Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Monday 16 June 2014

Meruwat Republik Koalisi



Oleh Hamidulloh Ibda
Tenaga Ahli KPU Jawa Tengah,
Peneliti Politik pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
Dimuat di Koran Pagi Wawasan, Senin 16 Juni 2014


Saat ini, rakyat tidak peduli siapa saja calon presiden RI yang akan lolos dalam panggung Pilpres Juli 2014 nanti. Rakyat hanya berpikir dan berharap adanya revolusi dan rekonsiliasi kondisi bangsa Indonesia. Apalagi, negeri ini dirundung komplikasi di berbagai bidang.
Menjelang Pilpres Juli 2014, suhu politik di Indonesia makin panas. Partai politik (parpol) kini sibuk berkoalisi, menghimpun power untuk dapat mengajukan jago masing-masing sebagai calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

Semua hal dihitung dengan cerdas dan cermat. Mulai dari elektabilitas capres dan cawapres, jumlah massa yang mungkin direkrut masing-masing parpol peserta koalisi, hingga berbagai pertimbangan detail lainnya. Dalam politik, semua itu sah-sah saja selama tak melanggar aturan, dan sangat mustahil jika Parpol tak memiliki strategi dan kewaspadaan.

Sejauh ini, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Nasional Demokrat (Nasdem) telah membentuk koalisi. Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) juga menggandeng sejumlah partai Islam, seperti Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sedangkan Golkar dan Partai Demokrat serta Hanura belum memutuskan langkah koalisi (Sinar Harapan, 17/5/2014).

Sejumlah pengamat politik memprediksi Golkar dan Demokrat akan membangun koalisi bersama. Jika ini terjadi, tentunya menarik karena akan ada tiga pasang capres/cawapres yang diusung tiga koalisi besar. Koalisi merupakan salah satu cara menuju kemenangan. Namun dengan adanya koalisi justru membuktikan bahwa parpol “miskin” figur, kader, tokoh dan tidak dipercaya lagi oleh masyarakat.

Jika sudah memiliki “kader andalan” yang siap dipentaskan dalam panggung Pilpres dan hasil Pileg 2014 cukup tinggi, parpol pasti tidak perlu sibuk-sibuk koalisi dengan partai lain. Parpol seharusnya lebih menyiapkan siapa figur yang ideal untuk ditarungkan dalam Pilpres 2014.

Pemimpin Berkarakter
Saat ini Indonesia butuh pemimpin yang memiliki karakter tegas dan autentik. Ketika pemimpin seperti itu memimpin Indonesia, dipastikan dualisme sistem yang ada di Indonesia bisa diatasi. Kita tentu tak ingin terjebak oleh kelambanan yang disebabkan bercampurnya sistem presidensial dan parlementer yang kita anut. Percampuran sistem itu bisa dipecahkan dengan masalah kepemimpinan.

Pilpres pada 9 Juli nanti harus dimanfaatkan untuk menyosialisasikan dua karakter kepemimpinan tersebut. Karakter tegas yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah berani mengambil risiko dalam melaksanakan kebijakan negara. Sedangkan karakter autentik, yaitu kepemimpinan yang mampu menggerakkan masyarakat tanpa takut untuk terjerat perilakunya sendiri. Pasalnya, pemimpin yang bergerak bebas itu muncul karena tak memiliki kesalahan yang membuatnya tersandera.

Jika tipe kemimpinan seperti itu dimiliki capres/cawapres, percampuran sistem tak akan membuatnya terbelenggu. Eksperimen sistem yang saat ini dilakukan di Indonesia bukan tak mungkin akan sukses. Percampuran sistem ini, tak dimungkiri akan membuat jalannya pemerintah terseok-seok. Apalagi hasil pemilu legislatif lalu tak menempatkan pemenangnya dengan persentase yang menonjol.

PDIP hanya meraih 18,95 persen, sedangkan partai terendah yang lolos ambang batas parlemen meraih 5,26 persen. Banyak pengamat politik memprediksi, ke depan Indonesia akan memiliki DPR dengan fragmentasi politik sangat kuat. Melihat hasil pemilu, dibandingkan pemilu 2009, DPR kita di 2014 akan lebih terfragmentasi.

Siapa pun yang nanti menjadi presiden atau anggota legislatif, mereka harus mengedepankan penuntasan masalah kebangsaan dan jangan sampai bermusuhan. Siapa pun yang menang, harus menjalin persatuan dan kesatuan. Itulah yang harus direvolusi saat ini. Semua capres harus direvolusi mental dan spirit politiknya. Pasalnya, dalam hukum politik, saat ini banyak orang berpolitik namun salah arah dan miskin jiwa revolusioner.

Meruwat
Sejatinya, politik adalah pertarungan meraih kekuasaan. Jadi, langkah-langkah atau manuver yang dilakukan sejumlah parpol hukumya sah. Mereka yang dulu berseberangan bisa jadi kini berkoalisi. Sebaliknya, mereka yang dulu mesra, boleh jadi kini menjadi rival dan harus bersaing merebut tahta kekuasaan. Sebab, dalam politik yang abadi hanya kepentingan, bukan persahabatan.

Namun kepentingan tersebut untuk apa dan siapa? Politik identik dengan kekuasaan, tapi muaranya harus untuk kepentingan rakyat. Siapa pun presidennya dan dari partai apa, kepentingan rakyat harus berada di atas. Apakah hal itu ada dalam jiwa para capres/cawapres saat ini? Padahal jumlah utang luar negeri terus membengkak, jumlah pengangguran terus bertambah, potret pendidikan karut marut, korupsi tak kunjung henti, serta anak-anak dan perempuan kerap menjadi korban pelecehan seksual.

Pernyataan di atas penting dikemukakan agar mereka ingat bahwa berpolitik itu bukan semata-mata untuk kepentingan pribadi dan golongan. Para politisi yang seharusnya juga seorang negarawan itu harus terus diingatkan tentang hal ini. Apalagi, akhir-akhir ini, mulai berkembang laku politik yang tak elok. Bukan bertarung dan bertransaksi ide atau gagasan, yang berkembang malah “kampanye hitam”. Saling menjelekkan. Ini jelas merupakan gelagat yang tak sehat.

Alih-alih memikirkan rakyat, yang diutamakan justru menggunakan berbagai tipu muslihat untuk saling jegal. Prof Thomas Lickona (Sutawi, 2010) menjelaskan salah satu tanda kehancuran suatu bangsa karena adanya saling curiga dan kebencian di antara sesama. Hal itu terlihat jelas pada musim Pemilu, banyak kampanye hitam dan saling menjatuhkan citra dan lawan politik.

Pemilu seharusnya juga memberi pendidikan politik kepada rakyat, bukan malah mempertontonkan persaingan tak sehat. Jangan rakyat ditarik sana-sini, disuguhi informasi sesat dan sebagainya. Jika merasa jantan dan mengaku politisi bermartabat, bertarunglah dengan retorika politik yang baik. Tawarkan visi-misi serta gagasan yang cerdas sebagai menu utama untuk dikampanyekan pada masyarakat.

Parpol seharusnya bersinergi yang etis dan “urun rembuk” memecahkan masalah bangsa. Jadi, mereka pun paham visi-misi ataupun tujuan bersama yang ingin dicapai. Indonesia bukan cuma Jakarta. Negeri ini membentang dari Sabang sampai Merauke. Apakah cita-cita atau impian para capres/cawapres bangsa ini dipahami dan sejalan dengan masyarakat Indonesia? Kita tunggu saja. Tuhan tak pernah tidur!
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Meruwat Republik Koalisi Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda