Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Friday 13 June 2014

Menanti Kampanye Putih



Oleh Hamidulloh Ibda
Tenaga Ahli KPU Jawa Tengah, Peneliti Politik pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang


Munculnya kampanye hitam (black campaign) dalam dunia politik menunjukkan “kegagalan demokrasi”. Tampaknya para politisi belum memahami hakikat kampanye. Orang belum bisa membedakan mana kampanye dan mana menfitnah dan menjatuhkan. Padahal hakikat kampanye itu salah satunya menguatkan bukan meruntuhkan.
Menjelang Pemilihan Presiden 9 Juli mendatang kampanye hitam semakin menjamur. Diperkirakan, kampanye hitam terutama di jejaring media sosial dan boadcast SMS semakin marak menjelang Pilpres 2014 nanti. Peningkatan kampanye hitam mulai terlihat sejak Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa mendeklarasikan pencalonan dan mendaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai capres-cawapres.
Kampanye hitam yang menyerang capres Joko Widodo dan Prabowo Subianto dinilai makin keterlaluan. Kedua kubu pun lama kelamaan me­ra­sa jengah. Mereka minta semua pihak segera menghentikan black campaign tersebut. Permintaan tersebut disampaikan  Ketua Tim Kampanye Nasional Pra­bo­wo-Hatta, Mahfud MD, dan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh.
Mahfud juga mengimbau agar kemenangan sejati dan perjuangan gigih serta kejujuran dalam de­mokrasi tidak boleh menggunakan kam­panye hitam dengan membunuh ka­rakter orang, menjatuhkan lawan de­ngan isu SARA. Mahfud menyarankan agar kampanye dilakukan de­ngan santun dan jujur, berakhlak dan de­ngan etika tanpa merusak masyara­kat. Mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu juga mengingatkan semua kader partai koalisi dan tim pemenangan lebih ber­hati-hati dan waspada dengan serangan dari parpol lain.
Hal senada dikatakan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, salah satu pendukung capres-cawapres Joko Widodo-Jusuf Kalla. Ia meminta tim sukses meng­hentikan kampanye hitam. Pasalnya, hal itu berpo­tensi menimbulkan konflik pada Pilpres 9 Juli. Dia juga meminta semua elite politik memberi keteladanan tentang keberadaan mereka dalam semangat persatuan dan kesatuan.
Hal itu sah-sah saja dilakukan para pendukung kedua kubu capres-cawapres. Namun sangat ironis jika hal itu hanya “pencitraan” belaka. Semua pendukung Jokowi maupun Prabowo harus komitmen melakukan “kampanye putih” dan beretika demi tegaknya demokrasi sehat dan bermartabat.
Kampanye Putih
Robert A. Dahl menjelaskan ada tujuh prinsip demokrasi yang baik, salah satunya adalah pemilu jujur dan adil. Jujur dan adil di sini tidak hanya pada saat pemilu, namun dalam masa kampanye juga dibutuhkan kejujuran, salah satunya dengan menerapkan “kampanye putih”. Kegaduan baru bernama kampanye hitam harus dihilangkan dalam dunia politik kita. Kampanye hitam saat ini menunjukkan betapa keadaban politik mulai luntur bahkan hilang.
Dalam buku Demokrasi Setengah Hati (Kalam Nusantara: 2013) dijelaskan bahwa salah satu parameter demokrasi yang baik selalu menjunjung tinggi humanisasi politik. Artinya, politisi tidak lagi menjadi serigala (homo homini lupus), namun dalam berkampanye harus menjadi sahabat bagi politisi lain (homo homini socius).
Hal itu sangat berat. Apalagi, dalam hukum politik tidak ada sahabat sejati, karena yang sejati adalah kepentingan. Namun jika para politisi masih berkampanye tanpa menjunjung tinggi nilai humanisme, maka sama saja mereka seperti hewan yang tak bisa “memanusiakan manusia”.
Plato pernah mengritik sistem demokrasi. Menurutnya, pelaku demokrasi kebanyakan orang bodoh dan jahat, atau kedua-duanya. Mereka cenderung berpihak kepada diri sendiri dan golongan. Jika orang seperti ini menjadi penguasa republik, maka hancurlah negara ini, karena kekuasaan mereka bertumpu pada tirani dan teror. Akankah proses demokrasi di Indonesia berjalan seperti pendapat Plato?
Samuel H Beer (2005) menjelaskan berpolitik harus selaras sesuai etika politik. Budaya politik harus menjunjung tinggi nilai-nilai politik, sistem kepercayaan dan sikap emosional. Kesantunan dan sikap dewasa harus menjadi landasan dalam berkampanye. Jika ini dilaksanakan, maka dalam bentuk apa pun, semua tim sukses capres-cawapres bisa melakukan kampanye putih tanpa ada unsur fitnah, adu domba dan menjelekkan lawan.
Apa yang Harus Dilakukan?
Jika Pilpres 2014 ingin ideal, maka semua elemen parpol, pendukung dan simpatisan capres-cawapres harus menata rumusan politik dan konsep kampanye. Pasalnya, kampanye hitam sebenarnya menunjukkan integritas dan kualitas seorang politisi rendah. Kubu pendukung Jokowi dan Prabowo harus sadar politik bahwa kampanye hitam harus dihilangkan sekarang juga.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menghilangkan kampanye hitam dan mewujudkan Pilpres 2014 yang ideal. Pertama; KPU dan Bawaslu harus memaksimalkan undang-undang pelarangan kampanye. Pasalnya, kampanye hitam makin menunjukkan KPU dan Bawaslu masih “setengah hati” menjadi punggawa pemilu.
Kedua; selama ini praktik demokrasi di negeri ini belum sepenuhnya menjadikan Pancasila sebagai acuan berkampanye. Para politisi, rata-rata belum memiliki “dialektika politik” yang baik dan benar. Mereka merendahkan etika politik dan meruntuhkan esensi demokrasi. Ke depan, etika politik harus menjadi ruh kampanye yang bisa terjadi ketika ada penghormatan serius terhadap “kemanusiaan” dan “keadilan”. Toni Andrianus Pito (2005) menjelaskan suatu negara akan hancur jika perilaku pemerintah dan politisinya ngawur, salah satunya melakukan kampanye hitam.
Ketiga; visi, misi, tujuan dan target kampanye harus jelas dan memberi dampak positif pada rakyat. Pada masa kampanye Pileg 9 April lalu, banyak aturan kampanye dilanggar parpol peserta pemilu dan para caleg. Seolah-olah tidak ada visi dalam berpolitik. Akibatnya, kampanye pun sering dilakukan dengan menfitnah, menghina SARA, saling menjatuhkan dan melukai hati rakyat. Seakan-akan, tidak ada “akal sehat politik” dalam berkampanye.
Keempat; hakikat kampanye menurut M Yudhie Haryono (2014) itu suci dan harus berpihak pada kebutuhan dasar rakyat. Jangan sampai para politisi merusak esensi kampanye dengan menyebar virus-virus kotor lewat media sosial maupun baliho-baliho di jalanan. Bukankah kampanye yang baik dan benar menunjukkan makin dewasa berpolitik?
Kelima; KPU dan Bawaslu harus bersinergi dan mempertegas pemberian sanksi terhadap siapa saja yang terbukti melakukan kampanye hitam. Jika terbukti salah satu capres/cawapres mejadi dalang atas kampanye hitam, maka KPU harus mencopotnya dari daftar capres/cawapres.
Para pendukung capres-cawapres dari kubu Jokowi dan Prabowo juga harus memahami bahwa negara ini punya aturan jelas tentang kampanye. Jika dilanggar, maka sebenarnya mereka khianat pada konstitusi dan Pancasila. Kampanye santun dan menjunjung etika politik tidak hanya bermanfaat pada capres-cawapres, namun juga menjadi “wahana edukasi politik” bagi konstituen.
Masyarakat saat ini sudah mengerti putih dan hitamnya, bibit, bebet dan bobot capres-cawapres yang ada. Jadi, tanpa adanya kampanye hitam pun, rakyat sudah tahu mana yang harus mereka pilih untuk dijadikan pemimpin Indonesia lima tahun ke depan. Jika bisa melakukan kampanye putih, bersih, jujur, beretika dan mendidik rakyat, mengapa harus melakukan kampanye hitam?

Tulisan ini dimuat di Koran Pagi Wawasan, 4 Juni 2014
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

1 komentar:

Item Reviewed: Menanti Kampanye Putih Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda