yang jelas motornya jalan pelan ketika di pertigaan Yabis, kan jalannya menanjak kalau dari arah HOP’.
Sesok aku ora sida melu, kerjaanku numpuk okeh.
‘Besok saya tidak jadi ikut, pekerjaanku menumpuk banyak’
Gak ngantuk piye, sewengi begadang nonton bal-balan nganti jam papat.
‘Bagaimana tidak mengantuk, semalaman begadang nonton sepak bola sampai jam empat’.
Penggunaan istilah yang lebih populer
Dalam kehidupan sosial, terdapat kosakata tertentu yang dinilai mempunyai padanan yang lebih popular. Tuturan berikut menunjukkan adanya fenomena campur kode karena penggunaan istilah yang lebih popular.
Contoh:
Kalau mau pakai yang original ya mahal, lagian juga paling-paling nggak ada yang jual di Bontang.
Namanya juga penyanyi, paling-paling ya pakai wig, nggak mungkin kan gonta-ganti model rambut tiap hari.
Si Nina tuh emang bikin malu aja, kembalian gopek aja masih diminta.
Iki masalahe dudu kena virus Mas, tapi memang software-e sing error.
‘Ini masalahnya bukan karena kena virus Mas, tapi memang piraanti lunaknya yang salah’
Tekone pasangan ki yo klambine sing marching karo pasangane, lanangane nganggo bathik coklat kok wedhoke nganggo klambi biru nom.
‘Datangnya berpasangan ya bajunya yang cocok sama pasangannya, yang laki-laki memakai batik kok yang perempuan memakai baju biru muda’
Ditambahkan oleh Suwito (dalam Maulidini, 2007: 37-43) faktor pendorong campur kode dibedakan atas latar belakang sikap (attitudinal type) atau nonkebahasaan dan latar belakang kebahasaan (linguistic type).
Faktor Nonkebahasaan (attitudinal type)
Penutur menggunakan bahasa lain untuk lebih memperhalus maksud tuturan.
Contoh: HPnya blackmarket jadi tidak diperjualbelikan di Indonesia. Kalai di service selain datanya hilang ada resiko terburuk mati total, gimana?”
Blackmarket di sini sengaja digunakan oleh penutur untuk memberitahukan pada pelanggan bahwa HP tersebut termasuk dalam kategori HP selundupan.
Penutur sengaja mengambil kata dari bahasa lain dengan mempertimbangkan faktor sosial.
Contoh:
CP: Mbak saya mau complain, Mbak gimana sih, data saya kok jadi hilang. Mbak tahu berapa banyak nomor-nomor penting di HP saya?”
CS: “Maaf Bapak, di awal persetujuan service kemarin saya sudah katakana bahwa kehilangan bukan mnejadi tanggungjawab kami. Dan kemarin Bapak sudah menyetujui dan membubuhkan tandatangan di form repair order” (sambil menunjukkan bukti tandatangan).
Perkembangan dan perkenalan dengan budaya baru.
Hal ini turut menjadi faktor pendorong munculnya campur kode oleh penutur, sebab terdapat banyak istilah dan strategi penjualan dalam bidang telekomunikasi yang mempergunakan bahasa asing. Sehingga hal ini memperngaruhi perilaku pemakaian kata-kata bahasa asing oleh penutur yang sebenarnya bukan merupakan bahasa asli penutur.
Contoh:
CS: “Maaf Bu, memorycardnya dibawa?”
CP: “Kan, saya tinggal disini kemarin, Mbak”.
CS: “Ibu, di formulir servicenya dituliskan bahwa semua kelengkapan hpnya tidak ditinggal.”

Faktor Kebahasaan (linguistic type)
Latar belakang kebahasaan yang menyebabkan seseorang melakukan campur kode  disebabkan oleh hal-hal berikut ini:
Kata-kata dalam bahasa asing tersebut lebih mudah diingat dan lebih stabil maknanya.
Penutur menggunakan kata-kata dari bahasanya sendiri maka kata tersebut dapat menimbulkan masalah homonym yaitu makna ambigu.
Keterbatasan kata-kata yang dimiliki oleh bahasa penutur.
Akibat atau hasil yang dikehendaki

Analisis Campur Kode Pada Interaksi Guru dan Siswa dalam Pembelajaran
Ketika berdoa dan memberikan sapaan hormat kepada guru, siswa mengatakan
“Oh My God, please increase my knowledge. Good morning Mom … Selamat pagi Bu … Sugeng enjing Bu …”. Pemilihan klausa dalam kalimat doa di atas memperlihatkan adanya campur kode. Siswa mencampurkan berbagai ragam bahasa untuk tujuan yang sama.
Untuk membangkitkan motivasi belajar guru mencampurkan bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa sehingga terjadi campur kode. Penutur sengaja mencampur kode terhadap mitra bahasa karena mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Salah satu tujuan yang dimaksud adalah untuk menjaga kesantaian dalam berkomunikasi.
Contoh: Ayo ndang digarap, santai wae ora usah kesusu
Karena beberapa mitra tutur kurang mengetahui makna kata dalam bahasa Jawa, guru mencampur bahasa Indonesia dan bahasa Jawa untuk memperkuat pemahaman siswa. Sebagai contoh:
“Salah sawijining unsur kang kalebu ana karangan narasi yaiku papan. Papan kuwi terbagi menjadi dua yaiku papan wektu lan panggonan. Waktu dan tempat.”
Sebagai bahasa penghubung dalam pembelajaran guru seringkali menggunakan kata paham untuk menanyakan tingkat kepahaman siswa.
“Piye cah, sampun paham nopo dhereng?”
Jika dicermati, kata paham merupakan kata dalam bahasa Indonesia yang disisipkan dalam kalimat ujaran guru.

BAB III
PENUTUP
Simpulan
Kode mengacu pada suatu sistem tutur yang dalam penerapannya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan mitra tutur dan situasi tutur yang ada. Alih kode adalah suatu gejala adanya saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan situasi relevansional di dalam pemakaian dua bahasa atau lebih. Sedangkan campur kode adalah penggunaan dua bahasa atau lebih  atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur dengan kondisi ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan (pieces) saja tanpa fungsi keotomiannya sebagai sebuah kode.
Penyebab alih kode disebutkan antara lain (1) pembicara atau penutur; (2) pendengar atau lawan tutur; (3) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga; (4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya; (5) perubahan topik pembicaraan. Peristiwa campur kode yang dilakukan masyarakat dalam berbagai peritiwa tutur terjadi karena dua faktor utama yaitu (1) keterbatasan penggunaan kode, dan (2) penggunaan istilah yang lebih popular. Selain itu ada pulang yang terbagi menjadi faktor kebahasaan dan nonkebahasaan.

DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perknalan Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Maulidini, Ratna. 2007. Campur Kode Sebagai Strategi Komunikasi Customer Service: Studi Kasus Nokia Care Centre Bimasakti Semarang (Skripsi). Semarang: Fakultas Sastra Universitas Diponegoro
Mutmainnah, Yulia. 2008. Variasi Alih Kode, Variasi Campur Kode dan Faktor-Faktor Sosial Penentuanya (Skripsi). Semarang: Universitas Diponegoro.
Rokhman, Fathur. 2013. Sosiolinguistik Suatu Pendekatan Pembelajaran dalam Masyarakat Multikultural. Yogyakarta: Graha Ilmu.



[1] Fathur Rokhman, 2011, Sosiolinguistik Suatu Pendekatan Pembelajaran dalam Masyarakat Multikultural, Hal.37
[2] Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2010, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, Hal.106
[3] Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2010, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, Hal.108
[4] Yulia Mutmainnah, 2008, Variasi Alih Kode, Variasi Campur Kode dan Faktor-Faktor Sosial Penentunya, Hal.114
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Makalah Alih Kode dan Campur Kode Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda