Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Monday 2 June 2014

Sikap Bahasa dan Pemilihan Bahasa



BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Bahasa adalah salah satu ciri khas manusiawi yang membedakannya dari makhluk-makhluk yang lain. Selain itu, bahasa mempunyai fungsi sosial, baik sebagai alat komunikasi maupun sebagai suatu cara mengidentifikasikan kelompok sosial. Pandangan de Saussure (1916) yang menyebutkan bahwa bahasa adalah salah satu lembaga kemasyarakatan, yang sama dengan lembaga kemasyarakatan lain, seperti perkawinan, pewarisan harta peninggalan, dan sebagainya telah memberi isyarat akan pentingnya perhatian terhadap dimensi sosial bahasa. Namun, kesadaran tentang hubungan yang erat antara bahasa dan masyarakat baru muncul pada pertengahan abad ini (Hudson 1996). 
 
Sosiolinguistik merupakan ilmu yang mempelajari bahasa dengan dimensi kemasyarakatan. Apabila kita mempelajari bahasa tanpa mengacu ke masyarakat yang menggunakannya sama dengan menyingkirkan kemungkinan ditemukannya penjelasan sosial bagi struktur yang digunakan.  Dari perspektif sosiolinguistik fenomena sikap bahasa (language attitude) dalam masyarakat multibahasa merupakan gejala yang menarik untuk dikaji, karena melalui sikap bahasa dapat menentukan keberlangsungan hidup suatu bahasa.

Rumusan Masalah
Apakah yang dimaksud dengan sikap bahasa?
Apakah ciri-ciri sikap bahasa?
Apa sajakah komponen sikap bahasa?
Apa sajakah jenis pemilihan bahasa?
Apakah faktor penanda pemilihan bahasa?
Apa sajakah pendekatan penelitian pemilihan bahasa?


BAB II
PEMBAHASAN

Sikap Bahasa
Hakikat Sikap Bahasa
Sikap bahasa adalah posisi mental atau perasaan terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang lain (Kridalaksana, 2001:197). Dalam bahasa Indonesia, kata sikap dapat mengacu pada bentuk tubuh, posisi berdiri yang tegak, perilaku atau gerak-gerik, dan perbuatan atau tindakan yang dilakukan berdasarkan pandangan (pendirian, keyakinan, atau pendapat) sebagai reaksi atas adanya suatu hal atau kejadian. Sesungguhnya sikap itu adalah fenomena kejiwaan, yang biasanya termanifestasi dalam bentuk tindakan atau perilaku. Namun, menurut banyak penelitian tidak selalu yang dilakukan secara lahiriah merupakan cerminan dari sikap batiniah atau yang terdapat dalam batin selalu keluar dalam bentuk perilaku yang sama ada dalam batin.
Sarnoff (1970:279) seperti yang dikutip oleh Edward (1985:139) memandang sikap sebagai “a disposition to reactfavorably or unfavorably to class of objects” (kecendurungan untuk bereaksi terhadap sekelompok objek dengan perasaan senang atau tidak senang). Pandangan itu mengisyaratkan bahwa sikap bukan merupakan suatu tindakan, melainkan merupakan kecenderungan perilaku. Kecenderungan bertindak (disposition) itu menurut Edward (1985: 139) seringkali digunakan untuk membandingkan tiga komponen sikap, yakni : pikiran (thoughts), perasaan (feelings) dan kesiapan untuk bertindak (predispositons to act).
Triandis (1972) berpendapat bahwa sikap adalah kesiapan bereaksi terhadap suatu keadaan atau kejadian yang dihadapi. Kesiapan ini dapat mengacu kepada sikap mental atau kepada ”sikap perilaku”. Menurut Allport (1935) sikap adalah kesiapan mental dan saraf yang terbentuk melalui pengalaman yang memberikan arah atau pengaruh yang dinamisn kepada reaksi seseorang terhadap semua objek dan keadaan yang menyangkut sikap itu.

Ciri-Ciri Sikap Bahasa
Garvin dan Mathiot (1968) merumuskan tiga ciri sikap bahasa yaitu:
Kesetiaan Bahasa (Language Loyalty) yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain.
Kebanggaan Bahasa (Language Pride) yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat.
Kesadaran adanya norma bahasa (Awareness Of The Norm) yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunakan bahasa (language use).
Ketiga ciri yang dikemukakan Garvin dan Mathiot tersebut merupakan ciri-ciri sikap positif terhadap bahasa. Sikap positif yaitu sikap antusiasme terhadap penggunaan bahasanya (bahasa yang digunakan oleh kelompoknya/masyarakat tutur dimana dia berada). Sebaliknya jika ciri-ciri itu sudah menghilang atau melemah dari diri seseorang atau dari diri sekelompok orang anggota masyarakat tutur, maka berarti sikap negatif terhadap suatu bahasa telah melanda diri atau kelompok orang itu. Ketiadaan gairah atau dorongan untuk mempertahankan kemandirian bahasanya merupakan salah satu penanda sikap negatif, bahwa kesetiaan bahasanya mulai melemah, yang bisa berlanjut menjadi hilang sama sekali.
Sikap negatif terhadap bahasa dapat juga terjadi bila orang atau sekelompok orang tidak mempunyai lagi rasa bangga terhadap bahasanya, dan mengalihkannya kepada bahasa lain yang bukan miliknya. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu antara lain: faktor politis, faktor etnis, ras, gengsi, menganggap bahasa tersebut terlalu rumit atau susah dan sebagainya. Sebagai contoh yaitu penggunaan bahasa Jawa di lingkungan masyarakat Jawa. Dewasa ini penggunaan bahasa Jawa dikalangan masyarakat Jawa sendiri dirasa kurang begitu antusias. Hal ini merupakan tanda-tanda mulai munculnya sikap yang kurang positif terhadap bahasa tersebut. Bahasa-bahasa daerah terkadang dianggap sebagai bahasa yang kurang fleksibel dan kurang mengikuti perkembangan jaman. Demikian pula bahasa Jawa. Anak-anak muda pada jaman sekarang kurang begitu mengerti dan antusias menggunakan bahasa tersebut, karena ada yang merasa bahwa bahasa Jawa terlalu rumit bagi mereka, banyak leksikon dari bahasa Jawa yang tidak dimengerti, ditambah dengan penggunaan tingkat tutur bahasa Jawa dan sebagainya. Hal tersebut merupakan indikasi bahwa mereka sudah tidak berminat lagi untuk mempelajari bahasa Jawa, atau hal itu juga dipengaruhi oleh perkembangan keadaan yang menghendaki segala sesuatu yang serba praktis dan simpel. Tidak hanya bahasa daerah, tetapi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional pun dirasa telah mulai pudar ciri sikap bahasa positifnya.
Sikap negatif juga akan lebih terasa akibat-akibatnya apabila seseorang atau sekelompok orang tidak mempunyai kesadaran akan adanya norma bahasa. Sikap tersebut nampak dalam tindak tuturnya. Mereka tidak merasa perlu untuk menggunakan bahasa secara cermat dan tertib, mengikuti kaidah yang berlaku.
Berkenaan dengan sikap bahasa negatif ada pendapat yang menyatakan bahwa jalan yang harus ditempuh adalah dengan pendidikan bahasa yang dilaksanakan atas dasar pembinaan kaidah dan norma-norma sosial dan budaya yang ada dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan. Namun menurut Lambert (1976) motivasi belajar tersebut juga berorientasi pada dua hal yaitu:
Perbaikan nasib (orientasi instrumental). Orientasi instrumental mengacu/banyak terjadi pada bahasa-bahasa yang jangkauan pemakaiannya luas, banyak dibutuhkan dan menjanjikan nilai ekonomi yang tinggi, seperti bahasa Inggris, bahasa Prancis, dan bahasa Jepang.
Keingintahuan terhadap kebudayaan masyarakat yang bahasanya dipelajari (orientasi integratif). Orientasi integratif banyak terjadi pada bahasa-bahasa dari suatu masyarakat yang mempunyai kebudayaan tinggi, tetapi bahasanya hanya digunakan sebagai alat komunikasi terbatas pada kelompok etnik tertentu.
Kedua orientasi tersebut juga merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap bahasa seseorang. Selain itu sikap bahasa juga bisa mempengaruhi seseorang untuk menggunakan suatu bahasa, dan bukan bahasa yang lain, dalam masyarakat yang bilingual atau multilingual.

Komponen Sikap Bahasa
Lampert (1967) menyatakan bahwa sikap itu terdiri dari tiga komponen, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konantif.
Komponen kognitif berhubungan dengan pengetahuan mengenai alam sekitar dan gagasan yang biasanya merupakan kategori yang dipergunakan dalam proses berpikir.
Komponen afektif menyangkut masalah penilaian baik, suka atau tidak suka, terhadap sesuatu atau suatu keadaan. Jika seseorang memiliki nilai rasa baik atau suka terhadap suatu keadaan, maka orang itu dikatakan memiliki sikap positif. Jika sebaliknya, disebut memiliki sikap negatif.
Komponen konatif menyangkut perilaku atau perbuatan sebagai ”putusan akhir” kesiapan reaktif terhadap suatu keadaan. Melalui komponen inilah orang biasanya mencoba menduga bagaimana sikap seseorang terhadap suatu keadaan yang sedang dihadapinya.
Ketiga komponen sikap tersebut (kognitif, afektif, dan konatif) pada umumnya berhubungan erat. Namun, seringkali pengalaman ”menyenangkan” atau ”tidak menyenangkan” yang didapat seseorang di dalam masyarakat menyebabkan hubungan ketiga komponen itu tidak sejalan. Kalau ketiga komponen itu sejalan, maka bisa diramalkan perilaku itu menunjukkan sikap. Tetapi kalau tidak sejalan, maka dalam hal itu perilaku tidak dapat digunakan untuk mengetahui sikap.
Anderson (1974) membagi sikap atas dua macam, yaitu (1) sikap kebahasaan, dan (2) sikap nonkebahasaan, seperti sikap politik, sikap sosial, sikap estetis, dan sikap keagamaan. Kedua sikap jenis ini dapat menyangkut keyakinan atau kognisi mengenai bahasa. Maka demikian menurut Anderson, sikap bahasa adalah tata keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya. Namun perlu diperhatikan karena sikap itu bisa positif (kalau dinilai baik atau disukai) dan bisa negatif (kalau dinilai tidak baik atau tidak disukai), maka sikap terhadap bahasapun demikian.

Pemilihan Bahasa
Jenis Pilihan Bahasa
Fasold (dalam Chaer dan Agustina, 2010: 153) menyatakan dalam memikirkan bahasa hal pertama yang terbayang adalah “bahasa keseluruhan” (whole languages) ketika seseorang dalam masyarakat bilingual atau multilingual berbicara mengunakan dua bahasa atau lebih dan harus memilih bahasa mana yang harus digunakannya ketika berkomunikasi dengan orang lain. Misalnya, seseorang yang menguasai bahasa Jawa dan bahasa Indonesia harus memilih salah satu antara kedua bahasa itu ketika berbicara dengan orang lain dalam peristiwa komunikasi.
Dalam pemilihan bahasa ada tiga jenis pilihan bahasa, yaitu alih kode, campur kode, dan memilih variasi bahasa yang sama. Di Indonesia digunakan tiga bahasa, yaitu bahasa Indonesia, bahasa Daerah, dan bahasa Asing. Bahasa Indonesia digunakan dalam komunikasi antarsuku, bahasa pengantar dalam pendidikan, dan surat-menyurat dinas. Bahasa Daerah digunakan dalam upacara pernikahan, percakapan dengan orang tua, dan komunikasi antarpenutur sedaerah. Sedangkan bahasa Asing digunakan untuk komunikasi antarbangsa atau untuk keperluan-keperluan tertentu yang menyangkut intelekutor orang asing (Chaer dan Agustina, 2010:154-155).
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional negara digunakan untuk komunikasi antarsuku dan intrasuku. Penggunaan bahasa Indonesia lebih sering digunakan daripada bahasa Daerah, karena bahasa Indonesia lebih sederhana dan mudah dipelajari. Akan tetapi, sekarang telah mucul bahasa baru yaitu percampuran antara bahasa Indonesia dengan bahasa Daerah. Misalnya, bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa menjadi bahasa Indonesia kejawa-jawaan yang biasa digunakan di Jombang. Seperti yang dilaporkan Moeliono dan Koentjaraningrat (dalam Chaer dan Agustina, 2010:160) menyatakan bahwa, kebanyakan orang Indonesia belum memiliki sikap positif terhadap bahasa nasionalnya.
Dalam hal memilih bahasa terdapat tiga jenis pilihan yang dapat dilakukan, yaitu:
Alih kode (code-switching)
Peristiwa peralihan bahasa atau alih kode (code-switching) dapat terjadi karena beberapa faktor. Rayfield (dalm Rokhman, 2013:26) berdasarkan studinya terhadap masyarakat dwibahasa bahasa Yahudi-Inggris di Amerika mengemukakan dua faktor utama, yakni respon penutur terhadap situasi tutur (seperti kehadiran seseorang dari luar dan perubahan topik pembicaraan) dan  sebagai alat retorik (seperti penekanan pada kata-kata tertentu atau penghindaran terhadap kata-kata yang tabu). Menurut Blom dan Gumperz (dalam Rokhman, 2013:26) ada dua macam alih kode, yaitu (1) alih kode situasional (situational switching) dan (2) alih kode metaforis  (metaphorical switching). Alih kode yang pertama terjadi karena perubahan situasi, sedangkan alih kode yang kedua terjadi karena bahasa atau ragam bahasa yang dipakai merupakan metafora (yang melambangkan identitas penutur).
Campur kode (code-mixing)
Campur kode (code-mixing) merupakan peristiwa percampuran dua atau lebih bahasa atau dua ragam bahasa dalam suatu peristiwa tutur. Di dalam masyarakat tutur Jawa yang diteliti juga diduga akan terdapat gejala tersebut. Gejala seperti itu cenderung mendekati pengertian yang dikemukakan oleh Haugen (dalam Rokhman, 2013: 26) sebagai bahasa campuran (mixture of languages), yaitu pemakaian satu kata, ungkapan atau frase pendek, yang di Filipina (Sibayan dan Segovia dalam Rokhman, 2013: 26) disebut mix-mix atau halu-halu atau Taglish, untuk pemakaian bahasa campuran antara bahasa Tagalog dan bahasa Inggris. Di Indonesia, Nababan (dalam Rokhman, 2013: 26) menyebutnya dengan istilah bahasa gado-gado untuk pemakaian bahasa campuran antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah
Memilih satu variasi bahasa yang sama (intra-language-variation)
Apabila seorang penutur bahasa Jawa berbicara kepada kepala desa dengan menggunakan bahasa Jawa kromo, misalnya, maka ia telah melakukan pilihan bahasa yang pertama itu.

Faktor-Faktor Penanda Pemilihan Bahasa
Ervin-Trip (dalam Grosjean 1982: 125) mengidentifikasikan empat faktor utama yang menyebabkan pemilihan bahasa, yaitu (1) latar (waktu dan tempat) dan situasi, (2) partisipan dalam interaksi, (3) topik percakapan, dan (4) fungsi interaksi.
 Faktor pertama dapat berupa hal-hal, seperti: makan pagi di lingkungan keluarga, pesta kuliah, atau berkencan. Faktor kedua mencakup hal-hal, seperti: usia, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial ekonomi, asal, latar belakang kesukuan, dan peranannya dalam hubungan dengan partisipan lain. (contoh: direktur-karyawan, suami-istri, penjual pembeli, guru-siswa). Faktor ketiga dapat berupa: topik-topik tentang pekerjaan, olah raga, harga sembako, peristiwa aktual, dan sebagainya. Faktor keempat dapat berupa hal-hal seperti: penawaran informasi, permohonan, dan mengucapkan terima kasih.
Senada dengan pendapat Ervin-Trip di atas, Grosjean (1982: 136) berpendapat tentang faktor yang berpengaruh dalam pemilihan bahasa. Menurut Grosjean terdapat empat faktor, yaitu (1) partisipan, (2) situasi, (3) isi wacana, (4) fungsi interaksi.
Aspek yang perlu diperhatikan dari faktor partisipan adalah (a) keahlian berbahasa, (b) pilihan bahasa yang dianggap lebih baik, (c) status sosial ekonomi, (d) usia, (e) jenis kelamim, (f) pendidikan, (g) pekerjaan, (h) latar belakang etnis, (i) relasi kekeluargaan, (j) keintiman, (k) sikap kepada bahasa-bahasa, dan (l) kekuatan luar yang menekan.
Faktor situasi mencakup: (a) lokasi atau latar, (b) kehadiran pembicara monolingual, (c) tingkat formalitas, dan (d) tingkat keintiman. Faktor isi wacana berkaitan dengan (a) topik percakapan dan (b) tipe kosakata. Faktor fungsi interaksi mencakup: (a) strategi menaikan status, (b) jarak sosial, (c) melarang masuk atau mengeluargak sesoorang dari pembicaraan, dan (d) memerintah atau meminta.
Dari jabaran di atas, yang perlu diperhatikan adalah adanya atau jarang terdapat faktor tunggal yang mempengaruhi pemilihan bahasa seorang dwibahasawan/multibahasawan. Di Obewart, Gal (dalam Grosjean, 1982: 143) menemukan bukti bahwa karakteristik pembicara dan pendengar menduduki faktor penentu terpenting. Sedangkan faktor topik dan latar merupakan faktor yang kurang penting daripada faktor partisipan.
Berbeda dengan Gal, Rubin menemukan faktor penentu yang terpenting adalah lokasi interaksi. Rubin meneliti pilihan bahasa Guarani dan Spanyol di Paraguay. Dari penelitian itu dapat disimpulkan bahwa lokasi interaksi, yaitu (1) desa, (2) sekolah, dan (3) tempat umum, sangat menentukan pilihan bahasa oleh pembicara bilingual. Di desa, pembicara akan memilih bahasa Guarani, di sekolah akan memilih bahasa Spanyol, dan di tempat umum memimilih bahasa Spanyol (Grosjean 1982: 43).

Pendekatan Penelitian Pemilihan Bahasa
Penelitian terhadap pemilihan bahasa menurut Fasold (1984: 183) dapat dilakukan berdasarkan tiga pendekatan, yaitu pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial, dan pendekatan antropologi. Ketiga pendekatan itu dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pendekatan Sosiologi
Pendekatan sosiologi berkaitan dengan analisis ranah (domain). Pendekatan ini pertama dikemukakan oleh Fishman (1964). Ranah menurut Fishman (1964) dipandang sebagai konstelasi faktor-faktor seperti lokasi, topik, dan partisipan. Ranah didefinisikan sebagai konsepsi sosiokultural yang diabstraksikan dari topik komunikasi, hubungan peran antar komunikator, tempat komunikasi di dalam keselarasan lembaga masyarakat dan bagian dari aktivitas masyarakat tutur (Fishman dalam Pride dan Holmes (ed), 1972). Di bagian lain, Fishman (dalam Amon, 1987) mengemukakan bahwa ranah adalah konsepsi teoretis yang menandai satu situasi interaksi yang didasarkan pada pengalaman yang sama dan terikat oleh tujuan dan kewajiban yang sama, misalnya keluarga, ketetanggaan, agama, dan pekerjaan.  Sebagai contoh, apabila penutur berbicara di rumah dengan seorang anggota keluarga mengenai sebuah topik, maka penutur itu dikatakan berada pada ranah keluarga.
Analisis domain terkait dengan diglosia. Di dalam sebuah masyarakat yang terdapat diglosia, bahasa rendah (low) merupakan bahawa yang cenderung dipilih dalam domain keluarga, sedangkan bahasa tinggi dipergunakan dalam domain yang lebih formal, seperti pendidikan dan pemerintahan.
Penelitian yang mempergunakan analisis domain pernah dilakukan antara lain oleh Greenfield (1972) tentang pemilihan bahasa Spanyol dengan tiga komponen kongruen, yaitu: orang, tempat, dan topik. Untuk menguji apakah sebuah paduan dari ketiga faktor itu benar-benar berhubungan dengan pikiran anggota masyarakatnya, Greenfield menyebarkan kuesioner.
Dengan kuesioner itu subjek diberi dua faktor yang kongruen dan diminta untuk menyeleksi yang ketiga dan juga bahasa yang akan mereka gunakan dalam panduan situasi. Subjek diberi tahu untuk memikirkan sebuah percakapan dengan orang tua tentang masalah keluarga dan meminta memilih tempat di antara beberapa pilihan: rumah, pantai, gereja, sekolah, dan tempat kerja. Dari kuesioner yang kembali mayoritas responden memilih lokasi rumah seperti yang diharapkan. Dengan satu perkecualian (pilihan pantai sebagai komponen yang tepat untuk domain persahabatan), komponen ketiga yang diharpkan dipipih oleh paling tidak 81 persen subjek.
Setelah memilih komponen ketiga yang tepat, subjek diminta untuk menunjukkan yang mana yang berhubungan dengan domain pada skala lima-butir. Skala ini mirip dengan skala perbedaan-semantik yang sering digunakan dalam penelitian sikap bahasa. Angka 1 pada skala itu menunjukkan semua bahasa Spanyol, 2 berarti lebih banyak bahasa Spanyol daripada bahasa Inggris, 3 berarti jumlah yang sama antara bahasa Spanyol dan bahasa Inggris, 4 leboh banyak bahasa Inggris daripada bahasa Spanyol, 5 berarti semua bahasa Inggris. Dari hasil rata-rata diketahui bahwa bahasa Spanyol mendapatkan rata-rat rendah dan lebih banyak subjek yang memilih bahasa Inggris. Analisis varian dengan pilihan bahasa sebagai variabel bebas menunjukkan bahwa perbedaan menurut kategori domain signifikan pada p < 0,01. Interpretasi yang bisa ditarik adalah bahwa bahasa Spanyol lebih cenderung dipilih dalam situasi akrab, dan bahasa Inggris lebih cenderung dipilih dalam situasi yang terdapat perbedaan status. Dengan menggunakan pendekatan sosiologis inilah Greenfield menemukan bukti bahwa masyarakat Puerto Rico di New York City cenderung diglosik, dengan bahasa Spanyol sebagai bahasa rendah dan bahasa Inggris sebagai bahasa tinggi.
Pendekatan Psikologi Sosial
Berbeda dengan pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial lebih tertarik pada proses psikologis manusia daripada kategori dalam masyarakat luas. Pendekatan ini lebih berorientasi pada individu, seperti motivasi individu, daripada berorientasi pada masyarakat. Karya-karya penting dalam penelitian pemilihan bahasa dengan pendekatan psikologi sosial telah dilakukan oleh Simon Herman (1968),  Giles dan kawan-kawannya (Giles 1973; Giles, Bourhish dan Taylor 1977). Herman (1968 dalam Fasold 1984: 187) mengemukakan teori situasi tumpang tindih yang mempengaruhi seseorang di dalam pemilihan bahasa. Menurut Herman seorang penutur dwibahasa berada pada lebih dari satu situasi psikologis secara simultan. Herman membicarakan tiga jenis situasi. Situasi pertama berhubungan dengan kebutuhan personal penutur  (personal needs), kedua situasi lain berhubungan dengan pengelompokkan sosial (social grouping), yaitu situasi latar belakang (background situation) dan situasi sesaat (immediate situation).
Sangatlah bermakna untuk melihat ketika pembicara yang harus memilih antara dua bahasa atau lebih pada dua situasi tumpang tindih. Kedua situasi psikologis itu menurut Herman (dalam Fishman 1977: 493) sebagai berikut.
Pertama, satu situasi yang berkaitan dengan kebutuhan yang ada pada pribadi, yaitu keinginan untuk berbicara dalam bahasa tertentu (bahasa yang paling dikuasainya); situasi lain berkiatan dengan norma-norma kelompoknya yang memungkinkan dia memaksa diri menggunakan bahasa lain (bahasa itu mungkin belum dikuasainya secara baik).Di sini terjadi konflik antara kebutuhan pribadi dan tuntutan kelompok.
Kedua, dalam penentuan bahasa yang akan digunakan muncul kekuatan yang tidak hanya dari situasi yang bersemuka (face to face), akan tetapi juga dari situasi yang lebih besar.
Dengan pendekatan yang sama, Howard Giles (1977, 321-324) mengembangkan teori akomodasi (acomodation theory).  Secara normal, akomodasi mengambil bentuk konvergensi, yang ditunjukkan dengan memilih sebuah bahasa atau variasi bahasa yang tampak sesuai dengan kebutuhan orang yang diajak berbicara. Dalam kondisi tertentu, seorang penutur dapat gagal melakukan konvergensi bahkan mungkin dengan sengaja  melakukan divergensi. Dengan kata lain, seorang penutur mungkin tidak mengalami kesulitan sama sekali dalam memilih bahasa atau variasi bahasa untuk menyesuaikan dengan orang lain, dan ada penutur yang dengan sengaja memilih bahasa atau variasi bahasa yang tidak sesuai dengan orang yang diajak berbicara.
Hal di atas terjadi ketika penutur ingin menekankan loyalitasnya pada kelompokknya sendiri dan membedakan dirinya dari kelompok mitra bicara. Satu contoh yang jelas adalah ketika seorang Amerika kulit hitam yang berbicara  dengan orang berkulit putih dengan menggunakan bahasa Inggris dialek hitam untuk menunjukkan jati dirinya.
Pendekatan Antroplogi
Dari pandangan antropologi, pilihan bahasa bertemali dengan perilaku yang mengungkap nilai-nilai sosial budaya. Seperti juga psikologi sosial, antropologi tertarik dengan bagaimana seorang penutur berhubungan dengan struktur masyarakat. Perbedaannya adalah bahwa jika psikologi sosial memandangnya dari sudut kebutuhan psikologis penutur, pendekatan antropologi memandangnya dari bagaimana seseorang menggunakan pemilihan bahasanya untuk mengungkapkan nilai kebudayaannya (Fasold 1984: 192).
Dari segi metodologi terdapat perbedaan antara pendekatan antropologi, pendekatan sosiologi, dan psikologi sosial. Sosiologi dan psikologi sosial lebih mengarahkan kajiannya pada data kuesioner atau observasi atas orang-orang yang ditelitinya di bawah kendali eksperimen, sedangkan pendekatan antropologi menempatkan nilai yang tinggi pada perilaku takterkontrol yang alamiah. Hal ini membimbing mereka untuk menggunakan metode penelitian yang jarang digunakan oleh sosiolog dan psikolog sosial, yaitu yang disebut observasi partisipan (participant observation). Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Susan Gal (yang mempublikasikan penelitiannya 1979) di Oberwart, Australia Timur. Ia menghabiskan waktu satu tahun untuk tinggal di sebuah keluarga setempat (Fasold, 1984: 192).
Dengan menggunakan metode observasi partisipan, antropo­log dapat memberikan perspektif penjelasan atas pemilihan bahasa berdasarkan persepsinya sebagai penutur sebuah kelom­pok atau lebih yang “dimasukinya” selama mengadakan peneli­tian. Implikasi dari metode ini adalah bahwa pengamat adalah peneliti yang menjadi anggota kelompok yang diamatinya (Wiseman dan Aron, 1970: 49).  Selain itu, metode observasi partisipan yang tipikal dalam pendekatan itu, yang mengarah kepada peneliti sebagai instrumen penelitian relevan untuk mengungkap secara alamiah gejala pemilihan bahasa dalam masyarakat multibahasa di Indonesia
BAB III
PENUTUP

SIMPULAN
Sikap bahasa adalah posisi mental atau perasaan terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang lain (Kridalaksana, 2001: 197). Keadaan dan proses terbentuknya sikap bahasa tidak jauh dari keadaan dan proses terbentuknya sikap pada umumnya. Lambert (1967) menyatakan bahwa sikap itu terdiri dari tiga komponen, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif. Anderson (1974) membagi sikap atas dua macam, yaitu (1) sikap kebahasaan dan (2) sikap nonkebahasaan. Sikap kebahasan dapat dikategorikan menjadi dua sikap yaitu sikap positif dan sikap negatif.
Garvin dan Mathiot (1968) merumuskan tiga ciri sikap bahasa yaitu kesetiaan bahasa (language loyalty), kebanggaan bahasa (language pride), kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm).
Dalam hal memilih bahasa terdapat tiga jenis pilihan yang dapat dilakukan, yaitu (1) alih kode (code-switching), (2) campur kode (code-mixing), dan (3) Memilih satu variasi bahasa yang sama (intra-language-variation)
Penelitian terhadap pemilihan bahasa menurut Fasold (1984: 183) dapat dilakukan berdasarkan tiga pendekatan, yaitu pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial, dan pendekatan antropologi.

SARAN
Sikap bahasa dan pemilihan bahasa merupakan bagian yang penting dipelajari dalam sosiolinguistik. Dengan mempelajarinya lebih lanjut, kita akan menguasai tentang pemakaian bahasa atau ragam bahasa yang cocok dengan situasi komunikasi sebab apabila kekeliruan dalam melakukan pemilihan bahasa atau ragam bahasa terjadi, maka dapat berakibat fatal bagi peserta komunikasi.


DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta. Rineka Cipta.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Rokhman, Fathur. 2013. Sosiolinguistik: Suatu Pendekatan Pembelajaran Bahasa dalam Masyarakat Multikultural. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sumarsono dan Paina Partana. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar & Sabda.
http://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/hakikat-hakiki-kemerdekaan/sikap-bahasa language-attitude/ (online) 20 Agustus 2013 
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Sikap Bahasa dan Pemilihan Bahasa Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda